PUSAKA PULAU ES : JILID-05
Sementara itu, Kwi Hong tengah memandang kepada Keng Han. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, pikirnya, dan sangat sederhana. Kebetulan Keng Han juga sedang memandang kepadanya. Dua pasang mata yang bersinar tajam itu saling bertemu dan bertaut sejenak.
Kwi Hong lalu membungkuk dan berkata, “Terima kasih atas bantuanmu, Sobat!”
“Tak perlu berterima kasih, Nona. Aku tahu bahwa tanpa dibantu sekali pun Nona akan mampu menghajar mereka semua, akan tetapi melihat demikian banyaknya orang pria mengeroyok seorang gadis, bagaimana aku bisa tinggal diam? Terpaksa tadi aku harus mencampuri, Nona.”
“Ahh, tidak mengapa. Aku tadi melihat ilmu silatmu sangat hebat, Sobat. Bolehkah aku mengetahui siapa namamu dan dari perguruan silat manakah engkau?”
Keng Han tidak ingin memperkenalkan diri sebagai seorang she Tao, putera pangeran mahkota!. Ia akan merahasiakan keadaan dirinya itu hingga ia dapat bertemu ayahnya. “Aku bernama Keng Han... Si Keng Han, dan guruku adalah seorang hwesio perantauan dari Tibet. Dan engkau sendiri, bolehkah aku mengetahui siapa namamu, Nona? Dan siapa pula gurumu? Ilmu sepasang pedang yang kau mainkan itu demikian hebat, tentu suhu-mu seorang yang amat terkenal pula.”
Seperti juga Keng Han, Kwi Hong tak ingin orang mengenalnya sebagai puteri Pangeran Mahkota Tao Kuang. Ia tidak ingin menarik perhatian orang. Kebetulan namanya Kwi Hong dan nama Kwi itu boleh dipakai sebagai nama marga.
“Namaku Kwi Hong, dan guruku adalah kakekku sendiri. Ilmu silatku biasa saja, tidak dapat dibandingkan dengan ilmu kepandaianmu, Saudara Keng Han. Atau bolehkah aku menyebutmu Han-koko saja? Lagi pula, bukankah sekarang kita telah menjadi kenalan dan sahabat?”
Girang sekali hati Keng Han. Gadis ini selain tabah, lihai ilmu silatnya, bicaranya pun lihai pula, juga wataknya amat polos! Sungguh watak yang menyenangkan sekali.
“Tentu saja boleh dan aku pun tentu boleh menyebutmu Moi-moi saja, karena aku yakin bahwa engkau jauh lebih muda dari padaku.”
“Hik-hik-hik, Han-ko. Engkau bicara seolah engkau ini sudah menjadi kakek-kakek saja. Memang aku lebih muda darimu, akan tetapi aku yakin kalau selisihnya tidak seberapa banyaknya. Berapa usiamu sekarang?”
“Sudah hampir dua puluh satu tahun, Nona... ehhh, Hong-moi.”
“Nah, dan kini aku sudah hampir delapan belas tahun! Selisihnya hanya sedikit saja, tiga tahun. Ehh, Han-ko, sebetulnya engkau hendak ke manakah dan datang dari mana?”
Pertanyaan ini lebih lagi tidak dapat dijawab sejujurnya oleh Keng Han. Tidak mungkin dia menceritakan bahwa dia datang dari Pulau Hantu dan kini dia hendak pergi mencari ayahnya, Pangeran Mahkota.
“Aku hanyalah seorang perantau, Hong-moi, dan aku sedang menuju ke kota raja untuk mencari pengalaman dan meluaskan pengetahuan. Aku belum pernah ke sana dan aku mendengar bahwa kota raja amat besar dan indah.”
“Ahhh, kebetulan sekali, aku pun kini sedang pergi ke kota raja. Kita dapat melakukan perjalanan bersama, Han-ko.”
“Aih, apakah engkau tidak merasa... janggal, Hong-moi? Melakukan perjalanan bersama seorang pemuda seperti aku yang sama sekali asing bagimu? Apa akan kata orang nanti?”
“Peduli amat dengan pendapat orang, Han-ko. Jika aku terlalu mempedulikan pendapat orang lain, tak mungkin aku dapat berkelana seperti ini seorang diri. Aku selalu meneliti langkah sendiri, kalau aku tidak melakukan sesuatu yang tidak benar, habis perkara. Orang lain boleh menilai bagaimana pun sesuka perut mereka, aku tidak peduli. Kita telah berkenalan, kita pun telah menjadi sahabat, sama-sama menghadapi orang-orang yang sesat jalan. Nah, bukankah kita tidak asing lagi satu sama lain? Atau... engkau yang tidak suka melakukan perjalanan bersamaku, Han-ko?”
Keng Han menghela napas panjang. Tepat dugaannya, gadis ini seorang yang polos dan keras hati. Tentu gadis ini minggat dari rumahnya karena kalau terang-terangan, tentu orang tuanya tidak akan mengijinkannya merantau seorang diri seperti itu!
“Hong-moi, bagaimana aku dapat tidak suka melakukan perjalanan bersamamu? Tentu saja aku suka sekali, apa lagi engkau dapat menjadi penunjuk jalan. Aku tadi ragu hanya karena mengingat akan dirimu, jangan sampai engkau menjadi celaan orang.”
“Biarkan saja orang mencelaku, asal tidak di depanku. Kalau ada yang berani mencela di depanku, tentu akan kutampar mulutnya sampai semua giginya copot. Han-ko, yang penting adalah kita sendiri, bukan? Kalau kita berdua melakukan perjalanan dengan wajar, sebagai dua orang sahabat yang saling menghormati dan saling menghargai, tak melakukan sesuatu yang melanggar susila, siapa yang akan berani mencela?”
Bukan main kagumnya hati Keng Han. Seorang gadis yang masih begini muda, akan tetapi pengetahuannya tentang kehidupan dan tentang kemanusiaan sudah sedemikian mendalam. Tentu seorang gadis yang amat terpelajar, di samping ahli silat yang pandai.
“Engkau benar, Hong-moi. Mendengar pendapatmu, aku menjadi tidak ragu-ragu lagi, dan bahkan besar dan bangga hatiku mendapatkan seorang sahabat yang masih muda akan tetapi demikian bijaksana sepertimu. Nah, mari kita berangkat, Hong-moi. Mana jalan yang menuju ke kota raja?”
“Kita keluar dari pintu gerbang utara dan terus menuju ke utara, tentu akan sampai ke kota raja, Han-ko. Mari kita berangkat.”
Mereka lalu berangkat, meninggalkan Tung-san melalui pintu gerbang utara. Ternyata perjalanan itu harus melalui daerah pegunungan yang sunyi. Baru kurang lebih sepuluh li mereka berjalan, mendadak dari depan datang seorang petani berlari-lari dan nampak ketakutan.
