PUSAKA PULAU ES : JILID-02


Saling jegal di antara pejabat, pemberontakan-pemberontakan terhadap yang berkuasa, semula dengan dalih mengakhiri kekuasaan yang semena-mena, tetapi berakhir dengan timbulnya kekuasaan baru yang seperti biasanya selalu ingin memaksakan kehendak. Siapa menang dialah berkuasa, dan siapa berkuasa dia selalu benar dan kehendaknya harus ditaati! Ini sudah menjadi watak manusia, maka herankah kita bila melihat perang lalu terjadi di mana-mana? Perang antar bangsa, antar golongan, antar kelompok, antar negara

.

Tiga hari kemudian, saat masih pagi-pagi benar, berangkatlah tiga orang pangeran yang hendak pergi berburu itu. Selosin pasukan pengawal yang berpakaian indah mengawal mereka. Mereka semua menunggang kuda yang tinggi besar dan taat, dan di sepanjang perjalanan menuju keluar pintu gerbang mereka menjadi tontonan yang menarik. Semua orang merasa kagum kepada tiga orang pangeran ini.

Mereka bertiga memang amat menarik untuk ditonton. Bukan saja karena kuda mereka merupakan kuda pilihan, atau pakaian mereka yang sangat mentereng, akan tetapi juga karena mereka adalah tiga orang pangeran muda yang berwajah tampan sekali.

Juga mereka membawa perlengkapan yang tidak biasa mereka bawa. Sebatang busur besar dikalungkan di pundak, dan di punggung mereka terdapat belasan batang anak panah dengan bulu beraneka warna. Di pinggang mereka tergantung sebatang pedang panjang dan terselip pula beberapa batang belati pendek. Pokoknya mereka membawa perlengkapan yang serba cukup. Perlengkapan lain dibawa oleh para pengawal.

Pangeran Tao Seng yang kini berusia dua puluh enam tahun itu jelas merupakan yang paling tampan dan gagah di antara mereka bertiga. Kuncirnya yang hitam lebat itu dikalungkan di lehernya, ujungnya terikat sutera kuning dan rambut di atas kepala disisir rapi dan halus licin.

Dahinya lebar dan alis matanya tebal. Kedua matanya yang seperti mata burung Hong itu bersinar-sinar. Hidungnya mancung dan bibirnya terus tersenyum-senyum mengejek. Dandanannya juga mewah sekali. Apa lagi duduk di atas kuda yang tinggi besar itu, dia nampak gagah bukan main.

Pangeran Tao San, putera kedua dari Kaisar Cia Cing, juga nampak tampan dan gagah. Pangeran ini agak gemuk, dengan wajah yang bulat dan berkilauan. Bentuk tubuhnya agak pendek sehingga dia kelihatan semakin gemuk. Hidungnya tidak begitu mancung dan matanya sipit sekali. Akan tetapi karena pakaiannya juga mentereng, dia kelihatan tampan juga. Pangeran ini, seperti yang dinilai oleh ayahnya sendiri, memang pemalas dan suka pelisir, akan tetapi dia sangat berambisi dan ingin berkuasa.

Orang ke tiga adalah Pangeran Tao Kuang. Usianya dua puluh tiga tahun, setahun lebih muda dari Pangeran Tao San. Dibandingkan dua orang kakaknya, dandanan Pangeran Tao Kuang tidaklah demikian mewah, biar pun tentu saja bagi orang awam pakaiannya itu sudah sangat indah. Wajahnya tampan dan anggun. Sepasang matanya cerdik dan biar pun dia lebih sederhana, namun pakaiannya rapi dan kuncirnya juga dijalin dengan rapi dan bagus.

Di sepanjang jalan kota raja, mereka bertiga menjadi perhatian semua orang, terutama para wanita muda yang terpesona melihat ketiga orang pangeran ini menunggang kuda sambil melempar pandang dan tersenyum ke kanan kiri untuk membalas penghormatan orang-orang yang membungkuk dengan hormat.

Setelah keluar dari pintu gerbang sebelah utara, rombongan itu baru mempercepat lari kuda mereka. Tiga orang pangeran itu berada di depan, diiringkan oleh dua belas orang pasukan pengawal yang bersenjata lengkap.

Akhirnya mereka tiba di hutan buatan itu. Mereka segera memasuki hutan untuk terus masuk ke bagian tengah hutan yang lebat.

“Kenapa terus masuk? Lihat itu, di sana ada serombongan kijang, Toako!” berkata Tao Kuang dengan heran. “Bukankah di situ juga terdapat banyak binatang buruan? Kenapa harus masuk ke dalam hutan yang lebat?”

Tiba-tiba sikap kedua orang pangeran itu berubah. Tao Seng mencabut pedangnya dan berkata, “Bocah sombong, engkaulah yang menjadi buruan kami!”

Pangeran Tao San juga mencabut pedangnya. “Bocah tak tahu diri, engkau akan mati di tempat ini!”

Tentu saja Pangeran Tao Kuang terbelalak memandang kedua orang kakaknya itu. “Eh, Toako, San-ko, harap jangan main-main!”

“Siapa main-main? Kami memang hendak membunuhmu!”

Toa Kuang baru tahu bahwa mereka itu bersungguh-sungguh. Ia menoleh kepada para pengawal untuk minta perlindungan, akan tetapi para pengawal itu hanya memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek.

Segera dia menyadari bahwa memang semua sudah diatur oleh kedua orang kakaknya untuk membunuhnya dan para pengawal itu tentulah orang-orang kepercayaan mereka. Begitu mendapat kenyataan ini, dia segera memutar dan membedal kudanya melompat ke depan untuk melarikan diri!

“Ehh, dia lari! Kejar!” Teriak Tao Seng.

“Kejar, jangan sampai lolos!” teriak pula Tao San.

Dua pangeran itu, juga selosin orang pengawal, segera membedal kuda masing-masing dan cepat melakukan pengejaran. Pangeran Tao Kuang yang maklum bahwa nyawanya sedang terancam maut, lalu membalapkan kudanya tanpa mempedulikan arah sehingga kudanya menyusup-nyusup ke dalam semak-semak belukar. Para pengejarnya semakin dekat dengannya dan dalam kegugupannya, ketika kudanya berlari menyusup semak berduri, dia pun tersangkut dan tak dapat dicegah lagi dia pun terlempar jatuh dari atas kudanya!