Keng Han segera menghadang dan bertanya. “Paman, ada apakah Paman berlari-lari seperti orang ketakutan?”
“Ahh, orang muda, jangan pergi ke sana. Aku melihat perkelahian antara orang-orang yang berkepala gundul dan berjubah merah. Tiga orang mengeroyok satu orang dan agaknya mereka itu hendak membunuhnya. Aku menjadi ketakutan. Ahh, jangan-jangan mereka akan mengejarku pula...!” Orang itu berlari lagi ketakutan.
Mendengar ini, Keng Han menjadi tidak enak hati. Tiga orang gundul berjubah merah mengingatkan dia akan tiga orang pendeta Lama yang dahulu pernah mencari gurunya, Gosang Lama. Mereka berkepandaian sangat tinggi sehingga ketika dia memukulnya, tangannya sendiri merasa kesakitan dan sekali dorong saja seorang di antara mereka dapat merobohkannya! Jangan-jangan yang dimaksudkan petani tadi adalah tiga orang pendeta Lama itu dan yang dikeroyok adalah gurunya!
“Mari kita ke sana!” katanya dan dia pun berlari cepat, dikejar oleh Kwi Hong.
“Tunggu aku, Han-ko!” teriak gadis itu yang mengejar dengan secepatnya sehingga ia dapat menyusul Keng Han.
Tidak lama kemudian mereka melihat tiga orang berpakaian pendeta berjubah merah sedang mengeroyok seorang kakek yang berpakaian biasa seperti seorang petani yang kepalanya botak hampir gundul. Pada saat mereka tiba di situ, kakek yang dikeroyok itu agaknya telah terluka parah dan sempoyongan hampir roboh. Melihat ini Kwi Hong yang penasaran melihat seorang dikeroyok tiga, sudah menerjang maju dan membentak.
“Pengecut-pengecut tidak tahu malu! Mengeroyok seorang tua!”
Dia menyerang pendeta yang terdekat. Pendeta itu pun menangkis serangannya.
“Dukkk...!”
Tubuh Kwi Hong terhuyung ke belakang. Dia merasa terdorong oleh tenaga yang kuat sekali ketika lengannya tertangkis tadi. Maklum bahwa dia berhadapan dengan orang pandai, Kwi Hong langsung mencabut sepasang pedangnya dan menyerang pendeta itu dengan ilmu Ngo-heng-kiam.
Pendeta itu terkejut melihat kehebatan serangan sepasang pedang. Dia menggunakan lengan bajunya yang lebar untuk menangkis sambil mundur.
Sementara itu, Keng Han melihat bahwa kakek yang terluka parah itu adalah Gosang Lama. Dia cepat menyambar tubuh yang hampir roboh itu.
“Suhu...!” teriaknya.
“Keng Han..., pergilah... mereka lihai sekali. Larilah!” kata Gosang Lama ketika melihat muridnya.
Akan tetapi Keng Han segera merebahkan gurunya dan cepat meloncat berdiri. Ketika memutar tubuhnya, dia melihat betapa Kwi Hong sudah bertanding melawan seorang pendeta jubah merah kotak-kotak, sedangkan dua pendeta lainnya hanya menonton. Dia menjadi marah sekali dan meloncat ke depan dua orang pendeta yang menonton pertandingan itu.
“Pendeta-pendeta keparat dan kejam!” bentaknya.
Karena maklum bahwa mereka adalah orang-orang yang tangguh sekali, maka dia lalu menyerang dengan pukulan yang dilatihnya di Pulau Hantu. Tangan kanannya memukul dengan kandungan hawa yang amat panas sedangkan tangan kirinya memukul dengan kandungan hawa yang amat dingin.
Melihat pemuda itu memukul dan ada angin menyambar dahsyat, dua orang pendeta itu terkejut dan cepat menangkis dengan tangan mereka.
“Wuuuuuttt... desssss...!”
Pertemuan tenaga itu hebat sekali dan akibatnya dua orang pendeta itu terjengkang dan terbanting. Yang seorang merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa panas sekali dan yang kedua merasa seluruh tubuhnya dilanda hawa yang amat dingin. Mereka tidak terluka parah, akan tetapi terkejut bukan main. Seorang pemuda dapat menggunakan pukulan berlawanan dalam satu saat sungguh luar biasa sekali!
Mereka pernah dengar bahwa ilmu-ilmu tangguh seperti itu hanya dimiliki oleh pendekar keluarga Pulau Es! Mereka menjadi jeri dan dalam bahasa Tibet mereka memanggil temannya yang bertanding melawan Kwi Hong untuk melarikan diri. Pemuda itu terlalu tangguh, apa lagi di situ masih terdapat Kwi Hong yang memiliki ilmu sepasang pedang yang hebat. Mereka lalu melarikan diri dengan cepat, jubah mereka berkibar di belakang mereka.
Keng Han hendak mengejar, akan tetapi ia mendengar suara gurunya mengeluh, “Keng Han, jangan...!”
Mendengar suara gurunya ini, Keng Han tidak jadi mengejar dan berlutut di samping tubuh gurunya. Ternyata Gosang Lama telah terluka parah sekali, napasnya terengah-engah. Melihat keadaan gurunya ini Keng Han mencoba untuk membantunya dengan menempelkan kedua tangan di dada gurunya dan mengerahkan sinkang-nya.
Akan tetapi tiba-tiba mata Gosang Lama mendelik dan napasnya makin ngos-ngosan! Keng Han terkejut dan segera menghentikan pengerahan tenaganya. Bagaimana napas Gosang Lama tidak akan menjadi terengah-engah kalau mendadak ada dua hawa yang berlawanan memasuki tubuhnya yang sudah terluka parah?
“Ahhh, Suhu. Bagaimana keadaanmu?” Keng Han mengguncang pundak kakek berusia sudah tujuh puluh tahun itu.
Gosang Lama hanya menggelengkan kepala dan mulutnya hanya dapat mengeluarkan suara berbisik. Keng Han mendekatkan telinganya dan mengerahkan pendengarannya untuk menangkap pesan terakhir itu.
“Semua ini... gara-gara... Dalai Lama..., Keng Han. Kau… kau bunuh Dalai Lama untuk membalas dendamku... kemudian kau hancurkan Bu-tong-pai... itu juga musuh besarku. Ada puteraku...Gulam Sang temui dia, ajak kerja sama... aku... aku...”
Kepala itu terkulai dan Gosang Lama telah menghembuskan napas terakhir, membawa semua rahasia hidupnya bersamanya.
“Suhu...!” Keng Han menangis sambil memeluk tubuh yang masih hangat itu.
Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. “Han-ko, yang sudah mati tidak ada gunanya ditangisi lagi. Suhu-mu sudah meninggal, sebaiknya diurus jenazahnya.”
Ucapan ini menyadarkannya. Tadi dia menangis karena terharu. Selama lima tahun dia digembleng oleh kakek ini dengan penuh kesungguhan hati. Kakek inilah satu-satunya gurunya. Teringat akan kebaikan kakek itu maka dia tadi terharu dan menangis. Ucapan Kwi Hong menyadarkannya dan dia berhenti menangis.
Dia menghapus air matanya, menoleh kepada Kwi Hong dan berkata, suaranya sudah tenang lagi. “Engkau benar, Hong-moi. Aku tadi terlalu lemah.”
Dengan dibantu Kwi Hong, Keng Han menggali lubang dan mengubur jenazah Gosang Lama dengan sederhana dan khidmat. Setelah itu dia berlutut di depan makam gurunya sambil berjanji, “Suhu, teecu akan melaksanakan semua perintah Suhu.”
Kwi Hong mengerutkan alisnya ketika mendengar ucapan Keng Han ini. “Han-ko, pesan terakhir suhu-mu itu sungguh luar biasa sekali.”
Keng Han menoleh kepada gadis itu. “Luar biasa? Apanya yang luar biasa? Suhu hanya menyuruh aku membasmi musuh-musuh besarnya yang telah berlaku jahat kepadanya.”
“Pertama, agaknya suhu-mu itu juga seorang pendeta. Seorang pendeta tapi memesan kepada muridnya untuk membalas dendam! Sungguh luar biasa dan aneh sekali. Pada umumnya seorang pendeta justru melarang muridnya mengandung dendam di hati. Dan kedua kalinya, pesan itu sungguh amat tidak mungkin kau lakukan, Han-ko.”
“Tidak mungkin?” Keng Han mengerutkan alisnya. “Kenapa tidak mungkin, Hong-moi?”
Dia merasa penasaran sekali walau pun alasan pertama tadi kini juga menjadi bahan pemikirannya. Dia pun telah banyak membaca kitab-kitab agama yang melarang adanya dendam di hati, akan tetapi kenapa suhu-nya malah menyuruh dia membalas dendam? Akan tetapi tidak mungkin dia mengingkari janjinya kepada suhu-nya sendiri!
“Tidak mungkin karena permintaan suhu-mu itu luar biasa beratnya. Kau tahu siapa itu Dalai Lama?”
Keng Han menggelengkan kepalanya. Memang dia belum pernah mendengar atau pun membaca tentang Dalai Lama.
“Belum pernah. Siapa sih dia?”
“Dalai Lama adalah pendeta kepala dari para pendeta Lama di Tibet. Kekuasaannya besar sekali, bahkan melebihi kekuasaan raja. Dan di Tibet terdapat banyak sekali pendeta berilmu tinggi yang tentu akan melindungi Dalai Lama. Kurasa engkau tidak akan dapat menyentuh sehelai rambut pun dari Dalai Lama. Beliau sendiri merupakan seorang yang sangat tinggi ilmunya. Bagaimana mungkin engkau melaksanakan tugas yang amat berbahaya itu?”
“Bagaimana besar pun bahayanya, tugas yang diberikan oleh suhu harus kulaksanakan, Hong-moi. Aku tidak takut!” kata Keng Han dengan suara tegas.
“Hemmm, dan tugas kedua lebih aneh lagi.”
“Membasmi Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu? Apa anehnya? Kalau mereka itu musuh besar suhu, memang harus dibasmi!”
“Tahukah engkau siapa Bu-tong-pai itu, Han-ko?”
“Yang pernah kudengar, Bu-tong-pai adalah satu di antara perguruan-perguruan silat yang terkenal...”
“Bukan hanya terkenal karena ilmu silatnya, melainkan lebih terkenal lagi bahwa murid-murid Bu-tong-pai merupakan pendekar-pendekar yang gagah perkasa dan pembela kebenaran dan keadilan. Bu-tong-pai adalah perkumpulan para pendekar. Bagaimana engkau disuruh untuk membasminya? Sungguh aku merasa heran sekali. Kalau gurumu itu musuh besar Bu-tong-pai, maka...” Kwi Hong tidak mau melanjutkan kata-katanya karena dia tidak ingin menyinggung perasaan hati Keng Han.
“Maka bagaimana, Hong-moi? Apakah engkau hendak bilang bahwa gurukulah yang berada di pihak yang salah?”
“Mungkin saja, karena Bu-tong-pai selalu menentang kejahatan dan tidak pernah murid mereka melakukan kejahatan.”
“Apa pun alasannya, kalau mereka itu musuh besar suhu, harus kulaksanakan janjiku kepada suhu untuk membasmi mereka!” kata Keng Han berkeras.
“Jangan, Han-ko. Engkau mempertaruhkan nyawamu!”
“Bukankah sudah sepatutnya budi kebaikan guru dibalas dengan taruhan nyawa?”
“Han-ko...”
Kwi Hong merasa bingung sekali. Dara ini mengkhawatirkan Keng Han, pemuda yang menarik perhatiannya dan yang mendatangkan suatu perasaan aneh di dalam hatinya. Ia merasa sayang sekali kalau sampai Keng Han menderita celaka dalam tugasnya itu, apa lagi memusuhi Bu-tong-pai! Pemuda itu dapat dianggap sebagai seorang penjahat!
“Han-ko, urungkan niatmu itu! Marilah engkau pergi bersamaku ke kota raja...!”
“Tidak, Hong-moi. Aku mengubah tujuan perjalananku. Aku sekarang juga harus pergi mencari Dalai Lama di Tibet!”
“Akan tetapi perjalanan itu jauh sekali, Han-ko.”
“Aku tidak peduli,” Keng Han bangkit berdiri. “Selamat tinggal, Hong-moi. Aku berangkat sekarang juga.” Dia lalu melompat pergi.
“Han-ko... tunggu...!” Teriakan ini membuat Keng Han menahan larinya dan dia berhenti. Gadis itu mengejar dan menyusulnya.
“Ada apa, Hong-moi?”
“Han-ko, aku ikut denganmu!” katanya dengan tegas, lupa sama sekali bahwa ia adalah puteri Pangeran Mahkota! “Aku akan ikut ke Tibet!”
Benar-benar Kwi Hong sudah lupa diri dan lupa keadaan. Hasrat hatinya hanya ingin bersama pemuda itu, tidak ingin berpisah.
Akan tetapi Keng Han masih memiliki kesadaran. Tidak mungkin dia membawa seorang gadis yang baru dikenalnya melakukan perjalanan sejauh itu. Apa akan kata orang tua gadis itu? Juga ini di luar kepantasan.
“Tidak, Hong-moi. Ini adalah urusan pribadiku yang harus kuselesaikan sendiri. Aku tak ingin engkau terbawa-bawa. Kalau sudah selesai tugasku, mungkin kita dapat bertemu kembali. Nah, selamat tinggal!”