Pangeran Tao Kuang yang jatuh itu merangkak berdiri dan mencabut pedangnya untuk membela diri. Akan tetapi Pangeran Tao Seng yang berkepandaian tinggi sudah tiba di situ, melompat turun dari atas kudanya sambil tertawa mengejek, kemudian mengayun pedangnya ke arah leher adiknya.

“Tranggg...!”

Pangeran Tao Kuang menangkis dan pedangnya terpental dan terlepas dari tangannya. Bahkan saking kerasnya pertemuan kedua pedang tadi dia hampir jatuh dan terhuyung ke belakang. Kesempatan ini langsung dipergunakan oleh Pangeran Tao San untuk mengayun pedang membacok.

“Trakkk!”

Tiba-tiba pedang yang menuju ke leher Pangeran Tao Kuang itu terhenti di tengah jalan. Ternyata pedang itu telah tertangkis sebatang kayu ranting yang dipegang oleh seorang gadis yang entah dari mana tahu-tahu muncul di situ. Di samping gadis itu berdiri pula seorang kakek berusia enam puluh tahun yang memegang sebatang tongkat bambu.

“Ehhh, apa kesalahan Kongcu ini maka dia akan dibunuh?” tanya kakek itu, sementara Pangeran Tao San terhuyung ke belakang oleh tangkisan kayu ranting itu yang berada di tangan gadis yang bertubuh ramping dan berwajah ayu.

Tao Seng membentak. “Orang tua, jangan kau mencampuri urusan kami. Kami adalah pangeran-pangeran dari istana! Pergilah atau kalian berdua akan kami bunuh pula!”

“Hemmm, mana ada pangeran bersikap seperti ini?” Gadis itu membentak. “Sikap kalian bukan seperti pangeran melainkan seperti orang-orang jahat!”

Tao Seng menjadi marah bukan main. “Bunuh mereka bertiga!” teriaknya kepada anak buahnya dan dia sendiri sudah menyerang kakek yang memegang tongkat itu.

“Singgggg...!”

Pedang di tangan Tao Seng menyambar dahsyat dan menusuk ke arah dada kakek itu. Akan tetapi dengan tenang sekali kakek itu menggerakkan tongkatnya menangkis.

“Tranggggg...!”

Pedang itu hampir saja terpental dari tangan Tao Seng saat ditangkis tongkat itu. Tentu saja Pangeran Tao Seng terkejut bukan main. Dia memperkuat serangannya, namun serangannya dapat dielakkan atau ditangkis kakek yang ternyata lihai bukan main itu.

Melihat ini, Pangeran Tao San lalu membantu kakaknya menyerang kakek bertongkat secara membabi buta. Kakek itu dikeroyok dua, akan tetapi dia masih tenang saja dan semua serangan kedua orang pangeran itu dapat selalu dihindarkan.

Sementara itu, gadis berpakaian serba hijau itu kini melindungi Pangeran Tao Kuang dari serbuan para pengawal. Pangeran itu berlindung di balik sebatang pohon besar dan gadis itu berdiri di depan pohon, menghalau semua penyerang.

Tidak seperti kakek itu, gadis itu bergerak cepat dan juga ganas. Setiap pengawal yang berani mendekat tentu ditotoknya dengan tongkatnya. Semua serangan pedang dapat dihalau dengan putaran ranting itu dan hebatnya, tiap kali rantingnya bergerak menotok, seorang pengawal tentu roboh dan tak dapat bangkit kembali!

Tao Kuang juga melihat betapa hebatnya gadis itu menghajar para pengawal. Ketika dia melihat dua orang kakaknya mengeroyok kakek yang memegang tongkat, dia berteriak.

“Locianpwe, harap jangan membunuh mereka berdua! Mereka adalah kakak-kakakku sendiri!”

Tentu saja kakek itu menjadi terkejut dan heran bukan main. Mengapa ada dua orang kakak hendak membunuh adiknya? Akan tetapi timbul rasa kagum dan suka di dalam hatinya terhadap Tao Kuang. Sudah akan dibunuh, tapi kini malah minta agar dia tidak membunuh dua orang kakak pemuda itu!

Dia mempercepat gerakan tongkatnya dan dua orang pangeran yang dikeroyoknya itu pun roboh tertotok. Pedang mereka terlepas dan terpental dan berdua juga tidak dapat bergerak kembali!

Setelah merobohkan dua orang lawannya, kakek itu lalu membantu gadis berbaju hijau yang masih dikeroyok, dan dalam waktu singkat saja mereka berdua telah merobohkan selosin pengawal itu. Mereka semua roboh tertotok dan tak mampu lagi menggerakkan tubuh. Ternyata ayah dan anak ini adalah ahli-ahli totok yang amat lihai, menggunakan tongkat mereka.

Setelah mereka semua dibuat tidak berdaya, Tao Kuang cepat memberi hormat sambil mengangkat kedua tangan di depan dada kepada mereka berdua dan berkata, “Terima kasih atas pertolongan Ji-wi (Anda berdua). Kalau tidak ada Ji-wi, tentu sekarang aku sudah menjadi mayat.”

“Ahh, Kongcu. Tak perlu berterima kasih. Sudah menjadi kewajiban kami ayah dan anak untuk menentang kejahatan yang dilakukan oleh siapa pun juga. Akan tetapi mengapa Kongcu hendak dibunuh oleh mereka ini? Siapakah Kongcu?” Ia bertanya dengan ragu karena sekarang ia melihat bahwa pemuda itu mengenakan pakaian yang amat mewah, tidak seperti seorang kongcu (tuan muda) biasa, melainkan bagaikan seorang pemuda bangsawan tinggi.

“Aku adalah Pangeran Tao Kuang, putera mahkota, Locianpwe.”

Mendengar ini, kakek itu dan puterinya segera menjatuhkan diri berlutut.

“Ahhh, mohon maaf bahwa hamba berdua tidak mengetahui siapa Paduka sehingga tadi bersikap kurang hormat.”

“Ah, Locianpwe, harap jangan begitu. Kalian sudah menolongku, bangkitlah dan jangan melakukan banyak peradatan di tempat seperti ini.”

“Dan kedua orang muda itu...?” si kakek bertanya sambil memandang kepada Tao Seng dan Tao San.

“Mereka adalah kedua orang kakakku dan selosin orang ini adalah anak buah mereka. Sekarang harap Locianpwe dan Nona suka membantuku, membawa mereka ke kota raja. Biarlah ayahanda Kaisar sendiri yang mengadili mereka.”