Dia menggunakan ilmunya berlari cepat sekali sehingga sebentar saja sudah lenyap dari pandang mata gadis itu. Dan tanpa disadarinya, kedua mata Kwi Hong menjadi basah! Dia merasa menyesal sekali. Pemuda sehebat itu menerima tugas seberat dan seaneh itu. Dia menoleh dan memandang kepada makam Gosang Lama.
“Hemmm, aku sangsi apakah dia ini seorang baik-baik,” gumamnya, kemudian dia pun pergi meninggalkan tempat itu menuju ke kota raja…..
********************
Kita tinggalkan dulu Kwi Hong yang kembali ke kota raja dan Keng Han yang pergi ke Tibet dan mari kita menengok keadaan perkumpulan Thian-li-pang.
Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan para pendekar dan patriot yang diam-diam menghendaki kemerdekaan bagi nusa dan bangsanya, terbebas dari penjajahan bangsa Mancu. Perkumpulan Thian-li-pang tadinya dibawa menyeleweng oleh seorang sesat, akan tetapi kemudian setelah dipegang oleh ketuanya yang sekarang, kembali ke jalan benar. Biar pun sama-sama menentang kekuasaan Mancu, tapi Thian-li-pang tidak sudi bekerja sama dengan dua perkumpulan lain yang dianggap sesat, yaitu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
Setelah dipegang oleh ketuanya yang sekarang, yaitu Yo Han, seorang pendekar yang terkenal dengan julukan Pendekar Tangan Sakti, perkumpulan itu menjadi makin besar dan maju. Pusat perkumpulan ini berada di puncak Bukit Naga.
Ada satu peraturan yang dipegang keras oleh para murid Thian-li-pang, yaitu tidak boleh sembarangan membunuh, biar yang dibunuh pejabat pemerintah kerajaan Mancu sekali pun. Sasaran mereka bukan para pembesar yang baik, akan tetapi para pembesar yang melakukan penindasan terhadap rakyat jelata.
Yo Han benar-benar mengerti bahwa belum tiba saatnya untuk memberontak terhadap pemerintah Mancu. Keadaan pemerintah Mancu masih terlampau kuat. Bahkan banyak pula bangsa Han yang mendukungnya, termasuk perkumpulan-perkumpulan besar dan pendekar-pendekar sakti.
Yo Han hanya memimpin para murid untuk bertindak sebagai pendekar-pendekar yang menegakkan kebenaran dan keadilan, menentang si jahat dan melindungi si lemah yang tertindas. Oleh karena itu, pemerintah pun tidak melakukan usaha untuk membasminya sebagai pemberontak, karena tindakan para murid Thian-li-pang seperti para pendekar, bukan seperti pemberontak.
Yo Han, sang ketua Thian-li-pang, adalah seorang pendekar besar yang namanya amat terkenal di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti berjuluk Pendekar Tangan Sakti. Selain terkenal amat lihai, dia juga bijaksana sekali. Pendekar yang satu ini pantang membunuh lawan, bahkan para penjahat yang ditundukkannya selalu diberi nasehat agar kembali ke jalan benar dan tidak dibunuh. Oleh karena itu, banyak sekali penjahat besar yang berhutang budi kepadanya, telah kembali ke jalan benar karena sikap pendekar ini.
Yo Han telah berusia hampir lima puluh tahun, akan tetapi dia masih nampak tampan dengan matanya yang bersinar tajam dan cerdik. Wajahnya berbentuk lonjong dengan dagu runcing berlekuk, kini ditumbuhi jenggot sedang yang sebagian sudah berwarna putih.
Rambutnya yang panjang juga bercampur sedikit uban, tetapi alisnya yang menghias dahinya yang lebar masih tetap hitam tebal. Hidungnya mancung dan mulutnya ramah sekali, selalu dihias senyum. Tubuhnya sedang-sedang saja, namun tegap berisi. Inilah pendekar sakti Yo Han yang menjadi ketua Thian-li-pang di Bukit Naga.
Isterinya juga bukan orang sembarangan. Isterinya yang bernama Tan Sian Li, dahulu ketika masih menjadi gadis sudah terkenal pula sebagai seorang pendekar wanita yang berjuluk Si Bangau Merah. Julukan ini karena pakaiannya yang selalu berwarna merah dan karena ilmu silatnya yang khas, yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah).
Walau pun tingkat ilmu kepandaiannya tidak sehebat suaminya, akan tetapi Tan Sian Li merupakan seorang wanita yang sukar dicari tandingnya. Wanita ini adalah campuran keturunan dari para Pendekar Gurun Pasir dan Pendekar Pulau Es, bahkan juga pernah mempelajari ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Naga). Tidak heran jika wanita ini amat mahir menggunakan sebatang suling yang berselaput emas sebagai senjata.
Akan tetapi ilmunya yang paling diandalkan adalah Angho Sin-kun yang ia pelajari dari ayahnya. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih yang namanya juga amat terkenal di dunia kang-ouw puluhan tahun yang lalu. Sekarang usia Tan Sian Li sudah empat puluh tahun, tujuh tahun lebih muda dari suaminya. Dalam usianya yang empat puluh tahun, ia masih nampak cantik jelita.
Wajahnya bulat telur dan kulitnya putih mulus. Matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya selalu senyum mengejek dengan dihias lesung pipit di kanan kiri. Wataknya keras dan agak galak. Selain pandai ilmu silat, Tan Sian Li ini juga pernah belajar ilmu pengobatan tusuk jarum dari mendiang Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat).
Suami isteri ini hanya memiliki seorang anak perempuan yang kini telah berusia delapan belas tahun. Puteri mereka ini diberi nama Yo Han Li, yaitu gabungan dari nama Yo Han dan Tan Sian Li. Dengan ayah dan ibu seperti itu, tentu saja Han Li amat cantik manis. Sejak kecil ia juga sudah digembleng ilmu silat sehingga setelah berusia delapan belas tahun ilmu kepandaiannya sudah setingkat dengan ibunya! Namun, Han Li yang cantik ini berwatak pendiam dan anggun, tidak seperti ibunya yang dahulu lincah dan galak.
Yo Han dan isterinya memimpin Thian-li-pang dengan bijaksana dan keras memegang peraturan sehingga para murid semuanya patuh dan tunduk. Tak ada di antara mereka yang berani melanggar pantangan perkumpulan. Mereka tidak boleh mencari perkara, tak boleh mengganggu rakyat, tidak boleh bermain judi, dan kalau bertemu lawan, tidak boleh membunuh.
“Kita memang membenci kaum penjajah dan sudah menjadi cita-cita kita bersama untuk membebaskan rakyat kita dari cengkeraman penjajah. Akan tetapi kini belum saatnya. Kekuatan kita tiada artinya dibandingkan kekuatan kerajaan Mancu. Kalau saatnya telah tiba, dan hanya dalam pertempuran dengan bangsa Mancu, maka larangan membunuh dengan sendirinya dihapus. Demi membela bangsa serta memerdekakan tanah air dari cengkeraman penjajah, kita harus berjuang mati-matian, kita dibunuh atau membunuh,” demikianlah antara lain Yo Han memberi peringatan kepada para murid atau anggota Thian-li-pang.
Perguruan-perguruan lain sangat menghormati Thian-li-pang sehingga terjalin hubungan baik antara Thian-li-pang dengan partai-partai besar seperti Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan lain-lain. Sudah beberapa kali Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai mencoba untuk menghubungi Thian-li-pang untuk bekerja sama memberontak, namun Thian-li-pang selalu mengelak dan tidak bersedia bekerja sama dengan mereka.
Yo Han mengenal benar mereka yang memimpin kedua partai ini. Mereka adalah orang-orang golongan sesat yang menggunakan kedok perjuangan untuk keuntungan mereka sendiri.
Untuk membiayai perkumpulan mereka, Yo Han lalu menyuruh para muridnya bekerja. Mereka membuka piauw-kiok (pengawal barang kiriman), juga menjadi penjaga-penjaga keamanan. Oleh karena barang kiriman yang dikawal Thian-lipang selalu aman dan tak pernah diganggu oleh penjahat, maka usaha mereka itu maju sekali dan hasilnya dapat untuk biaya perkumpulan mereka. Di samping itu, ada pula para murid yang bekerja sendiri, ada yang berdagang, ada yang menjadi karyawan, ada pula yang bertani. Yo Han sendiri membuka sebuah toko rempah-rempah dan isterinya suka menolong orang sakit dengan pengobatan tusuk jarum.
Pada suatu hari, sebuah kereta mewah berhenti di depan rumah ketua Thian-li-pang ini. Para murid Thian-li-pang merasa heran karena kereta seperti itu tentulah milik seorang bangsawan tinggi. Segera mereka melapor kepada ketua mereka dan mendengar ada kereta bangsawan datang, Yo Han bersama isterinya segera keluar menyambut karena mereka sudah dapat menduga siapa yang datang berkunjung.
Dari kereta itu turun seorang laki-laki bertubuh tegap, berusia empat puluh tiga tahun. Leaki ini bermuka bundar berkulit putih dengan mata tajam dan hidungnya agak besar. Alisnya tebal dan mulutnya tersenyum-senyum.
Di sampingnya turun pula seorang wanita yang usianya sebaya, anggun serta cantik. Tubuhnya masih ramping, juga wajahnya nampak berseri ketika melihat Yo Han dan Tan Sian Li keluar menyambut. Rambutnya digelung tinggi dan dihias dengan hiasan rambut terbuat dari emas permata. Wajahnya yang cantik dan anggun itu agak dingin, akan tetapi senyumnya begitu manis sehingga dapat mengusir kesan dingin itu. Paling akhir keluar seorang pemuda bangsawan yang gagah dan tampan.
Siapakah mereka ini yang menjadi tamu-tamu Thian-li-pang? Mereka memang keluarga bangsawan tinggi karena laki-laki setengah tua itu bukan lain adalah Pangeran Cia Sun, seorang pangeran yang tidak penting kedudukannya di kota raja, karena ayahnya, yaitu Pangeran Cia Yan hanya menjadi anak angkat mendiang Kaisar Kiang Liong.
Pangeran Cia Sun ini juga agaknya tidak terlalu membanggakan kedudukannya sebagai pangeran, bahkan di waktu mudanya dia suka pergi berkelana di dunia kang-ouw. Dia memang pandai ilmu silat dan mengenal banyak pendekar dan tokoh kang-ouw. Bahkan ia pernah bersahabat baik dan mengangkat saudara dengan Yo Han. Di waktu mudanya pernah ia melakukan perjalanan petualangan dengan Yo Han hingga hubungan mereka akrab sekali, pernah mengalami suka duka bersama dan menghadapi ancaman maut bersama!
Wanita cantik anggun dingin itu adalah isterinya yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini juga bukan wanita sembarangan. Ketika masih muda, dia pernah menjadi puteri angkat ketua Lembah Ban-kwi-kok, yaitu ketua Pao-beng-pai, juga sebuah perkumpulan sesat yang berkedok perjuangan melawan penjajah.
Akan tetapi ternyata kemudian bahwa Sim Hui Eng ini adalah puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan, sepasang suami isteri pendekar sakti. Wanita ini hilang diculik orang ketika berusia tiga tahun. Baru setelah gadis, ia bertemu kembali dengan ayah bundanya dan kini ia menjadi isteri Pangeran Cia Sun, hidup berbahagia dengan suaminya tercinta di kota raja.
Pemuda itu adalah putera mereka, anak tunggal yang diberi nama Cia Kun. Sebagai putera dari ayah dan ibu yang pandai, tentu saja dia tidak asing dengan ilmu silat. Selain mempelajari sastra seperti layaknya pemuda keluarga bangsawan tinggi, Cia Kun juga digembleng ilmu silat oleh ayah dan ibunya sendiri. Bahkan oleh ibunya dia telah diajar ilmu yang sangat tangguh dari ibunya, yaitu Kang-kin Tiat-kut (Otot Baja Tulang Besi)! Dan sebagai anak tunggal, watak Cia Kun agak manja dan tinggi hati, walau pun watak itu agak tertutup oleh ketampanan wajahnya yang menimbulkan rasa suka di hati orang yang bertemu dengannya.
“Yo-twako...!” Cia Sun lari menghampiri Yo Han dan merangkulnya.
“Cia-te...!” Yo Han juga memeluknya dengan terharu.
Mereka memang seperti kakak adik saja. Setelah bertahun-tahun tidak saling berjumpa, mereka merasa saling rindu. Sim Hui Eng juga segera saling memberi hormat dengan Tan Sian Li.
Pada waktu melihat Han Li, Sim Hui Eng memandang dan tersenyum manis. “Ini tentu puterimu Han Li itu! Aihhh, sudah begini besar, sudah dewasa dan cantik jelita seperti ibunya!”
“Aihh, engkau terlalu memuji. Han Li ini bodoh seperti ibunya. Hayo, Han Li, beri hormat kepada Paman Cia Sun dan Bibi Sim Hui Eng!” kata Tan Sian Li kepada puterinya yang berada di belakangnya.
Han Li cepat memberi hormat kepada suami isteri itu, akan tetapi ia hanya memandang saja sejenak kepada Cia Kun.
“Dan ini tentu putera kalian, bukan? Siapa namanya? Cia Kun, bukan? Ahh, sudah lama tidak berjumpa, sekarang tahu-tahu sudah menjadi seorang perjaka dewasa yang gagah dan tampan seperti ayahnya!” kata Yo Han memuji.
“Cia Kun, hayo cepat engkau memberi hormat kepada pamanmu Yo Han yang sering aku ceritakan padamu itu, dan juga kepada bibimu Tan Sian Li.”