Tao Seng dan Tao San menjadi ketakutan. Tao Seng segera berkata dengan suara memohon tanpa dapat menggerakkan kaki tangannya.

“Adikku, Kuang-te, kami hanya main-main. Harap maafkan kami dan kami berjanji tidak akan melakukan lagi. Bebaskanlah kami.”

“Hemmm, aku tahu kenapa engkau dan San-ko hendak membunuhku, Seng-ko. Kalian iri hati karena aku diangkat sebagai putera mahkota maka kalian hendak membunuhku. Aku tidak dapat membebaskanmu, biarlah ayahanda Kaisar yang memutuskan.”

Karena kedua orang pangeran ini masih terus membujuk dan merayu, gadis itu lantas menggerakkan rantingnya ke arah leher mereka sehingga kedua orang pangeran itu tak mampu mengeluarkan suara lagi. Kemudian, dengan dibantu oleh anaknya, kakek itu lalu mengikat semua pengawal dan dua orang pangeran di atas kuda mereka dengan tali yang memang telah disiapkan oleh para pengawal untuk mengikat binatang buruan. Kini semua orang terikat sudah di atas kuda masing-masing.

Setelah pekerjaan itu selesai, Pangeran Tao Kuang merasa girang sekali.

“Locianpwe, siapakah nama Locianpwe dan siapa Nona ini? Aku harus mengenal para penolongku.”

“Hamba bernama Liang Cun, dan ini adalah puteri hamba bernama Liang Siok Cu. Kami tinggal di satu dusun yang berada di kaki Pegunungan Thian-san dan sekarang sedang dalam perjalanan merantau. Kebetulan kami berada di sini dan melihat peristiwa tadi.”

“Aku bersyukur sekali, Paman Liang Cun. Sebaiknya kusebut paman saja padamu, dan engkau Nona Liang, sungguh engkau seorang gadis yang hebat, memiliki ilmu silat yang demikian tinggi.”

“Aihh, Paduka terlalu memuji, Pangeran,” kata Siok Cu tersipu.

“Sekarang harap Paman dan Nona suka mengawalku membawa semua tawanan ini ke istana.”

“Baik, Pangeran. Kami siap melakukannya.”

Demikianlah, dua belas orang tawanan yang terikat di atas kuda itu lalu digiring keluar dari hutan, diikuti oleh Pangeran Tao Kuang yang menunggang kuda dan diikuti pula oleh ayah dan anak itu yang berjalan kaki.

Tentu saja mereka menjadi tontonan orang. Akan tetapi berbeda dengan ketika mereka berangkat tadi, saat menjadi tontonan yang mengagumkan, kini menjadi tontonan yang menggegerkan dan membingungkan.

Orang-orang bertanya-tanya, mengapa kedua orang pangeran dan dua belas pengawal itu diikat di atas kuda, akan tetapi tidak ada seorang pun dapat menjawabnya. Dan tak seorang pun berani bertanya kepada Pangeran Tao Kuang atau kepada Liang Cun dan puterinya yang mengawal di belakang para tawanan sambil menggiring rombongan kuda itu.

Para pengawal istana juga gempar melihat Pangeran Tao Seng dan Pangeran Tao San diikat di atas kuda. Akan tetapi ketika mereka menghampiri dan bertanya-tanya, mereka dibentak oleh Pangeran Tao Kuang.

“Cepat laporkan kepada ayahanda Kaisar bahwa aku mohon menghadap karena ada urusan yang penting sekali!”

Para pengawal dalam dan para thaikam juga menjadi gempar. Segera Kaisar Cia Cing mendengar akan permohonan putera mahkota. Dia segera menyatakan akan menerima puteranya menghadap. Saat melihat Pangeran Tao Kuang ditemani seorang kakek dan seorang gadis menggiring Tao Seng dan Tao San berikut dua belas orang pengawal itu menghadap, tentu saja kaisar menjadi heran sekali.

“Tao Kuang, apa artinya semua ini?!” seru kaisar sambil mengerutkan alisnya.

Dengan tenang dan panjang lebar, Pangeran Tao Kuang lalu bercerita tentang semua peristiwa yang terjadi, betapa dia hampir saja dibunuh oleh Tao Seng dan Tao San bersama dua belas orang pengawal mereka, dan betapa dia diselamatkan oleh Liang Cun dan puterinya, Liang Siok Cu.

Mendengar laporan ini wajah Kaisar Cia Cing menjadi pucat, lalu berubah merah sekali. Hampir dia tidak dapat mempercayai cerita putera mahkota itu dan dia menghardik dua belas orang pengawal itu.

“Benarkah kalian para pengawal ini hendak membunuh putera mahkota Pangeran Tao Kuang? Kenapa kalian melakukan hal itu?”

Dengan suara serempak dan berlutut ketakutan dua belas orang itu menjawab, “Ampun beribu ampun, Yang Mulia. Hamba semua hanyalah menjalankan perintah dari kedua pangeran...!”

Kini hati kaisar itu tidak ragu lagi bahwa dua orang puteranya memang mempunyai maksud jahat terhadap adik mereka sendiri.

“Tangkap kedua belas orang pengawal ini dan penggal kepala mereka. Tangkap pula keluarga mereka dan jebloskan ke dalam penjara!” perintahnya dan para pengawalnya segera turun tangan melaksanakan perintah, menggusur kedua belas orang pengawal para pangeran itu keluar dari persidangan.

Kaisar Cia Cing memandang kepada dua orang puteranya dan membentak, “Nah, apa yang hendak kalian katakan sekarang? Kalian telah begitu tega untuk membunuh adik sendiri. Tentu kalian lakukan itu karena iri hati, karena dia kami angkat menjadi putera mahkota, bukan?”

“Ampun beribu ampun, Paduka Ayahanda. Hamba berdua merasa bersalah dan hanya dapat mengharapkan pengampunan,” kata mereka berdua sambil membentur-benturkan dahi ke lantai. Bahkan Pangeran Tao Seng menangis dengan sedihnya.

“Hemmm, bagaimana mungkin kami dapat mengampuni anak-anak yang murtad dan jahat macam kalian?”

Pada saat itu, Pangeran Tao Kuang yang sejak tadi menyaksikan semua itu, berlutut pula. “Mohon Paduka mengampuni mereka, Ayah. Mereka melakukan karena terdorong nafsu iri hati. Mereka tentu akan bertobat dan tidak akan mengulang perbuatan mereka lagi.”