Cia Kun mengangkat kedua tangannya memberi hormat kepada suami isteri itu.
“Aih, kenapa kalian berdua hanya saling pandang saja?” tiba-tiba Sim Hui Eng menegur puteranya dan juga Han Li. “Cia Kun, gadis ini adalah Yo Han Li, puteri paman dan bibimu, engkau harus menyebutnya adik. Dan Han Li, jangan malu-malu terhadap Cia Kun, ini adalah putera kami atau kakakmu!”
Mendapat teguran itu, Han Li segera mengangkat kedua tangan ke depan dada untuk memberi hormat yang segera disambut oleh Cia Kun dengan hormat pula.
“Mari, silakan masuk!” Tan Sian Li mempersilakan tamu-tamunya masuk dan duduk di ruangan dalam.
Sebuah pesta kecil segera diadakan oleh tuan rumah untuk menjamu para tamu yang mereka sayangi dan hormati itu. Para anak buah Thian-li-pang hanya saling pandang dan saling berbisik saja melihat ketua mereka menyambut tamu keluarga bangsawan dari istana demikian akrabnya. Akan tetapi, tidak seorang pun di antara mereka berani menyatakan ketidak senangan hati mereka dan hanya memendam di dalam hati saja.
Di tengah makan minum, Yo Han berkata, “Cia-te kunjunganmu sekeluarga ini sangat menggembirakan hati kami sekeluarga. Akan tetapi di balik itu juga mengherankan. Ada suatu keperluan penting apakah yang kalian bawa dengan kunjungan ini?”
Cia Sun saling pandang dengan isterinya, lalu tersenyum dan menjawab. “Memang ada, Yo-toako. Akan tetapi sebaiknya urusan itu kita bicarakan setelah selesai makan agar lebih santai dan leluasa.”
Demikianlah, setelah makan, mereka pindah duduk di ruang tamu di samping yang lebih luas dan setelah semua pelayan meninggalkan ruangan, baru Cia Sun bicara.
“Sebetulnya, Yo-toako, kunjungan kami ini selain karena merasa rindu kepada kalian, juga kami membawa niat yang amat baik untuk mempererat tali kekeluargaan di antara kita. Melihat kenyataan bahwa anak-anak kita sudah dewasa, dan kebetulan anakmu wanita dan anak kami pria, maka kami mengusulkan supaya di antara mereka diikat tali perjodohan. Bagaimana pendapatmu dengan usul kami itu, Toako dan Toaso?”
Mendengar ucapan itu, Yo Han Li bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan ruang itu dengan muka kemerahan. Melihat ini keempat orang tua itu hanya tersenyum, maklum bahwa sudah wajar kalau seorang gadis merasa malu saat mendengar dirinya dibicarakan untuk urusan perjodohan!
Sementara itu, Cia Kun juga merasa tidak enak. Melihat ini, Yo Han berkata kepadanya, “Cia Kun, kalau engkau ingin menemani adikmu, pergi ke taman bunga di sebelah. Biar kami orang-orang tua dapat berbicara dengan leluasa.”
Cia Kun berterima kasih sekali. Dia pun cepat-cepat bangkit, lalu melangkah ke taman bunga yang berada di pinggir bangunan itu.
“Yo-toako, tentu saja kami tidak minta keputusan yang tergesa-gesa dan kalau engkau hendak membicarakan lebih dulu dengan Toaso (Kakak ipar), silakan. Kami akan sabar menunggu.”
“Tidak perlu, Cia-te. Apa yang akan menjadi keputusan kami adalah sama dan dapat kami jawab sekarang juga. Sebelumnya kami mengharapkan maaf kalau kami hendak bicara terus terang dan sejujurnya.”
“Mengapa minta maaf? Bicara terus terang dan sejujurnya, itulah yang kami harapkan. Nah, utarakan pendapatmu itu, Yo-toako.”
“Begini, Cia-te berdua. Andai Cia-te bukan seorang Pangeran Mancu, tentu pinangan itu akan kami terima dengan kedua tangan dan hati terbuka. Akan tetapi sungguh sayang, Cia-te adalah seorang Pangeran Mancu. Sedangkan kami, Cia-te tentu maklum sendiri bahwa kami adalah orang-orang yang berjuang dan bercita-cita memerdekakan bangsa dari tangan kaum penjajah. Kami berjiwa patriot yang mendambakan kemerdekaan bangsa. Bagaimana mungkin kami berbesan dengan Pangeran Mancu? Nah, Cia-te tentu dapat memaklumi alasan kami yang berkeberatan untuk menerima usul itu.”
“Akan tetapi, Yo-toako!” Sim Hui Eng membantah. “Suamiku bukan orang yang berjiwa penjajah. Hal ini aku yakin Toako telah mengetahui sendiri!”
“Aku tahu. Cia-te adalah orang yang berjiwa pendekar gagah perkasa. Akan tetapi aku juga yakin dia bukan seorang pengkhianat keluarga dan bangsanya. Kita berdua berdiri di seberang yang berlawanan. Kalau kelak terjadi perang antara para pejuang dan para penjajah, lalu bagaimana anak-anak kita akan bersikap? Aku tentu tidak suka apa bila melihat menantuku membantu penjajah memerangi pejuang, sebaliknya aku pun tidak suka melihat menantuku menjadi seorang pengkhianat bagi keluarga dan bangsanya sendiri. Tidak, Cia-te berdua. Ikatan perjodohan ini tidak mungkin kita lakukan. Biarlah mereka berdua menjadi sahabat saja seperti halnya kita.”
“Ahh, Yo-toako, engkau membuat semua harapanku terbanting dan hancur berantakan. Semula aku datang dengan penuh harapan untuk bisa mengekalkan persaudaraan kita, siapa kira engkau menolaknya dengan keras,” kata Cia Sun menyesal sekali.
“Maafkan kami, Cia-te. Ada suatu saat di mana kita harus mengambil sikap tegas agar kelak di kemudian hari tak akan menderita akibat keputusan yang diambil tergesa-gesa.”
“Aku mengerti maksudmu, Toako. Dan aku tidak menyalahkan engkau. Aku mendengar bahwa Thian-li-pang di bawah pimpinanmu menunjukkan sikap sebagai para pendekar, bukan pemberontak, karena itu aku datang penuh harapan. Siapa tahu...”
“Kami memang bukan pemberontak, Cia-te, namun cita-cita kami untuk kemerdekaan bangsa tidak pernah padam. Apa bila sudah tiba waktunya, tentu kami akan bergerak dengan rakyat jelata untuk menuntut kemerdekaan kami.”
“Sudahlah, dasar nasib kami yang tak baik. Kalau begitu, kami mohon pamit, Yo-toako. Harap suruh orang memanggil putera kami.”
Dengan sikap tenang walau pun hatinya merasa tidak enak sekali, Yo Han mengutus seorang pelayan untuk memanggil Cia Kongcu yang berada di taman bunga. Ketika itu, Cia Kun sudah dapat bertemu dengan Han Li di taman.
Ketika pemuda itu memasuki taman bunga, dia melihat gadis itu sedang duduk di antara banyak bunga yang sedang berkembang dengan indahnya. Bermacam bunga ditanam di dalam taman itu dan kebetulan sekali waktu itu musim bunga sedang berkembang. Keharuman bunga semerbak di mana-mana dan pemandangan di taman itu sungguh indah. Tentu saja kalau dibandingkan dengan taman bunga di istana, taman bunga di Thian-li-pang itu bukan apa-apanya, bahkan tidak ada artinya.
“Li-moi, engkau di sini?” tegur pemuda itu setelah menghampiri Han Li.
Han Li membalikkan tubuhnya, memandang pada pemuda itu dengan kedua pipi agak kemerahan. Ia merasa tersipu-sipu karena baru saja orang tua mereka membicarakan tentang perjodohan mereka. Ia merasa heran akan keberanian pemuda itu menyusulnya ke taman bunga.
“Ah, kiranya engkau, Kun-ko. Aku di sini sedang menikmati bunga-bunga yang sedang mekar. Indah sekali bunga-bunga di taman ini, bukan?”
Cia Kun mempunyai watak yang tinggi hati. Mendengar ucapan itu, dia memandang ke sekeliling, lalu katanya, “Ahhh, tidak artinya apa bila dibandingkan dengan taman bunga kami di istana, Li-moi. Datanglah ke taman bunga kami dan engkau akan takjub melihat keindahan bunga-bunga yang ratusan macam di sana!”
Han Li mengerutkan alisnya. Tentu saja hatinya tidak senang mendengar ini. Pemuda itu meremehkan keindahan taman bunganya!
“Hemmm, tentu saja di istana segalanya serba lebih besar dan lebih indah. Akan tetapi aku tidak ingin melihatnya!” katanya agak ketus karena hatinya tersinggung.
Agaknya Cia Kun menyadari kesalahannya dan dia segera berkata, “Akan tetapi di sini ada setangkai bunga yang tidak ada duanya, bahkan di istana juga tidak ada, Li-moi. Bunga itu amat cantik jelita, membuat hatiku terkagum-kagum, Li-moi.”
“Ahh, benarkah itu?” Han Li kelihatan girang dan memandang ke sekelilingnya. “Bunga mana yang kau maksudkan itu, Toako?”
“Bunga itu adalah engkau, Li-moi. Dirimu yang amat mengagumkan hatiku! Dan orang tua kita sedang membicarakan urusan perjodohan kita, Li-moi. Tidakkah hatimu senang sekali, seperti juga perasaan hatiku?”
Han Li mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu dengan tajam. “Kun-ko aku tidak suka mendengar omonganmu ini! Pergilah dan jangan ganggu aku lebih lama lagi!”
Cia Kun hendak membantah, akan tetapi pada saat itu datang pelayan berlarian yang melapor bahwa Cia Kongcu dipanggil oleh orang tuanya, karena hendak diajak pulang. Cia Kun merasa heran, akan tetapi dia segera memberi hormat kepada Han Li sambil berkata, “Maafkan aku, Limoi. Kita berpisah dulu, sampai bertemu kembali.”
Han Li hanya mengangguk dan tidak mempedulikan lagi pemuda itu yang meninggalkan taman. Cara pemuda itu membandingkan taman bunganya dengan taman istana, lalu cara pemuda itu menyatakan perasaan hatinya, sungguh mendatangkan kesan yang tak menyenangkan di dalam hatinya. Ia akan membantah ayah bundanya kalau sampai dia dijodohkan dengan pemuda itu.
Akan tetapi hatinya merasa sangat lega karena ayah bundanya ternyata tidak pernah menyinggung-nyinggung soal perjodohan itu dalam percakapan mereka…..
********************
Tiga hari setelah kunjungan Pangeran Cia Sun sekeluarga, datang dua orang tosu dari Bu-tong-pai berkunjung ke Thian-li-pang. Karena Thian-li-pang di bawah bimbingan Yo Han memang memiliki hubungan baik dengan semua partai dan perguruan silat besar termasuk Bu-tong-pai, maka Yo Han sendiri yang menyambut kunjungan kedua orang tosu utusan Bu-tong-pai itu dan mempersilakan mereka berdua masuk ruangan tamu.
Yo Han menyambut dua orang tamu itu bersama isterinya dan ketika mempersilakan mereka duduk, dia mengamati kedua orang itu. Dua orang tosu yang nampak gagah dan bertubuh tegap.
Yang seorang berusia kurang lebih lima puluh tahun, yang kedua lebih muda beberapa tahun. Yang pertama bertubuh jangkung kurus dengan sepasang mata yang sipit sekali, sedangkan yang lebih muda bertubuh tinggi besar dan memiliki mata yang tajam dan agak liar. Terutama sekali mata itu seperti hendak menelan bulat-bulat nyonya rumah yang cantik jelita itu. Diam-diam Yo Han merasa tidak senang dengan sikap tosu yang lebih muda itu.
“Yo-pangcu (ketua Yo),” kata yang lebih tua sambil mengangkat dua tangan ke depan dada, “Pinto (saya) bernama Thian Yang Cu dan ini adalah sute pinto bernama Bhok Im Cu. Pinto berdua mendapat perintah dari suhu Thian It Tosu untuk datang berkunjung ke sini dan menyampaikan salam suhu kepada Yo-pangcu sekeluarga.”
Yo Han tersenyum dan membalas penghormatan itu. “Totiang berdua, terima kasih atas kunjungan Ji-wi To-tiang (totiang berdua) dan salam dari Thian It Tosu telah kami terima dengan baik. Sampaikan juga salam hormat kami kepada beliau kalau Ji-wi pulang nanti. Dan selain menyampaikan salam, ada kepentingan lain apa pula yang membawa Ji-wi datang berkunjung ini?”
“Memang ada keperluan lainnya, Pangcu. Kami membawa sepucuk surat dari guru kami untuk disampaikan kepada Pangcu,” kata Thian Yang Cu sambil mengeluarkan sepucuk sampul surat yang dia berikan kepada Yo Han.
Sementara itu, Tan Sian Li mengerutkan alisnya karena beberapa kali dia memergoki Bhok Im Cu memandang kepadanya dengan mata lahap sekali. Dia merasakan benar betapa mata tosu itu mengaguminya dan hal ini dianggapnya sama sekali tidak pantas, apa lagi tamu itu seorang tosu.
Setelah menerima surat itu, Yo Han lantas membacanya. Alisnya berkerut dan pandang matanya mengandung keheranan ketika dia menyerahkan surat itu kepada isterinya untuk dibaca. Juga Tan Sian Li merasa heran setelah membaca surat itu.