Melihat sikap ini, Liang Cun dan puterinya merasa kagum sekali. Benar-benar seorang pangeran yang berbudi mulia, pikir mereka.

“Apa? Engkau nyaris dibunuh dan kini malah memintakan ampun untuk mereka?” tanya kaisar dengan heran dan penasaran.

“Ayah, bagaimana pun juga, mereka adalah kakak-kakak hamba sendiri. Bagaimana hamba tega melihat mereka dihukum mati?” kata Pangeran Tao Kuang.

“Nah, dengarkah kalian berdua? Pangeran Tao Kuang malah memintakan ampun untuk kalian! Baiklah, melihat permohonan Tao Kuang, kalian tidak dihukum mati melainkan dihukum buang ke Sin-kiang selama dua puluh tahun!”

Dua orang pangeran itu menangis tersedu-sedu, akan tetapi kaisar tidak dapat terbujuk lagi untuk mengubah keputusan itu. Segera petugas diteriaki dan mereka datang untuk menggiring dua orang pangeran itu keluar dari ruangan.

Demikianlah peristiwa antar keluarga kaisar itu selesai dengan terhukumnya dua orang pangeran itu. Seperti biasa, kalau terjadi hal-hal buruk dalam keluarga kaisar, maka hal itu dilewatkan begitu saja oleh pencatat sejarah karena kaisar tidak menghendaki ada noda hitam dalam sejarah keluarganya.

Sementara itu, Liang Cun diangkat menjadi guru silat oleh Pangeran Tao Kuang yang kini menyadari betapa pentingnya ilmu silat tinggi bagi dirinya, untuk melindungi dirinya sendiri kalau-kalau terjadi mala petaka seperti yang pernah dialaminya itu.

Liang Cun sebenarnya bukan seorang kakek biasa yang sekedar pandai ilmu silat saja. Dia adalah seorang datuk kenamaan dengan julukan Sin-tung Koai-jin (Orang Aneh Bertongkat Sakti) dari kaki Pegunungan Thai-san, dan Liang Siok Cu sudah mewarisi ilmu tongkatnya yang hebat. Ayah dan anak ini selain memiliki ilmu tongkat, juga amat terkenal dengan ilmu mereka dalam menotok jalan darah lawan.

Setelah bergaul beberapa bulan lamanya, Pangeran Tao Kuang tidak dapat menyimpan lagi perasaan cintanya kepada Siok Cu yang tumbuh semenjak ia ditolong gadis itu dari tangan para calon pembunuhnya. Dan ternyata perasaan cintanya tak bertepuk sebelah tangan. Ketika Liang Cun mendengar tentang pinangan itu, dia pun merelakan puterinya menjadi selir Pangeran Tao Kuang.

Demikianlah, Liang Siok Cu lalu menjadi selir terkasih dari pangeran mahkota itu. Tentu saja kini ilmu silat Pangeran Tao Kuang menjadi semakin maju di bawah bimbingan selirnya sendiri…..

********************

Waktu berjalan dengan sangat cepatnya. Kalau tidak diperhatikan, sang waktu melesat seperti sebatang anak panah lepas dari busurnya, walau pun kalau diperhatikan sang waktu dapat merayap seperti seekor siput.

Kita kembali kepada Silani, puteri kepala suku Khitan yang ditinggalkan suaminya, Tao Seng. Setelah ditinggalkan, Silani melahirkan seorang anak laki-laki yang sehat dan montok. Sesuai dengan apa yang dipesankan Pangeran Tao Seng, anak itu diberi nama Tao Keng Han. Anak itu dirawat dengan baik-baik oleh Silani.

Akan tetapi, suaminya yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang menjemputnya. Tentu saja hal ini membuat Silani berduka sekali. Dia merasa disia-siakan.

Juga Khalaban, kepala suku Khitan itu marah sekali. Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan? Tao Seng adalah seorang pangeran dari kerajaan besar. Jika Tao Seng tidak datang, apa yang dapat dia lakukan? Dengan prihatin Khalaban lalu mendidik cucunya.

Dalam hal ini Kalucin berjasa besar. Pemuda Khitan yang mencinta Silani memenuhi janjinya kepada Tao Seng. Dia menjaga dan melindungi Silani dan anaknya, bahkan ketika Keng Han mulai besar, dia sendiri yang membimbing dan mengajarkan ilmu silat dan gulat kepada anak itu.

Khalaban yang tak ingin kelak dicela oleh mantunya, mengingat bahwa cucunya adalah keturunan pangeran, kemudian memanggil seorang guru sastra dan mengajarkan ilmu kesusastraan kepada Keng Han agar kelak kalau anak itu dibawa ayahnya ke kota raja tidak akan memalukan ayahnya.

Kebetulan sekali, pada waktu Keng Han berusia sepuluh tahun, di daerah itu muncullah seorang kakek yang pandai dan sakti. Dia adalah Gosang Lama, seorang Lama Jubah Kuning yang diusir dari Tibet dan kemudian merantau sampai ke daerah itu.

Setelah mengetahui bahwa pendeta Lama ini adalah seorang yang sakti, Khalaban lalu menyambutnya dengan penuh kehormatan, bahkan kemudian mengangkatnya menjadi guru bagi Keng Han. Gosang Lama tentu saja menjadi girang sekali. Ia adalah seorang buruan yang membutuhkan tempat persembunyian yang aman dan menyenangkan, maka di perkampungan Khitan itulah dia mendapatkan tempat yang baik, di mana dia dihormati dan segala keperluannya dicukupi.

Ketika dia diangkat menjadi guru bagi cucu kepala suku Khitan itu, dia menerima hanya untuk mendapatkan kedudukan yang baik saja. Dia hanya sedikit memperhatikan Keng Han yang dianggapnya seorang bocah Khitan biasa yang bodoh.

Akan tetapi setelah dia mulai mengajarkan silat dan sastra kepada anak itu, dia menjadi terkagum-kagum. Belum pernah dia melihat anak yang memiliki kecerdasan dan bakat demikian hebat. Terutama sekali dalam ilmu silat, ternyata Keng Han bertulang baik dan berbakat besar. Tentu saja Gosan Lama menjadi bersemangat sekali mengajarkan ilmu-ilmunya kepada murid ini.

Sejak berusia sepuluh tahun Keng Han menerima gemblengan Gosang Lama. Selama lima tahun dia belajar sastra dan silat sehingga dalam usia lima belas tahun, dia telah menjadi seorang pemuda yang pandai silat dan sastra. Juga dari Kalucin yang dianggap sebagai pamannya sendiri, dia dilatih ilmu gulat sehingga dalam usia lima belas tahun tidak ada seorang pun pemuda di Khitan yang mampu menandinginya, baik dalam ilmu bela diri mau pun ilmu gulat.

Melihat puteranya telah mulai dewasa, pada suatu hari Silani memanggil puteranya itu ke dalam kamarnya.

“Keng Han, sejak engkau masih kecil engkau selalu menanyakan di mana ayahmu dan aku selalu mengelak untuk memberitahu!”

“Ya, mengapa, Ibu? Mengapa Ibu seolah-olah menyembunyikan keadaan Ayah dariku? Siapakah Ayah? Di mana dia? Apakah dia masih hidup?”

“Sekarang engkau sudah mulai dewasa, kukira engkau sudah boleh mengetahui semua, anakku. Ketahuilah, bahwa ayahmu masih hidup dan berada jauh di selatan, di kota raja kerajaan Ceng-tiauw. Ketika dahulu aku menikah dengan ayahmu, ayahmu itu seorang pangeran, anakku. Seorang pangeran mahkota kerajaan Ceng!”

“Ahhh...! Aku... putera seorang pangeran mahkota?” tanya Keng Han dengan kaget.

Pamannya Kalucin, kalau dia tanya tentang ayahnya, juga tidak mau menjelaskan dan menyuruh dia bertanya kepada ibunya. Demikian pula kakeknya. Hanya mereka pernah mengatakan bahwa ayahnya adalah seorang bangsawan. Siapa kira, ayahnya seorang pangeran! Dan pangeran mahkota pula, calon kaisar!

“Benar, anakku. Engkau memang keturunan Kaisar kerajaan Ceng! Sudah selama lima belas tahun ayahmu meninggalkan kita, dan mungkin sekarang dia telah menjadi kaisar! Dulu ayahmu bernama Tao Seng dan benda inilah yang ditinggalkannya untuk kita. Ini merupakan tanda keluarganya, anakku. Kalau engkau membawa benda ini dan pergi ke kota raja Ceng di selatan, engkau pasti akan diterimanya.”

Silani menyerahkan pedang bengkok pemberian suaminya itu dan Keng Han menerima pedang itu dengan tangan gemetar. Sebatang pedang bengkok yang indah bukan main. Gagangnya terhias emas permata, demikian pula sarungnya. Saat ia mencabut pedang itu, nampak sinar berkilat, tanda bahwa pedang itu tajam bukan main.

Di dalam hati pemuda itu timbul gejolak perasaan yang bermacam-macam. Ada rasa girang dan bangga bahwa dia adalah putera pangeran yang mungkin kini telah menjadi kaisar! Menjadi putera kaisar, hati siapa tidak akan merasa bangga?

Akan tetapi, di samping perasaan girang dan bangga ini, terdapat perasaan penasaran dan marah sekali. Kenapa ayahnya pergi meninggalkan ibunya sampai lima belas tahun padahal menurut ibunya, ayahnya itu berjanji akan menjemput ibunya dan memboyong mereka ke istana?

Ayahnya telah menyia-nyiakan ibunya! Dan hal ini membuatnya penasaran dan marah, menimbulkan dendam. Dia akan mencari ayahnya dan kalau ayahnya masih tidak mau memboyong ibunya ke istana, entah apa yang akan dilakukannya terhadap laki-laki itu!

Selagi ibu dan anak ini bercakap-cakap, mendadak Kalucin muncul dan berkata, “Keng Han, engkau dipanggil kakekmu. Ada pembicaraan penting dengan gurumu.”

Keng Han segera meninggalkan ibunya, pergi bersama Kalucin menghadap Khalaban, kakeknya yang sudah berusia enam puluh lima tahun itu. Ternyata di situ sudah hadir pula Gosang Lama yang kelihatan berwajah sedih dan bingung.

“Kakek, ada urusan apakah memanggilku? Ada apakah pula dengan Suhu?” Keng Han memandang kepada gurunya.

“Keng Han, gurumu berpamit hendak meninggalkan kita hari ini juga.”

Tentu saja Keng Han menjadi terkejut dan memandang kepada gurunya dengan mata terbelalak. “Ehh, kenapa, Suhu? Kenapa Suhu hendak pergi secara mendadak?”

“Tidak apa-apa, Keng Han. Hanya aku menganggap sudah terlalu lama aku tinggal di sini, sudah lima tahun. Aku akan melanjutkan perjalananku merantau.”

“Akan tetapi Suhu sudah tua, kenapa tidak tinggal saja di sini selamanya? Kami sudah menganggap Suhu seperti keluarga sendiri!” bantah Keng Han yang amat menyayangi gurunya yang telah banyak mengajar ilmu kepadanya.

“Engkau benar, Keng Han. Akan tetapi aku harus melanjutkan perjalananku, waktunya berpisah telah tiba dan tidak ada apa pun yang boleh membatalkan niatku untuk pergi.”

Mendengar ucapan yang tegas itu, Keng Han tak berani membantah lagi. Terpaksa dia membantu gurunya berkemas. Gurunya membawa buntalan pakaian serta sekantung emas pemberian kakeknya untuk bekal di jalan. Biar pun Gosang Lama menolaknya, namun Khalaban memaksanya sehingga akhirnya Gosang Lama menerimanya juga.

Setelah selesai berkemas, berangkatlah Gosang Lama meninggalkan perkampungan itu diantar oleh Khalaban, Keng Han dan Kalucin hingga ke luar dari daerah perkampungan mereka. Kemudian pendeta berjubah kuning itu pergi ke arah selatan dengan cepatnya. Sedih juga hati Keng Han ditinggalkan gurunya itu.

Tiga hari kemudian, pada suatu pagi muncul tiga orang pendeta dengan pakaian yang sama dengan yang dipakai Gosang Lama, hanya bedanya ketiga orang pendeta yang usianya sekitar enam puluh tahunan ini berjubah warna merah. MeIihat ada tiga orang pendeta datang, Khalaban sendiri keluar menyambut, ditemani oleh Keng Han dan juga Kalucin yang kini menjadi pembantu utama dari Khalaban.