Di dalam surat yang ditulis sendiri oleh Thian It Tosu, dinyatakan bahwa Bu-tong-pai mengajak Thian-li-pang untuk memberontak dan bergerak. Waktunya sudah tiba dan untuk apa menunda dan menanti lagi, demikian isi surat itu. Nadanya keras dan penuh kebencian kepada pemerintah Mancu.
Yang membuat suami isteri itu heran adalah bahwa biasanya Thian It Tosu bersikap lunak dan biar pun berjiwa patriot seperti mereka, akan tetapi tosu tua itu tidak pernah menyatakan keinginannya untuk memberontak sekarang. Kekuatan pihak pemerintah masih terlampau besar sedangkan para pejuang belum bersatu, bahkan masih banyak golongan pendekar yang mendukung pemerintah Mancu.
Bergerak dan memberontak pada saat sekarang sukar diharapkan hasilnya dan sama dengan bunuh diri. Itulah sebabnya mereka terheran-heran membaca surat yang keras itu, yang mengajak mereka untuk memberontak dan bergerak sekarang juga.
Setelah isterinya selesai membaca surat dan mengembalikannya kepadanya, Yo Han menyimpan surat itu dan memandang kepada kedua orang utusan itu.
“Apakah Ji-wi Totiang telah diberitahu akan isi surat ini?”
“Tentu saja sudah, Pangcu!” berkata Bhok Im Cu dengan suara lantang dan mulutnya tersenyum. Matanya kembali mengerling genit ke arah nyonya rumah. “Kami berdua adalah murid-murid utama yang dipercaya oleh suhu, maka selain mengirimkan surat, kami juga diberi kuasa untuk membicarakan urusan dalam surat itu dengan Pangcu.”
“Hemmm, begitukah? Nah, kalau begitu, ingin kami bertanya, dengan alasan apakah Bu-tong-pai hendak mengajak kami untuk bergerak sekarang?”
Kini Thian Yang Cu yang menjawab. “Menurut suhu, alasannya adalah bahwa sekarang tiba saatnya yang amat baik. Kaisar Cia Cing yang sekarang ini tidak dapat disamakan dengan mendiang Kaisar Kian Liong. Kedudukannya kini lemah, apa lagi di mana-mana terjadi pemberontakan dan perlawanan dari suku-suku bangsa liar mau pun dari bajak laut. Kalau sekarang kita menyerbu dan dapat membunuh kaisar, maka pemberontakan kita akan berhasil baik.”
Yo Han menggeleng kepalanya. “Aku sangsikan betul akan keberhasilan itu. Jika hanya dengan menyerbu istana dan membunuh kaisar saja lalu berarti sudah memenangkan perang dan menggulingkan pemerintah Mancu, ahhh, hal itu hanya merupakan lamunan kosong belaka. Kita harus ingat akan ratusan ribu bala tentara pemerintah yang berada di luar istana. Mereka itu dapat menyerbu dan menghancurkan kita, kemudian dalam sehari saja mereka dapat mengangkat seorang kaisar baru. Lalu pengorbanan kita apa artinya? Tidak semudah itu, Totiang!”
Bhok Im Cu mengerutkan alisnya yang tebal dan dia bangkit berdiri. “Apakah itu berarti bahwa Pangcu tidak menyetujui niat guru kami yang berjiwa patriot? Demi kemerdekaan bangsa, kami rela mempertaruhkan nyawa. Kalau Pangcu merasa takut, Pangcu boleh membantu di belakang saja dan biarkan kami yang maju di depan!”
Biar pun ucapan itu memanaskan hati, Yo Han tetap tersenyum dan bersikap tenang. “Totiang, ingatlah bahwa perjuangan kita bukan sekedar hendak menjatuhkan seorang kaisar untuk diganti kaisar baru, melainkan mengusir penjajah dari tanah air. Untuk itu, kita harus mampu menggerakkan seluruh kekuatan para pejuang dan bukan hanya membunuh kaisarnya, melainkan mengalahkan semua kekuatan mereka dan mengusir mereka dari tanah air. Dan untuk itu, kami rasa waktunya belum tepat. Kita masih belum bersatu, dan di belakang kita rakyat juga belum siap.”
“Kalau menanti seperti yang Pangcu katakan itu, sampai mati pun kita tidak akan pernah bergerak. Membunuh kaisar berarti mengacaukan keadaan mereka. Sekali lagi, kalau Pangcu takut...”
“Bhok Im Cu Totiang!” bentak Yo Han memotong kata-kata orang itu. “Mengapa aku mesti takut? Kalau Totiang tidak takut, aku pun tidak takut. Apa yang dapat Totiang lakukan, aku pun tentu dapat! Aku bukan takut, hanya menggunakan perhitungan akal, bukan hanya ingin mati konyol seperti seorang laki-laki yang tolol!”
Bhok Im Cu menjadi merah mukanya. “Bagus! Sudah lama pinto mendengar kehebatan Pendekar Tangan Sakti Yo Han. Pinto hanya mempunyai sedikit saja kepandaian, akan tetapi kalau Yo-pangcu dapat menyamainya, biarlah pinto mengaku kalah!”
Bhok Im Cu sudah mencabut sebatang golok. Melihat ini, Thian Yang Cu terkejut dan hendak mencegah sutenya.
“Sute, jangan bersikap kasar!” celanya.
“Suheng, aku hanya ingin minta petunjuk dari Yo-pangcu saja. Jangan khawatir!” jawab Bhok Im Cu.
Di sudut ruangan itu, terpisah sedikitnya dua puluh meter dari sana, terdapat sebuah orang-orangan dari kayu. Patung ini gunanya untuk belajar ilmu totok bagi murid-murid Thian-li-pang. Sekali Bhok Im Cu menggerakkan tangannya, goloknya sudah meluncur dengan cepat sekali dan tahu-tahu golok itu sudah menancap di ulu hati patung itu, menancap sampai setengahnya!
Melihat hal ini, Yo Han tersenyum. Harus diakuinya bahwa tosu itu selain pandai sekali menyambit dengan golok, semacam ilmu yang disebut hui-to (golok terbang), juga tosu itu memiliki tenaga yang cukup hebat sehingga dalam jarak sejauh itu goloknya mampu menancap sampai setengahnya pada patung kayu yang keras itu.
“Pinjam pedangmu!” kata Yo Han kepada isterinya.
Tan Sian Li yang berjuluk Si Bangau Merah ini memang selalu membawa dua macam senjata, yaitu sebatang pedang dan suling yang berselaput emas. Dia mencabut dan menyerahkan pedangnya kepada suaminya.
Yo Han menerima pedang itu. Tanpa membidik pula dia sudah menggerakkan tangan, melontarkan pedang itu ke arah patung. Pedang itu meluncur bagaikan sebatang anak panah, mengeluarkan suara berdesing panjang.....
Komentar
Posting Komentar