Khalaban membungkuk kepada tiga orang pendeta itu dan berkata ramah, “Selamat datang di perkampungan kami. Sam-wi (kalian bertiga) hendak mencari siapakah dan ada kepentingan apakah berkunjung ke tempat kami?”

Tiga orang pendeta yang kepalanya gundul itu menoleh ke kanan kiri seperti orang yang mencari-cari, kemudian seorang di antara mereka yang berjenggot panjang bertanya, “Apakah di sini terdapat seorang pendeta Lama Jubah Kuning yang bernama Gosang Lama?”

“Ahhh, Gosang Lama? Sudah tiga hari yang lalu dia pergi meninggalkan perkampungan kami ini!” kata Khalaban terus terang.

“Hemmm, sayang sekali. Agaknya dia telah mengetahui akan kedatangan kita, maka lebih dulu melarikan diri. Keparat!” kata pendeta itu dengan gemas.

Mendengar makian ini, Keng Han mengerutkan alisnya dan melangkah maju. “Mengapa kalian bertiga memaki guruku? Kalau dia berada di sini kalian mau apa?” bentaknya.

Tiga orang pendeta itu memandang kepada Keng Han dan seorang di antara mereka berkata, “Hemmm, engkau muridnya? Jika sekarang dia berada di sini, tentu kami akan menangkapnya.”

“Ditangkap? Kenapa?” Keng Han bertanya penuh penasaran.

“Dia adalah seorang pelarian dari negeri kami. Dia harus ditangkap dan dihukum.”

“Hei, orang muda! Kalau engkau muridnya, engkau tentu mengetahui ke mana dia pergi bersembunyi!” kata pendeta yang jenggotnya panjang. “Hayo beritahukan kepada kami!” Berkata demikian, pendeta itu menjulurkan tangannya menangkap pundak Keng Han.

Keng Han yang sudah marah sekali itu cepat mengelak, bahkan lalu menubruk maju sambil memukul ke arah perut pendeta itu. Pendeta itu tidak mengelak dan pukulan itu tepat mengenai perutnya.

“Bukkk...!”

Keras sekali pukulan Keng Han. Akan tetapi pendeta yang terpukul perutnya itu tidak apa-apa, sebaliknya Keng Han yang memegangi kepalan tangan kanan dengan tangan kiri. Tulang-tulang jari tangannya rasanya patah-patah seperti memukul baja saja. Dan sebelum dia sempat mengelak, pendeta itu sudah mendorongnya sehingga tubuh Keng Han terdorong dan roboh terjengkang.

Khalaban cepat maju memberi hormat. Orang tua ini maklum bahwa dia berhadapan dengan tiga orang pendeta yang lihai.

“Harap maafkan cucu kami ini. Biar pun dia menjadi murid Gosang Lama, akan tetapi dia tidak tahu di mana adanya Gosang Lama. Kemarin dulu dia berpamit dari kami untuk melanjutkan perjalanan ke selatan, entah ke mana dia tidak memberitahu. Harap jangan memaksa kami!”

Mendengar kata-kata kepala suku itu, dan melihat pula betapa banyaknya orang Khitan berdatangan mengepung tempat itu, tiga orang pendeta itu pun agaknya maklum bahwa kalau mereka menggunakan kekerasan tentu akan berhadapan dengan ratusan orang Khitan, maka tiga orang itu lalu mengangguk dan pergi dari situ tanpa bicara lagi.

Peristiwa itu menggores dalam-dalam di hati Keng Han. Dia sudah kehilangan gurunya, dan tiga hari kemudian dia mendapat kenyataan bahwa semua ilmu yang sudah pernah dipelajarinya dari Gosang Lama, ternyata tak banyak gunanya. Hanya melawan seorang pendeta tua saja dia tidak mampu menang dan dikalahkan dalam segebrakan saja!

Gosang Lama memang pernah mengatakan kepadanya bahwa ilmu silat di dunia ini tak ada batasnya dan banyak terdapat orang pandai di dunia ini. Kenyataan ini menghapus kebanggaan dirinya bahwa dia merupakan pemuda terkuat di perkampungannya. Dia harus mencari guru lagi yang lebih pandai. Dia harus pergi merantau mencari guru yang pandai, dan juga merantau ke selatan mencari ayahnya!

Keng Han pernah mendengar cerita dari ibunya mengenai lahirnya sebuah pulau yang menimbulkan gelombang besar di laut utara.

“Hampir saja ayah dan ibumu celaka dalam gelombang besar itu,” Ibunya menceritakan. “Kalau kami tidak mengikat diri di tiang layar, tentu ibumu dan ayahmu sudah terlempar keluar ditelan gelombang lautan. Dan menurut cerita tukang perahu, pulau yang baru lahir itu adalah yang dahulu disebut Pulau Es. Dan ayahmu pernah bercerita kepadaku bahwa pulau itu dahulu menjadi tempat tinggal keluarga yang sakti luar biasa.”

Kisah yang diceritakan ibunya ini menarik perhatiannya. Bagaimana hatinya tidak akan tertarik? Peristiwa aneh itu dialami oleh ibu dan ayahnya sendiri dan mendengar bahwa pulau itu dahulunya dihuni manusia-manusia sakti, hatinya amat tertarik. Keng Han baru berusia lima belas tahun. Jiwa petualangan sedang berkembang dengan suburnya di dalam hatinya.

Maka dia lalu menghadap ibunya dan menyatakan bahwa dia hendak pergi ke selatan untuk mencari ayahnya. Dia sama sekali tidak menceritakan keinginannya mengunjungi pulau aneh itu karena tentu ibunya tidak akan mengijinkannya.

Mendengar puteranya akan pergi mencari ayahnya, Silani tidak dapat melarangnya. Dia hanya berpesan agar puteranya berhati-hati dan agar pedang bengkok itu disimpannya baik-baik dan jangan sampai hilang sebelum bertemu dengan ayahnya.

Khalaban dan Kalucin memberi banyak nasehat kepada pemuda remaja itu. Tadinya Kalucin hendak menemani keponakannya pergi merantau, akan tetapi niatnya itu ditolak keras oleh Keng Han.

“Paman, aku sudah besar dan aku hendak merantau mencari pengalaman. Bagaimana aku akan dapat menambah pengalaman dan pengetahuan kalau dikawal oleh Paman? Dan aku sudah cukup kuat untuk menjaga diri sendiri,” bantahnya.

Kalucin tidak dapat berkata apa-apa lagi karena dalam kenyataannya dia sendiri pun tidak akan menang melawan kekuatan dan kepandaian keponakannya itu.

Tao Keng Han berangkat dengan diantar oleh kakeknya serta Kalucin sampai keluar perkampungan, dan diantar pula oleh tangis ibunya yang tentu saja merasa kehilangan sekali. Akan tetapi Silani yakin bahwa kepergian puteranya itu penting sekali.

Puteranya itu harus dapat bertemu dengan ayahnya, puteranya harus dapat mencapai kedudukan yang tinggi. Bagi dirinya sendiri, dia sudah menerima nasib. Biarlah dia tidak dijemput ke istana, asal puteranya dapat diterima oleh ayahnya dan puteranya menjadi seorang pangeran! Dengan adanya harapan ini, maka hatinya yang sedih ditinggal pergi puteranya menjadi agak terhibur.

Harapan memang suatu perasaan yang luar biasa kuatnya. Harapan bisa menimbulkan gairah hidup. Bila masih mempunyai harapan, maka orang mampu menanggung segala derita yang bagaimana berat pun. Sebaliknya orang yang sudah kehabisan harapan, yang putus harapan, akan mudah melakukan hal-hal yang tidak benar. Bahkan banyak orang membunuh diri karena sudah putus harapan. Akan tetapi sebaliknya, harapan yang terlalu digantungi dapat pula menimbulkan kekecewaan pada akhirnya, karena hanya orang yang berharap sajalah yang akan kecewa kalau harapannya tidak terkabul!

Karena itu, orang tidak boleh putus harapan. Akan tetapi juga tidak baik kalau terlalu mengharap sesuatu secara berlebihan. Harapan yang terlalu berlebihan merupakan keinginan nafsu yang tidak akan pernah terpuaskan. Kalau harapan itu terpenuhi sekali pun, biasanya tidak seindah yang diharapkan, atau tidak terasa sebaik yang diharapkan atau diinginkan karena keinginan sudah menghendaki hal lain lagi yang dianggap lebih baik

.

Akan tetapi bagi seorang yang dilanda kedukaan seperti Silani, yang berduka karena tidak dijemput oleh suaminya setelah lewat lima belas tahun lebih, dan yang kemudian berduka karena ditinggal pergi puteranya, amatlah perlu adanya harapan itu. Harapan supaya puteranya dapat bertemu dengan ayah kandungnya dan dapat diterima sebagai seorang pangeran…..

********************

Setelah keluar dari perkampungan Khitan, Keng Han tidak langsung menuju ke selatan seperti yang disangka ibunya dan kakeknya, melainkan dia membelok ke timur karena dia hendak lebih dulu pergi ke pantai lautan timur untuk mencari pulau yang diceritakan ibunya itu. Keng Han melakukan perjalanan yang amat sukar, melalui pegunungan yang seolah tidak ada habis-habisnya. Dia naik turun gunung dan bahkan sampai berhari-hari tidak bertemu pedusunan.

Akan tetapi, sebagai seorang Khitan dia sudah berpengalaman hidup menyendiri seperti itu, dapat berburu binatang untuk makan dan bermalam di atas pohon besar. Beberapa kali dia bertemu binatang buas, akan tetapi berkat ketangkasannya, dia selalu berhasil membunuh binatang buas yang mengancamnya.

Akhirnya tibalah dia di pantai lautan timur. Dia bermalam di sebuah dusun nelayan dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah duduk termenung di pinggir pantai. Keadaan pantai masih sepi sekali, para nelayan belum membuat persiapan di hari itu. Pagi masih gelap dan amat dinginnya, membuat orang malas untuk keluar dari rumah.

Akan tetapi Keng Han yang duduk di atas pasir pantai itu terpesona. Dia memandang jauh ke timur, ke arah lautan dan dia melihat pemandangan yang sangat menakjubkan. Mula-mula langit di timur, terutama di atas lautan, nampak merah seolah-olah terbakar. Warna langit yang merah itu bertepi kuning emas dan di sana sini nampak awan putih kebiruan. Indah sekali. Bagaikan pintu gerbang sorga di dalam dongeng.

Kemudian muncullah yang terindah dari segalanya yang terindah di saat itu. Sebuah bola api yang amat besar, warnanya merah darah, tersembul perlahan-lahan keluar dari dalam lautan. Hampir dia lupa bahwa itu adalah sang matahari! Seperti seekor makhluk aneh yang muncul dari dalam lautan.

Bola api merah itu cepat sekali, nampak naik dari permukaan laut, lalu nampak semua. Bulat tanpa cacat, membawa cahaya merah yang masih lembut. Akan tetapi semakin tinggi dia naik, semakin cerah warnanya, bukan darah lagi, melainkan merah bercampur keemasan dan mulai mengeluarkan sinar. Sinarnya kini mulai membuat jalur kemerahan di permukaan lautan yang tenang. Indah sekali. Besar sekali. Agung sekali!

Bersama munculnya Sang Matahari, kehidupan pun mulailah. Nampak binatang malam seperti kelelawar beterbangan di udara, agaknya bergegas pulang ke sarangnya, takut kesiangan karena sinar matahari yang cerah akan membuat mereka buta. Sebaliknya, burung-burung camar mulai beterbangan pula, rendah dipermukaan laut, mencari ikan. Beberapa orang nelayan mulai nampak di tepi laut, berpakaian tebal menahan dingin, ada yang mulai membenahi perahu, membetulkan jala dalam persiapan mereka mencari nafkah di hari itu.

Kekusaan Tuhan bekerja setiap saat, di mana-mana. Kebesaran dan keindahannya dapat disaksikan di mana-mana, di sekeliling kita, di dalam diri kita sendiri.

Sayang sekali, mata kita seolah buta dan tidak melihat semua itu, tidak dapat menikmati dan mensyukuri semua itu. Jiwa kita yang seharusnya selalu kontak dan berhubungan dengan kekuasaan Tuhan, seolah tertutup oleh nalsu, bergelimang nafsu sehingga kita selalu menghendaki yang menyenangkan dan memuaskan nafsu belaka

.

Keng Han terpesona, tenggelam ke dalam semua keindahan itu. Dia bahkan sudah lupa akan dirinya sendiri yang seolah-olah kini sudah bersatu dengan semua keindahan itu, bahkan menjadi sebagian dari keindahan itu sendiri.

Keramaian yang makin banyak terjadi di pantai itu, kesibukan para nelayan dan naiknya matahari pagi yang sekarang sinarnya mulai tak dapat tertahankan oleh pandang mata, menyadarkan dirinya dari lamunan. Apa lagi ketika terdengar suara ribut-ribut di sebelah sana.

Ia mengangkat muka memandang. Ternyata suara ribut-rlbut itu terjadi antara tiga orang pendatang yang pakaiannya ringkas seperti ahli-ahli silat dengan belasan orang nelayan yang ribut mulut.

“Kami tidak peduli!” kata seorang di antara tiga pendatang itu. “Kalian harus serahkan sebuah perahu untuk kami pinjam dan sekalian mengantar kami ke pulau itu. Habis perkara!”

“Tapi hal itu tidak mungkin kami lakukan!” bantah seorang nelayan yang masih muda. “Kami adalah nelayan-nelayan yang harus mencari makan setiap hari. Kami pun harus membayar hutang-hutang kami kepada Juragan Lui setiap hari. Bagaimana kami dapat mengantar kalian bertiga ke pulau kosong itu?”

“Kamu berani membantah?” Seorang di antara tiga pendatang itu melangkah maju dan sebuah pukulan mengenai dada pemuda nelayan itu sehingga dia terpelanting roboh. “Siapa yang tidak menurut akan kami hajar dan siapakah yang akan membela kalian? Juragan Lui itu jangan dihiraukan!”

“Hei, siapa berani memandang rendah Juragan Lui?” terdengar seseorang berteriak dan muncullah dua orang yang dari pakaiannya juga bukan nampak sebagai nelayan, tetapi lebih mirip para jagoan dengan pakaian yang ringkas. “Kami yang akan membela para nelayan ini!”

Tiga orang pendatang itu menoleh dan menjadi marah. “Siapakah kalian berdua yang berani mencampuri urusan kami?” Bentak seorang di antara mereka yang hidungnya pesek dan mulutnya besar.

“Kami adalah pembantu Juragan Lui. Kehidupan para nelayan ini sepenuhnya sudah ditanggung oleh Juragan Lui dan hasil tangkapan ikan mereka harus diserahkan kepada Juragan Lui untuk membayar hutang mereka. Kalau kalian mengganggu mereka, bagai mana mereka dapat mencari ikan? Kalian tiga orang asing pergilah dari dusun ini dan jangan membuat ribut di sini, atau kami akan menghajar kalian!”

“Ahhh, kalian ini jagoan-jagoan tukang pukul Juragan Lui agaknya! Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian maka berani membuka mulut besar kepada kami!”

Tiga orang itu lalu maju menyerang kedua orang tukang pukul itu sehingga terjadilah perkelahian. Akan tetapi ternyata dua orang tukang pukul itu tidak mampu menandligi tiga orang itu sehingga mereka dipukul jatuh bangun dan melarikan diri, ditertawakan tiga orang pendatang itu. Para nelayan menjadi semakin ketakutan.

“Hayo cepat sediakan sebuah perahu yang baik dan layarkan ke pulau kosong itu!” kata si hidung pesek dengan nada sombong. “Cepat kalian kerjakan, atau kalian ingin kami menghajar kalian semua?”

“Perlahan dulu! Jangan ada yang mengerjakan perintah tiga orang liar ini!” mendadak terdengar seruan dan muncullah seorang pria berusia lima puluh tahun yang memegang sebatang huncwe yang masih mengepulkan uap dari tembakau yang membara.

Disebut tiga orang liar, tiga orang pendatang itu tentu saja marah sekali dan mereka segera menghadapi orang setengah tua itu. Orang itu berpakaian bagus seperti seorang pedagang, tubuhnya tinggi kurus dan pandang matanya tajam.

“Juragan Lui, kami tadi dipaksa untuk melayarkan mereka ke pulau kosong dan mereka memukul kami!” kata nelayan yang tadi dipukul. “Juga dua orang pembantu Juragan Lui telah mereka hajar!”

Mendengar ini, si hidung pesek tertawa. “Ha-ha-ha, kiranya engkau inilah yang disebut Juragan Lui? Tentu engkau ini lintah darat yang menguras tenaga para nelayan untuk mengisi padat kantung uangmu, juga memberi pinjaman dengan bunga berlipat ganda. Dan engkau berani memaki kami orang liar? Engkau sudah bosan hidup rupanya!”

“Hemmm, kalian bertiga inilah yang bosan hidup!” bentak Juragan Lui sambil menyedot huncwe-nya, lalu meniupkan asap tembakau yang berbau apek itu ke arah mereka.

“Keparat, berani kau!” Si hidung pesek itu menerjang dengan pukulan tangan kanannya.

Akan tetapi dengan amat mudahnya Juragan Lui mengelak, lalu menangkap siku tangan yang memukul. Hanya dengan sekali puntir dan mendorong, Si Pesek itu sudah roboh menelungkup mencium tanah.

Dua orang kawannya menjadi marah bukan main.

“Jahanam yang bosan hidup!” bentak mereka.

Mereka meloloskan golok dari pinggang mereka. Juga si hidung pesek yang ketika jatuh menelungkup itu hidungnya menjadi tambah pesek karena membentur tanah, kini sudah meloncat, membersihkan mukanya dari tanah dan mencabut goloknya. Tanpa banyak cakap lagi tiga orang itu lalu menyerang Juragan Lui dengan golok mereka.

Meski pakaiannya seperti pedagang dan tubuhnya tinggi kurus nampak lemah, kiranya Juragan Lui bukan seorang yang lemah. Cepat sekali tubuhnya bergerak dan dia sudah dapat menghindarkan diri dari bacokan-bacokan golok dengan mengelak ke sana-sini. Kemudian dia mengambil huncwe yang panjangnya selengan tangan itu dari mulutnya dan mulailah dia membalas dengan mempergunakan huncwe itu sebagai senjata.

“Trang-tranggg...!”

Dua batang golok tertangkis huncwe dan dua orang pemegang golok itu terhuyung ke belakang. Orang ke tiga yang membacokkan goloknya ke arah leher Juragan Lui justeru terhuyung ke depan ketika goloknya mengenai tempat kosong, dan tiba-tiba saja ujung huncwe telah menyodok dadanya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini