PUSAKA PULAU ES : JILID-08
“Akan tetapi bibi guru tadi, mengapa ia menutupi mukanya dengan sapu tangan putih?”
“Itulah usahanya agar wajahnya tidak dapat nampak oleh pria dan agar tidak ada pria yang jatuh cinta kepadanya. Sudahlah, kita jangan lama-lama di sini. Daerah ini masih merupakan wilayah kekuasaan subo.”
Keduanya melanjutkan perjalanan secepatnya menuju ke barat. Akan tetapi sejak saat itu, bayangan wanita pakaian putih yang tertutup sebelah bawah mukanya itu sering kali muncul dalam pikiran Keng Han. Dia tidak dapat melupakan kerling itu!
Berkat kepandaian mereka yang tinggi, Keng Han dan Bi-kiam Niocu sampai di wilayah Tibet tanpa ada halangan apa pun. Dalam perjalanan itu, sering kali mereka melihat serombongan kafilah yang juga menuju ke Tibet.
Rombongan yang membawa kuda dan onta itu membawa pula pasukan pengawal yang kuat sehingga mengherankan hati Keng Han dan Bi-kiam Niocu. Pada waktu mereka bertanya, mereka mendapatkan keterangan bahwa perjalanan ke barat sekarang tidak aman karena adanya perang saudara antara para pendeta Lama Jubah Kuning yang memberontak terhadap golongan Lama Jubah Merah.
Sekarang di wilayah itu sering kali terjadi pertempuran. Selain itu mereka juga mendapat gangguan dari para pendeta Jubah Kuning yang tidak segan-segan merampok mereka untuk merampas senjata serta harta benda karena mereka membutuhkan biaya untuk pemberontakan mereka.
Mendengar ini, Bi-kiam Niocu menerangkan. “Lama Jubah Merah adalah para pengikut Dalai Lama. Dan mendengar ceritamu dulu bahwa mendiang gurumu adalah seorang pendeta Lama Jubah Kuning, kurasa sangat boleh jadi dia masih sekawan dengan para pemberontak itu. Sekarang tidak aneh lagi kalau sampai gurumu dibunuh oleh Pendeta Lama Jubah Merah.”
“Aku tidak peduli akan perang di antara mereka. Aku hanya ingin bertanya kepada Dalai Lama mengapa dia menyuruh bunuh guruku!” jawab Keng Han bersikeras.
Bi-kiam Niocu menarik napas panjang. “Wah, kita mencari penyakit.”
“Kenapa kita, Subo? Akulah yang akan menemui Dalai Lama.”
“Dan aku akan mengantarmu sampai dapat berjumpa dengan Dalai Lama, bukan? Jadi, kita berdua yang mencari penyakit.”
“Aku tidak takut!”
“Aku pun tidak takut. Mari kita melanjutkan perjalanan secepatnya.”
Beberapa hari kemudian, pada suatu pagi mereka melihat dua orang pendeta Lama Baju Merah sedang bertanding melawan delapan orang pendeta Lama Jubah Kuning. Melihat pertandingan yang tak seimbang ini, Keng Han segera mengajak gurunya untuk membantu dua orang Lama Jubah Merah itu.
“Ehhh, kenapa justru membantu mereka? Bukankah gurumu juga Lama Jubah Kuning dan mungkin mereka itu teman-teman gurumu?”
“Subo, aku tak peduli. Mereka berlaku curang mengandalkan banyak orang mengeroyok yang sedikit. Pertama, aku selalu menentang pihak yang curang dan kedua, dengan membantu Lama Jubah Merah itu siapa tahu aku dapat lebih mudah bertemu dengan Dalai Lama!”
“Ahh, engkau ternyata cerdik juga. Keng Han. Marilah kita bantu dua orang Lama Jubah Merah itu!”
Delapan orang pengeroyok itu semua mempergunakan tongkat pendeta yang panjang, sedangkan dua Lama Jubah Merah menggunakan senjata kebutan. Melihat gerakan mereka, andai kata mereka itu berkelahi dua lawan dua saja, tentu Lama Jubah Kuning akan kalah. Tetapi menghadapi pengeroyokan delapan orang, kedua orang Lama Jubah Merah itu menjadi kewalahan juga. Beberapa kali mereka telah menerima gebukan dan kini hanya lebih banyak main mundur.
Pada saat Keng Han dan Bi-kiam Niocu muncul dan membantu mereka, keadaannya langsung menjadi berubah. Biar pun hanya menggunakan kaki tangan saja, namun guru dan murid ini dapat membuat delapan orang pengeroyok itu menjadi kalang kabut.
Keng Han telah merobohkan dua orang dengan tamparan tangannya yang mengandung hawa panas sekali, sedangkan dengan tendangannya, Bi-kiam Niocu juga telah berhasil merobohkan dua orang pengeroyok. Melihat datangnya bala bantuan di pihak musuh yang demikian kuatnya, delapan orang Lama Jubah Kuning itu segera melarikan diri cerai berai.
Dua orang Lama Jubah Merah yang sudah kelelahan itu tidak mengejar, dan mereka mengangkat tangan memberi hormat kepada Keng Han dan Niocu.
“Ji-wi (Kalian berdua) menjadi bintang penyelamat kami. Kalau tidak ada Jiwi, tentu kami berdua sudah binasa di tangan para pemberontak itu,” kata seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi kurus.
“Ah, tidak mengapa, Losuhu,” kata Bi-kiam Niocu. “Sudah menjadi kewajiban kami untuk membantu yang tertindas, apa lagi kami sudah mendengar bahwa mereka itu adalah kaum pemberontak. Dan sekarang, kami berbalik mengharapkan bantuan Ji-wi Losuhu untuk membantu kami.”
“Tentu saja kami berdua akan suka sekali membantu Ji-wi, akan tetapi bantuan apakah yang dapat kami berikan untuk Ji-wi yang lihai?”
“Kami ingin sekali menghadap dan bertemu dengan Dalai Lama di Lhasa.”
Dua orang pendeta Lama Jubah Merah itu terkejut bukan main mendengar permintaan ini. “Ahh, Nona dan Sicu, bagaimana mungkin itu dilaksanakan? Sang Dalai Lama tidak dapat sembarangan saja dikunjungi orang, kecuali jika ada tujuan yang teramat penting. Bahkan wakil dari Kaisar Ceng sekali pun, kalau menghadap cukup diterima oleh wakil atau pembantu beliau. Kami tidak dapat membantu, harap Nona berdua memaafkan kami.”
Bi-kiam Niocu mengerutkan alisnya. “Hemmm, begini sajakah watak dua orang pendeta Lama Jubah Merah? Pantas kalau begitu ada yang memberontak. Kami bermaksud baik, akan tetapi kalian menolak mentah-mentah. Kalau kalian haturkan kepada Dalai Lama bahwa yang minta menghadap adalah Bi-kiam Niocu, murid Ang Hwa Nio-nio, apakah Dalai Lama berani memandang rendah? Dan kunjungan ini amat penting, untuk membicarakan tentang seorang pendeta Lama Jubah Kuning yang bernama Gosang Lama.”
Kembali dua orang Lama Jubah Merah itu menjadi terkejut. Agaknya nama Bi-kiam Niocu, dan terutama nama Ang Hwa Nio-nio, sudah mereka kenal dan tentu saja nama Gosang Lama juga amat terkenal, bahkan sebenarnya dialah yang menjadi biang keladi pemberontakan Lama Jubah Kuning!
“Ah, kiranya Nona adalah murid Ang Hwa Nio-nio? Kalau begitu baiklah, mari ikut kami ke Lhasa, akan kami usahakan untuk dapat diterima oleh Sang Dalai Lama. Akan tetapi kalau gagal harap Ji-wi jangan menyesal dan menyalahkan kami, karena untuk dapat menghadap dan berwawancara dengan Sang Dalai Lama bukan perkara yang mudah.”
Bukan main girangnya hati Keng Han. Untung ada Niocu, kalau tidak ada wanita itu, agaknya tak mungkin kedua orang pendeta Lama itu mau membawa mereka ke Lhasa.
Ibu kota Lhasa amat besar dan terutama sekali bangunan kuno yang megah di bukit itu nampak sangat megah dan hebat. Keng Han yang sejak kecil berada di daerah Khitan yang amat sederhana, kemudian berada di Pulau Es sampai lima tahun lamanya, belum pernah selama hidupnya menyaksikan kemegahan dan keindahan seperti itu.
Dia merasa takjub dan merasa dirinya kecil. Apa lagi melihat penjagaan di depan tempat tinggal Dalai Lama. Dia bergidik. Tidak mungkin dia dapat memasuki tempat itu dengan kekerasan. Beratus-ratus pendeta Lama yang nampaknya berkepandaian menjaga di situ, dengan tongkat atau pun kebutan di tangan. Untuk dapat memasuki istana Dalai Lama dia harus mengalahkan ratusan orang pendeta Lama!
Dua orang pendeta Lama itu menemui pendeta penghubung dan menceritakan betapa mereka berdua nyaris tewas di tangan para Lama Jubah Kuning yang memberontak namun diselamatkan oleh dua orang muda itu. Kemudian mereka minta kepada pendeta penghubung untuk mengajukan permohonan kepada Dalai Lama agar kedua orang itu, seorang di antaranya adalah Bi-kiam Niocu murid dari Ang Hwa Nio-nio, diperkenankan menghadap karena ada urusan penting yang hendak dibicarakan.
Keng Han dan Bi-kiam Niocu memperkenalkan nama mereka masing-masing kepada para pendeta penghubung. Pendeta-pendeta penghubung itu lalu melaporkan ke dalam. Tidak lama kemudian mereka keluar lagi dan berkata dengan suara lantang dan jelas.
“Tuan muda Si Keng Han dan Nona Siang Bi Kiok dipersilakan masuk menghadap Yang Mulia Dalai Lama!”
Mereka diantar atau dikawal oleh dua orang pendeta Lama. Ketika memasuki bangunan itu, Keng Han mengamati semua bagian dalam ruangan-ruangan yang luas dan terukir indah itu dengan penuh kagum sehingga Bi-kiam Niocu merasa geli melihat tingkah laku Keng Han seperti seorang dusun yang memasuki sebuah istana.
Akan tetapi yang menyolok sekali, kalau di bagian luar dijaga ketat sekali, di sebelah dalam bahkan amat sunyi, tidak nampak penjaga atau pengawal. Bahkan ketika mereka memasuki ruangan di mana Dalai Lama duduk, di situ tak nampak penjaga sama sekali, hanya ada dua orang pendeta cilik yang agaknya menjadi pelayan Sang Dalai Lama!
“Si Keng Han kongcu bersama Siang Bi Kiok siocia telah datang menghadap!” Pendeta pengantar itu melaporkan.
Sang Dalai Lama lalu memberi isyarat agar mereka berdua mundur, bahkan kemudian memberi isyarat pula kepada dua orang pendeta cilik untuk mengambilkan minuman.
Si Keng Han merasa dirinya kecil ketika berhadapan dengan pendeta yang sederhana itu. Pendeta Lama itu duduk di atas pembaringan yang bentuknya seperti teratai dari perak, dengan jubah warna kuning kemerahan yang amat sederhana. Kepalanya gundul kelimis. Sepasang matanya yang penuh wibawa itu memandang dengan sinar lembut, mulutnya tersenyum ramah.
Bersama Bi-kiam Niocu, Keng Han lalu memberi hormat, mengangkat kedua tangan di depan dada dan membungkuk.
“Kongcu dan Siocia silakan duduk!” kata Dalai Lama dengan ramah.
Kemudian dua orang pendeta cilik itu menyuguhkan secangkir air teh harum. Setelah menyuguhkan air teh, mereka pun mengundurkan diri sehingga yang berada di ruangan itu tinggal mereka berdua bersama Sang Dalai Lama.
Kalau Keng Han hendak membalaskan kematian gurunya, alangkah mudahnya dan ini merupakan kesempatan yang baik. Akan tetapi dia teringat akan ucapan Kwi Hong dan juga Bi-kiam Niocu, bahwa Dalai Lama adalah seorang pendeta yang mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sekali. Apa lagi di luar. Andai kata dia mampu membunuh Dalai Lama, dia pun tidak akan dapat meloloskan diri dari tempat yang terjaga oleh ratusan orang pendeta Lama itu.
“Terima kasih, Losuhu,” kata Bi-kiam Niocu dan Keng Han juga mencontoh wanita itu mengucapkan terima kasih, kemudian mereka duduk berhadapan dengan pendeta itu.
Wibawa yang teramat kuat menyinar dari pendeta itu. Pandang matanya yang lembut, mulutnya yang penuh senyum, kesabaran yang terbayang di seluruh wajahnya, semua itu membuat Keng Han merasa semakin tidak enak hatinya. Dia seolah merasa berdosa mendendam kepada seorang pendeta seperti ini.
“Nah, orang-orang muda yang baik, kini ceritakan apa maksud kalian menemui pinceng (saya),” kata Dalai Lama dengan suara ramah.
“Saya hanya mengantar sobat ini menghadap, Losuhu. Saya sendiri tidak mempunyai urusan apa pun,” jawab Niocu yang agaknya juga merasa tak enak berhadapan dengan pendeta itu.
Dalai Lama memandang kepada Keng Han sejenak, kemudian bertanya, “Orang muda, ada keperluan apakah yang membawamu jauh-jauh datang ke tempat ini dan bertemu dengan pinceng? Katakanlah sejujurnya, pinceng siap mendengarkan.”
Keng Han menelan ludah sendiri sebelum dia menjawab dan suaranya terdengar agak gemetar, “Losuhu, saya datang ini untuk menghadap Losuhu dan bertanya mengapa Losuhu mengutus tiga orang pendeta Lama Jubah Merah untuk membunuh suhu-ku?”
“Omitohud...! Siapakah suhu-mu itu, Kongcu?”
“Suhu bernama Gosang Lama, seorang pendeta Lama Jubah Kuning. Suhu telah hidup tenteram di daerah utara, kenapa suhu dicari dan kemudian dibunuh dengan kejamnya? Saya menuntut keadilan, Losuhu.”
“Omitohud...! Gosang Lama itu suhu-mu? Ahhh, engkau tentu tidak tahu siapa Gosang Lama yang kau angkat menjadi guru itu, Kongcu. Dia tidak dibunuh, namun menerima hukuman dari semua kejahatannya.”
“Dihukum? Jahat? Akan tetapi suhu tidak melakukan sesuatu yang jahat!”
“Mungkin tidak selama menjadi gurumu. Akan tetapi sebelum itu, apakah engkau tahu apa saja yang telah dilakukan Gosang Lama?”
Keng Han menggelengkan kepalanya dan tidak dapat menjawab.
“Orang muda, berhati-hatilah dengan akal pikiran dan hatimu sendiri, terutama sekali waspadalah terhadap rasa dendam. Dendam itu merupakan racun yang akan meracuni dan merusak hati sendiri, menimbulkan perbuatan yang kejam dan tanpa perhitungan lagi. Dendam bagaikan api yang membakar hati dan mendatangkan kebencian yang mendalam. Akan tetapi ketahuilah, segala sesuatu yang telah terjadi itu ada kaitannya dengan karma, ada kaitannya dengan perbuatannya sendiri. Perbuatannya sendiri itulah yang akan menimbulkan akibat yang menimpa diri sendiri. Engkau mendendam karena kematian gurumu, akan tetapi tidak tahu mengapa gurumu dihukum mati. Kalau engkau menuruti nafsu dendam itu, bukankah berarti engkau bertindak semau sendiri tanpa pertimbangan lagi? Dan mungkin karena dendam itu engkau melakukan pembunuhan-pembunuhan kepada orang-orang yang tidak bersalah. Jangan mencari sebab dan kesalahan keluar, orang muda, melainkan carilah di dalam diri sendiri, karena sebab dan kesalahan itu berada di dalam dirinya sendiri.”
Keng Han tertegun. Dia merasa betapa tepat dan benarnya ucapan itu. Dia mendendam atas kematian gurunya. Akan tetapi dia tidak tahu kenapa gurunya dibunuh. Bagaimana kalau gurunya yang bersalah? Bukankah berarti dia membela orang yang bersalah?
“Losuhu, mohon Losuhu ceritakan apa saja yang sudah diperbuat oleh suhu Gosang Lama sehingga dia harus dihukum mati.”
“Gosang Lama sudah melakukan pelanggaran-pelanggaran pada waktu mudanya. Dia melakukan perbuatan yang keji, merampas dan memperkosa wanita, merampok harta milik penduduk, bahkan dia mengobarkan pemberontakan di kalangan para pendeta Lama Jubah Kuning. Dosanya besar sekali dan karena dia membahayakan kehidupan semua orang, maka majelis lalu menjatuhkan hukuman mati kepadanya. Dia melarikan diri dan menjadi buronan sampai akhirnya petugas-petugas dapat menemukan dia dan melaksanakan hukuman mati itu. Nah, apakah kini engkau masih juga hendak membela kematian orang yang telah melakukan demikian banyak dosa, orang muda yang baik?”
Keng Han tertegun dan tidak mampu menjawab, akan tetapi kemudian dia mengeraskan hatinya dan menjawab, “Losuhu, bagaimana pun juga suhu Gosang Lama tidak pernah melakukan pembunuhan...”
“Omitohud! Apakah pinceng harus menceritakan semua? Dia telah membunuh banyak orang, bahkan tiga orang utusan pertama yang kami tugaskan untuk menangkapnya, telah dibunuhnya. Dan sekali lagi, dia menipu kami dengan memasukkan seorang anak laki-laki yang dia katakan berbakat baik dan katanya merupakan anak yatim piatu. Kami percaya dan kami sendiri menurunkan ilmu-ilmu kepada anak itu. Akan tetapi setelah Gosang Lama melarikan diri, baru ketahuan bahwa anak itu adalah anaknya sendiri yang didapat dari wanita yang dipaksanya menjadi isterinya. Nah, masih kurangkah apa yang kau dengar ini?”
Keng Han merasa terpukul sekali. “Apakah puteranya itu yang bernama Gulam Sang, Losuhu?”
“Benar sekali. Apakah engkau sudah bertemu dan berkenalan dengan dia?”
“Tidak, akan tetapi mendiang suhu yang meninggalkan pesan tentang puteranya itu.”
“Hemmm, dan engkau tidak merasa heran apa bila ada seorang pendeta Lama dapat mempunyai anak?”
Keng Han kembali merasa terpukul dan dia menundukkan mukanya. Pikirannya menjadi ruwet. Jauh-jauh dia datang untuk membalaskan dendam kematian gurunya, dan kini ia hanya mendengar segala kejahatan gurunya dibeberkan! Apa yang harus dia lakukan?
“Akan tetapi saya adalah muridnya, Losuhu. Bukankah tugas seorang murid adalah untuk berbakti kepada gurunya, seperti berbakti kepada ayah ibu sendiri? Melihat suhu binasa di tangan orang, bagaimana mungkin saya harus berdiam diri saja? Berarti saya akan menjadi seorang murid yang durhaka!”
“Omitohud! Orang yang bijaksana selalu meneliti perbuatannya sendiri, selalu mencari kekurangan dan kesalahan pada diri sendiri. Perbuatan orang tua dan guru juga harus diteliti, untuk dicontoh mana yang baik dan dihindarkan mana yang buruk. Akan tetapi, agar engkau tidak menjadi penasaran, orang muda, engkau boleh melaksanakan balas dendam itu. Pinceng yang sudah menyuruh menghukum Gosang Lama, maka pinceng memberi kesempatan kepadamu untuk menyerang pinceng. Engkau boleh menyerang sesukamu dan pinceng tidak akan membalas.”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh Dalai Lama itu melayang dalam keadaan tetap duduk bersila, lalu melayang dan turun ke lantai, masih bersila dan kedua tangan di atas lutut sambil tersenyum ramah.
“Nah, engkau boleh menyerang pinceng sesukamu, orang muda.”
Keng Han merasa betapa jantungnya berdebar tegang. Jika dia dapat membunuh Dalai Lama, tentulah roh suhu-nya akan tenang. Akan tetapi dia lalu teringat akan penjagaan ketat di tempat itu. Kalau dia membunuh Dalai Lama, tentu dia akhirnya akan tewas di tangan ratusan pendeta Lama itu.
“Losuhu, kalau saya menyerang Losuhu dan berhasil menewaskan Losuhu, tetap saja saya akan dikeroyok oleh banyak pendeta dan tidak akan dapat lolos dari tempat ini.”
“Ha-ha-ha, jangan khawatir, orang muda. Pinceng tidaklah securang itu. Kalau engkau mampu membunuh pinceng, itu sudah kehendak Yang Maha Kuasa, dan engkau akan dapat pergi dengan aman.”
Keng Han masih ragu-ragu dan menoleh kepada Bi-kiam Niocu, bertanya, “Bagaimana, Niocu? Apa yang harus kulakukan?”
Bi-kiam Niocu tersenyum dan berkata, “Losuhu Dalai Lama sudah mengijinkan engkau untuk menyerangnya. Nah, untuk menghilangkan rasa penasaran di hatimu, mengapa tidak kau lakukan itu?”
“Baik!” Akhirnya Keng Han mengambil keputusan. “Akan tetapi kalau saya menyerang Losuhu, hal ini hanya terjadi karena Losuhu yang menyuruhku!”
“Tentu saja, dan semenjak tadi pinceng sudah siap, orang muda. Seranglah dan engkau boleh mengeluarkan semua ilmu dan tenagamu.” Dalai Lama masih tetap duduk bersila dengan senyumnya yang lembut.
Keng Han lalu mengerahkan tenaga dari pusarnya. Dua tenaga panas dan dingin naik ke kedua lengannya, yang panas menyusup ke lengan kanan, yang dingin menyusup ke lengan kiri, kemudian dia berseru, “Maafkan saya, Losuhu!”
Keng Han pun memukul dengan dorongan kedua tangan sambil mengerahkan seluruh tenaganya karena dia sudah mendengar bahwa Dalai Lama ini seorang manusia sakti. Dua macam hawa yang berlawanan menyambar ke arah Dalai Lama.
Kakek ini dengan tenang mengangkat kedua tangan pula untuk menyambut dan ketika tangan-tangan itu bertemu, Keng Han merasa betapa kedua tangannya bertemu dengan benda yang lunak dan halus, yang seolah menyerap semua tenaga yang keluar dari lengannya. Kemudian, sebuah tenaga yang sangat hebat mendorongnya sehingga dia terhuyung ke belakang, membuat napasnya terengah akan tetapi dia tidak terluka.
Dalai Lama masih duduk seperti tadi dan sinar mata yang lembut itu memandang penuh keheranan. “Orang muda, engkau bilang bahwa engkau muridnya Gosang Lama, akan tetapi bagaimana engkau menguasai Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari Pulau Es?”
Keng Han terkejut sekali. Tak disangkanya bahwa pendeta agung itu bahkan mengenal dua macam ilmu rahasia yang dipelajarinya di Pulau Hantu!
“Bukan suhu Gosang Lama yang mengajarkan ilmu itu, Losuhu.”
“Kalau begitu engkau murid Pulau Es?”
“Juga bukan. Saya mempelajarinya dari Pulau Hantu.”
“Hemmm, suatu kebetulan yang aneh. Jodoh yang mengherankan. Nah, sekarang bagai mana, apakah engkau masih hendak menyerangku lagi?”
“Tidak, Losuhu. Mataku kini sudah terbuka dan saya melihat betapa saya bodoh sekali. Bodoh dalam pemikiran juga bodoh dalam ilmu silat. Saya tidak akan menang melawan Losuhu, dan hati saya penuh penyesalan atas segala perbuatan mendiang suhu yang tidak benar. Harap Losuhu memaafkan kebodohan saya.”
“Orang yang dapat melihat kesalahan sendiri sama sekali bukan orang bodoh, Kongcu. Pinceng gembira sekali bahwa engkau telah menyadari kekeliruanmu.”
Keng Han dan Niocu segera berpamit kepada Dalai Lama. Pendeta itu mengucapkan selamat jalan, kemudian mereka keluar bersama dua orang pendeta pengantar. Setelah meninggalkan Lhasa, Keng Han merasa girang dan hatinya terasa ringan sekali, tak lagi dibebani tugas yang tadinya selalu memberatkan hatinya.
“Ternyata engkau benar, Niocu. Pendeta itu adalah seorang yang sakti lagi bijaksana sekali. Betapa pun juga, aku telah melaksanakan tugasku terhadap mendiang suhu. Kini tugas itu hanya tinggal satu lagi, yaitu menyelidiki keadaan Bu-tong-pai yang menjadi musuh besar suhu.”
Bi-kiam Niocu tersenyum lebar. “Sama saja, Keng Han. Engkau pun akan kecelik besar sekali kalau pergi ke Bu-tong-pai. Ketua Bu-tong-pai dan para murid di sana semuanya adalah pendekar-pendekar yang gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan. Jika suhu-mu memusuhi Bu-tong-pai, maka aku hampir berani memastikan bahwa semua kesalahan tentu berada di pihak gurumu itu.”
“Bagaimana pun juga aku harus pergi menyelidiki lebih dulu Niocu. Kalau ternyata suhu memang benar telah melakukan kesalahan terhadap Bu-tong-pai, biarlah aku yang akan memintakan maaf dari mereka.”
“Engkau keras kepala!” Niocu berkata sambil tersenyum.
Perjalanan meninggalkan Tibet itu kembali melalui Beng-san. Seperti ketika berangkat, Niocu kembali nampak gelisah ketika harus melewati daerah tempat tinggal subo-nya itu.
Pada suatu pagi, selagi mereka mendaki sebuah bukit, tiba-tiba saja entah dari mana munculnya, seorang wanita sudah berdiri di depan mereka. Wanita ini usianya sekitar lima puluh tahun, masih nampak bekas kecantikan pada wajahnya dan tubuhnya masih nampak ramping seperti tubuh seorang wanita muda.
Wajahnya yang anggun membayangkan ketinggian hati dan bibirnya membayangkan kekerasan. Matanya tajam sekali dan ketika itu, dia berdiri seperti patung memandang bergantian kepada Keng Han dan Niocu. Tangan kirinya memegang sebatang kebutan sedangkan di punggungnya nampak sebatang pedang.
Begitu melihat wanita ini mendadak muncul di depanya, Bi-kiam Niocu menjadi terkejut setengah mati. Wajahnya mendadak menjadi pucat dan ia cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu.
“Subo...!” katanya lemah dan suaranya tergetar penuh rasa gentar.
Tahulah Keng Han bahwa wanita itu adalah guru Bi-kiam Niocu yang pernah disebut oleh Niocu dan bernama Ang Hwa Nio-nio itu.
Wanita itu memang benar Ang Hwa Nio-nio. Ia adalah seorang pendeta wanita yang mengasingkan diri di Pegunungan Beng-san itu, seorang Tokouw (Pendeta To) berjuluk Ang Hwa Nio-nio (Nyonya Bunga Merah) karena disanggul rambutnya yang masih hitam itu selalu terhias setangkai bunga merah.
Ang Hwa Nio-nio mempunyai dua orang murid wanita. Yang pertama adalah Siang Bi Kiok yang berjuluk Bi-kiam Niocu itu dan yang kedua bernama Souw Cu In yang pernah dilihat Keng Han bertemu dengan Bi-kiam Niocu, yaitu gadis yang berpakaian putih dan wajah bagian bawahnya tertutup sapu tangan putih pula.
Kini, melihat Bi-kiam Niocu melakukan perjalanan bersama seorang pemuda tampan, Ang Hwa Nio-nio marah bukan main. Dia tidak mampu lagi mengeluarkan suara, hanya sepasang matanya saja yang terus memandang kepada murid pertamanya itu seperti api yang membakar.
Ang Hwa Nio-nio keras sekali dalam mendidik dua orang muridnya, terutama mengenai diri kaum pria. Dia malah membuat dua orang muridnya itu berjanji bahwa setiap kali bertemu dengan pria yang mencintai mereka, mereka harus cepat membunuh pria itu! Pendeknya ia mencegah jangan sampai ada hubungan antara murid-muridnya dengan kaum pria yang dianggapnya busuk dan jahat semua, tanpa terkecuali. Inilah sebabnya mengapa dalam pertemuan pertama, Bi-kiam Niocu juga hendak membunuh Keng Han.
“Siang Bi Kiok, apa yang sedang kau lakukan ini?” Akhirnya Ang Hwa Nio-nio menegur muridnya.
Dengan gugup Bi-kiam Niocu menjawab, “Apa...apa yang Subo maksudkan?”
“Hemmm, engkau melakukan perjalanan dengan seorang pemuda dan engkau masih pura-pura bertanya apa yang aku maksudkan?” kata wanita itu bengis.
“Ahhh, itukah, Subo? Dia ini hanya kebetulan saja bertemu dengan teecu dan karena sejalan, maka kami pun berjalan bersama. Tidak ada apa-apa di antara dia dan teecu...” Bi-kiam Niocu membela diri, akan tetapi suaranya gemetar.
“Bagus! Engkau sudah pandai berbohong juga, ya? Engkau sudah pergi bersamanya sampai ke Tibet, menghadap Dalai Lama bersama, dan sekarang mengatakan hanya kebetulan bertemu?”
Bukan main kagetnya hati Bi-kiam Niocu mendengar itu. Juga Keng Han merasa heran bagaimana wanita itu dapat mengetahuinya. Kiranya Dalai Lama sudah menyuruh salah satu orangnya untuk meneliti kebenaran keterangan Bi-kiam Niocu apakah benar murid Ang Hwa Nio-nio itu yang datang menghadap Dalai Lama!
“Ampun, Subo. Kami... kami sungguh tidak ada hubungan apa pun, hanya melakukan perjalanan bersama saja.”
“Diam! Jika engkau tidak cepat membunuhnya, maka aku sendiri yang akan membunuh pemuda ini, dan engkau juga!”
Setelah berkata demikian, wanita itu menggerakkan kakinya dan sekali berkelebat ia telah lenyap dari situ. Keng Han terkejut bukan main, maklum betapa lihainya wanita itu yang memiliki ilmu meringankan tubuh sedemikian rupa sehingga seolah-olah ia dapat menghilang!
Wajah Bi-kiam Niocu menjadi pucat sekali. Sampai lama ia masih berlutut di situ tanpa bergerak.
Keng Han lalu berkata, “Sudahlah, Niocu. Kalau kita tidak boleh melakukan perjalanan bersama, sekarang juga aku akan meninggalkanmu, akan melanjutkan perjalananku.”
Setelah berkata demikian, Keng Han membalikkan tubuhnya. Ia kemudian melanjutkan perjalanannya, meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi belum jauh dia pergi, berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Niocu sudah berdiri di depannya. Wajahnya masih pucat sekali dan matanya bersinar aneh, juga ia telah memegang sebatang pedang telanjang di tangan kanannya.
“Berhenti!” bentaknya. “Si Keng Han, engkau tidak boleh pergi dan terpaksa aku harus membunuhmu! Kalau tidak, aku sendiri yang akan dibunuh oleh guruku!”
Keng Han memandang dengan mata terbelalak. Selama ini, sikap wanita itu amat baik dan akrab dengannya dan sekarang, tiba-tiba saja ia hendak membunuhnya.
“Akan tetapi, mengapa, Niocu? Mengapa engkau hendak membunuhku?” Dia menuntut. “Bukankah selama ini hubungan antara kita baik sekali? Aku tidak pernah berbuat jahat kepadamu, Niocu.”
Pedang di tangan itu gemetar dan kedua mata itu kini menjadi basah. “Keng Han, kita harus melarikan diri dari sini dan engkau harus menikah denganku. Itulah satu-satunya jalan. Kita saling mencinta, dan tidak ada apa pun yang mampu menghalangi kita hidup bersama.”
Keng Han semakin kaget mendengar ucapan itu. “Siapa yang saling mencinta, Subo? Aku... aku suka kepadamu karena engkau baik kepadaku dan engkau menjadi guruku, bahkan engkau membantuku menemui Dalai Lama. Akan tetapi bukan berarti bahwa aku cinta padamu dan suka menjadi suamimu. Tidak, Niocu tidak bisa kita menikah.”
Sepasang mata wanita itu terbelalak lebar dan mukanya menjadi merah sekali. “Apa?! Engkau tidak mencinta padaku? Subo sudah menganggap kita saling mencinta, maka aku harus membunuhmu. Jadi selama ini aku salah sangka, ternyata engkau tidak cinta padaku?”
Keng Han menggeleng kepalanya. “Mungkin cinta kita hanya cinta antara sahabat, atau antara guru dan murid, bukan cinta yang membuat kita harus berjodoh. Tidak, Niocu, sekali lagi tidak, aku tidak cinta padamu seperti itu.”
“Bagus! Kalau begitu tidak berat lagi hatiku untuk membunuhmu! Mampuslah engkau!”
Dan wanita itu segera menyerang Keng Han, membabi buta mengayunkan pedangnya bagaikan kilat menyambar-nyambar, semua merupakan serangan maut yang ditujukan untuk membunuh.
Keng Han cepat mengelak sambil mundur. “Niocu, ingat, kita bukan musuh!” Beberapa kali Keng Han memperingatkan.
Akan tetapi Bi-kiam Niocu yang sudah marah sekali itu tidak peduli dan hanya berteriak, “Mampuslah!”
Pedangnya menyambar ganas sekali dan Keng Han dipaksa untuk membela diri. Oleh karena dia tidak memiliki senjata lain kecuali pedang bengkok pemberian ibunya, maka dia mencabut pedang bengkoknya dan melawan, bahkan membalas karena kalau tidak melawan dia tentu akan terancam bahaya maut.
Ilmu silat Hong-in Bun-hoat adalah ilmu silat sakti yang dapat dimainkan dengan tangan kosong atau menggunakan senjata pedang. Begitu Keng Han memainkan jurus Hong-in Bun-hoat dengan pedang bengkoknya, Bi-kiam Niocu segera terdesak hebat. Bantuan tangan kirinya yang menggunakan ilmu totoknya tiada artinya lagi bagi Keng Han yang sudah menguasai ilmu itu. Bahkan tangan kirinya beberapa kali mendorong sehingga serangkum hawa yang sangat dingin dari Swat-im Sinkang menyambar dan membuat Bi-kiam Niocu terhuyung dan menggigil.
Baru lewat tiga puluh jurus saja Bi-kiam Niocu sudah terdesak hebat. Akan tetapi sama sekali tidak timbul niat di dalam hati Keng Han untuk membunuh wanita itu, maka dia hanya mendesak saja.
Pada saat itu nampak bayangan putih datang berkelebat amat cepatnya dan sinar putih panjang menyambar ke arah Keng Han. Pemuda ini terkejut sekali, mengira bahwa Ang Hwa Nio-nio yang menyerangnya. Dia lalu menangkis dengan pedang pendeknya, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya tahu-tahu terlibat sutera putih yang panjang dan juga tubuhnya terlibat sehingga tahu-tahu dia telah dibuat tak berdaya, terbalut kain sutera putih yang dilepas orang yang baru datang.
Melihat keadaan Keng Han, Bi-kiam Niocu, berseru, “Mampuslah engkau sekarang!”
Dengan cepat ia sudah menyerang dengan pedangnya, ditusukkan ke arah dada Keng Han yang sudah tidak berdaya karena kedua lengannya sudah terbelenggu bersama tubuhnya. Keng Han hanya dapat membelalakkan matanya, ingin menghadapi kematian dengan mata terbuka.
“Singgg... tranggggg...!”
Bunga-bunga api berpecikan dan menyilaukan mata Keng Han ketika ada pedang lain menangkis pedang yang ditusukkan Bi-kiam Niocu kepadanya itu. Dan ketika Keng Han menoleh, ternyata yang menangkis itu adalah nona berpakaian putih dan berkedok putih itu. Dan nona itu pula yang memegang ujung sabuk sutera putih yang melibat tubuhnya!
“Sumoi, mengapa kau menangkis?”
“Suci, engkau tidak berhak membunuhnya!” kata gadis itu dan suaranya sungguh merdu dalam pendengaran Keng Han.
“Subo sudah menyuruh aku membunuhnya, Sumoi!” bantah Bi-kiam Niocu.
“Subo mengira bahwa dia mencintamu, Suci. Subo menyuruh bunuh kalau ada laki-laki yang mencinta kita. Akan tetapi engkau hendak membunuhnya karena engkau marah mendengar bahwa dia tidak mencintamu. Aku sudah mendengar semua percakapan kalian. Apakah engkau ingin aku melaporkan pada subo betapa engkau membujuknya untuk minggat dan menikah denganmu?”
“Sumoi...! Tadi engkau membantuku menangkapnya dan sekarang...”
“Tadi aku membantumu karena melihat engkau tidak dapat mengalahkannya. Dan kini aku melarang engkau membunuh karena memang engkau tidak berhak membunuhnya. Sudahlah, Suci. Kita bebaskan pemuda yang tidak berdosa ini. Nanti aku yang memberi penjelasan kepada subo bahwa pemuda itu tidak mencintamu dan bahwa engkau pun hanya bersahabat saja dengan dia dan tidak mempunyai hubungan apa pun. Subo pasti akan dapat mengampunimu.”
Dengan uring-uringan Bi-kiam Niocu diam saja. Gadis berpakaian putih itu lalu menarik kembali sabuknya yang lepas dari tubuh Keng Han.
Pemuda itu sudah bebas dan dia tidak tahu harus berkata apa. Akan tetapi mengingat bantuan Bi-kiam Niocu kepadanya, dia lalu memberi hormat kepada wanita itu sambil berkata, “Niocu, banyak terima kasih kuucapkan atas bantuanmu selama ini. Dan Nona, terima kasih bahwa engkau telah menyelamatkan nyawaku!” katanya pula kepada gadis berpakaian putih itu sambil memberi hormat.
Karena kedua orang gadis itu tidak menjawab, Keng Han lalu melangkah pergi dan tidak menengok kembali…..
********************
Bukit Menjangan berada di Pegunungan Cin-ling-san. Disebut demikian karena di bukit itu memang banyak terdapat binatang kijang dan menjangan. Tadinya banyak pemburu yang mencari binatang itu di Bukit Menjangan sehingga jumlah binatang itu makin lama semakin berkurang.
Akan tetapi, pada suatu hari datanglah seorang datuk yang memilih tempat itu sebagai tempat tinggalnya. Semenjak dia tinggal di situ, tidak ada lagi pemburu berani naik ke Bukit Menjangan. Tadinya memang ada yang naik, akan tetapi setiap kali ada pemburu berani naik ke bukit itu, dia pasti turun lagi dengan digotong karena terluka parah.
Karena penyerangnya tidak nampak, hanya bayangannya saja yang terlihat berkelebat, dan pemburu yang terluka itu menggigil kedinginan, maka segera tersiar berita bahwa penyerangnya tentu siluman dan sejak itu tidak ada lagi yang berani berburu binatang di Bukit Menjangan. Pegunungan Cin-ling-san sangat luasnya dan terdapat puluhan bukit sehingga mereka mengalihkan ladang perburuan mereka ke bukit-bukit lainnya.
Sebetulnya siapakah datuk yang kini bertempat tinggal di Bukit Menjangan itu? Kalau saja ada yang berani dan mampu naik menyelidiki, dia akan melihat sebuah pondok bambu berada di puncak bukit, dan yang tinggal di situ adalah seorang laki-laki raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan usianya sudah tujuh puluh lima tahun lebih. Dia bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi yang dahulu pernah menyerang Keng Han pada saat pemuda itu pertama kali datang ke Pulau Hantu.
Sebagai seorang datuk besar, Swat-hai Lo-kwi juga tertarik dengan munculnya Pulau Hantu. Ia telah melakukan penyelidikan ke sana dan telah berkelahi melawan tiga puluh orang pimpinan Harimau Hitam yang kemudian dibunuhnya satu demi satu. Bahkan dia pun sudah melukai Keng Han dengan pukulannya yang mengandung racun berhawa dingin.
Akan tetapi kemudian dia merasa jeri menyaksikan betapa pulau itu dihuni oleh ular-ular merah yang amat berbahaya. Dan melihat pulau itu kosong tidak ada apa-apanya yang berharga, dia lalu pergi meninggalkan Pulau Hantu. Karena tertarik oleh pemandangan di Bukit Menjangan, akhirnya dia memilih tempat itu sebagai tempat tinggalnya.
Sejak dia tinggal di situ, dia tidak memperkenankan siapa pun juga naik ke bukit. Yang berani naik tentu dipukulnya dengan pukulannya yang membuat orang lantas menggigil kedinginan sehingga akhirnya tidak ada yang berani mengunjungi tempat itu dan dia tidak lagi merasa terganggu.
Swat-hai Lo-kwi mencari tempat pengasingan yang tidak terganggu orang lain bukan karena ingin bertapa, melainkan karena dia sedang melatih diri dengan semacam ilmu silat yang amat hebat dan dia tidak ingin ada orang lain melihatnya.
Swat-hai Lo-kwi memang memiliki sinkang yang berhawa dingin sekali. Kini dia melatih diri untuk menyempurnakan sinkang-nya itu sehingga kalau dia menyerang orang, dia dapat membuat lawannya itu menjadi beku darahnya dan tewas seketika! Kurang lebih setahun lamanya dia melatih ilmu itu dan kini dia telah berhasil. Yang menjadi kelinci percobaan ilmunya itu adalah binatang-binatang kijang dan menjangan yang berada di bukit itu.
Kini, dari jarak kurang lebih sepuluh meter, dia mampu memukul binatang-binatang itu dengan pukulan jarak jauhnya sehingga membuat binatang itu roboh dan tewas dalam keadaan darahnya beku! Bukan main hebatnya ilmu ini dan Swat-hai Lo-kwi merasa dirinya yang paling jagoan di antara para ahli silat mana pun.
Pada suatu pagi yang amat dingin, Swat-hai Lo-kwi sedang menghangatkan diri dengan membuat api unggun dan memanggang daging kijang untuk sarapan pagi. Mendadak ia menjadi waspada dan matanya mengerling ke kiri karena dari arah itu ia mendengar suara langkah orang.
Langkah itu demikian ringan sehingga dia merasa heran sekali. Orang yang datang ini pasti seorang yang berilmu tinggi, pikirnya. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan masih saja memanggang paha kijang itu dengan tekun sambil menghangatkan tubuh dari serangan hawa dingin pagi itu.
“Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa tentu engkau Iblis Lautan Es yang berada di tempat ini karena orang-orang yang terpukul itu mati kedinginan!” Tiba-tiba terdengar suara.
Ketika Swat-hai Lo-kwi menoleh, ia melihat seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja berdiri di situ sambil bertolak pinggang dengan tangan kirinya dan bersandar pada dayungnya. Melihat kakek yang datang itu, Swat-hai Lo-kwi juga tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, kiranya Setan Lautan Timur yang datang berkunjung. Setan tua, mau apa engkau mengganggu ketenteraman hidupku di tempat ini?” Kata-katanya yang terakhir itu mengandung tantangan.
“Wah, sejak kapan Swat-hai Lo-kwi menerima kedatangan seorang sahabat seperti ini? Aku, Tung-hai Lo-mo (Setan Tua Lautan Timur) tidak pernah datang ke suatu tempat tanpa urusan penting. Aku sengaja mengunjungimu untuk urusan penting sekali, penting bagi kita berdua.”
“Nanti dulu, aku kini tak mau sembarangan bicara dengan orang yang belum kuketahui sampai di mana tingkat kepandaiannya. Marilah kita main-main sebentar, hendak kulihat apakah selama ini engkau maju atau bahkan mundur dalam ilmumu, Lo-mo!” tantang Swat-hai Lo-kwi sambil bangkit berdiri.
“Bagus, bagus! Engkau masih saja belum berubah, Lo-kwi. Engkau selalu tinggi hati dan menganggap diri sendiri terpandai. Baiklah, majulah dan coba rasakan hebatnya dayung bajaku!”
“Awas seranganku!” Lo-kwi berseru dan dia sudah menyerang dengan tangan kirinya.
Serangkum hawa yang sangat dingin menyambar. Akan tetapi Lo-mo adalah datuk dari timur yang kepandaiannya juga sangat tinggi. Dia menghindar dan dayungnya meluncur menyapu ke arah pinggang Lo-kwi.
Lo-kwi menggunakan tangannya menangkis, lalu menyerang lagi lebih hebat dari pada tadi. Akan tetapi, Lo-mo juga dapat menangkis serangannya dan tidak terpengaruh oleh hawa dingin yang menyambar itu. Keduanya sudah bertanding dengan seru sekali dan sebentar saja lima puluh jurus telah lewat.
Merasa betapa lawannya benar-benar tangguh, Lo-kwi lalu menyerang dengan pukulan jarak jauhnya, yang selama setahun ini dilatihnya di bukit itu.
“Hyaaaaattt... ahhhhh!”
Dia berseru dengan suara melengking dan dari kedua telapak tangannya nampak sinar putih kebiruan menyambar ke arah lawan.
Tung-hai Lo-mo agaknya maklum akan hebatnya serangan jarak jauh ini. Dia pun cepat menancapkan tongkatnya di atas tanah, lalu dia pun mengerahkan tenaga sinkang-nya dan dalam keadaan setengah berjongkok dia menyambut pukulan jarak jauh itu.
“Wuuuttttt... desss...!”
Keduanya terdorong ke belakang dan Tung-hai Lomo agak menggigil kedinginan, akan tetapi dia segera dapat mengusir hawa itu dengan pengerahan sinkang-nya.
“Hebat! Pukulanmu tadi hebat sekali. Orang lain mana akan mampu menahannya? Aku kagum sekali padamu, Lo-kwi!” kata Lo-mo yang merasa kalah kuat dalam adu tenaga ini.
Lo-kwi juga tertawa. “Ha-ha-ha, engkau juga telah memperoleh kemajuan pesat, Lo-mo. Nah, engkau memang pantas berunding denganku, lekaslah katakan apa yang menjadi keperluanmu datang berkunjung ini.”
“Ha-ha-ha-ha, bicara sih mudah, akan tetapi perut lapar ini perlu diisi. Kulihat panggang daging kijang itu sudah matang.”
Mereka kemudian makan daging panggang di dekat api unggun tanpa bicara apa-apa. Lo-mo mengeluarkan sebuah guci arak dan menenggaknya, lalu menyerahkan kepada Lo-kwi.
“Ini arak pilihan dari Hang-ciu. Engkau pantas minum bersamaku, Lo-kwi!” katanya.
Swat-hai Lo-kwi tanpa sungkan-sungkan lagi menerima guci itu lalu menuangkan isinya ke dalam mulutnya sampai terdengar bunyi menggelegak. Setelah itu barulah keduanya bicara.
“Nah, sekarang bicaralah!” kata Swat-hai Lo-kwi.
“Begini, Lo-kwi. Orang dengan kepandaian seperti kita ini, apakah cukup harus begini saja? Tinggal di tempat sunyi dan tidak dipandang orang? Padahal, orang-orang macam kita ini sudah sepatutnya kalau memegang kedudukan tinggi, dihormati dan dipandang orang, hidup penuh kemuliaan dan kemewahan.”
Swat-hai Lo-kwi mengerutkan alisnya dan memandang kepada Tung-hai Lo-mo dengan alis berkerut. “Lo-mo, kalau engkau mengharapkan agar aku suka menghambakan diri kepada penjajah Mancu untuk memperoleh kedudukan tinggi, engkau mimpi!”
“Siapa yang hendak mengabdikan diri kepada bangsa Mancu? Aku pun tidak sudi. Akan tetapi persoalannya lain sama sekali. Kita bahkan membantu untuk menjatuhkan Kaisar Mancu yang sekarang ini.”
Mendengar ucapan itu, Lo-kwi mulai tertarik. “Aku pun tidak mau membantu dan juga tak sudi menjadi antek perkumpulan-perkumpulan pemberontak semacam Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai, Thian-li-pang dan sebagainya.”
“Ahh, tidak sama sekali. Dengar dulu baik-baik, Lo-kwi. Di kota raja terdapat dua orang pangeran yang pernah dihukum buang oleh kaisar karena mereka hendak membunuh pangeran mahkota. Sekarang dua orang pangeran itu telah bebas dan kembali ke kota raja. Nah, mereka berdua itulah yang menghubungi aku dan minta agar aku juga minta bantuanmu. Merekalah yang ingin memberontak dan hendak menjatuhkan kaisar yang sekarang bertahta.”
“Hemmm, sama saja. Kalau mereka berhasil, tentu mereka yang menjadi penguasa dan berarti kita harus mengabdi kepada bangsa Mancu. Apa bedanya?”
“Engkau belum mengerti maksudku. Kita membonceng saja, dan kalau pemberontakan ini berhasil dan kaisar dapat dibunuh, kita akan rebut kedudukan kaisar itu dari tangan mereka! Kita mempunyai harapan menjadi kaisar atau setidaknya menjadi Koksu atau Menteri!”
Lo-kwi semakin tertarik. “Akan tetapi, apa artinya tenaga kita berdua?”
“Kita berdua menjadi pembantu utama. Sekarang kedua orang pangeran itu sudah mulai menyusun kekuatan. Kita dapat membujuk partai-partai lain untuk mau bekerja sama. Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai sudah terbujuk. Juga Bu-tong-pai! Dan Bu-tong-pai bahkan hendak mengadakan pertemuan dengan seluruh perkumpulan dan perorangan yang berjiwa patriot untuk diajak bekerja sama. Juga kita harus menghubungi para Pendeta Lama Jubah Kuning yang tentu siap membantu. Pendeknya, gerakan ini harus berhasil baik. Dan kita berdua yang menjadi pembantu utama kedua orang pangeran itu tentu dapat mengatur bagaimana sebaiknya untuk kita berdua. Coba pikir, dari pada engkau hidup seperti ini, makan daging kijang panggang dan hidup seperti orang liar, bukankah lebih baik menggunakan kepandaianmu untuk mencari kedudukan setinggi mungkin?”
Swat-hai Lo-kwi mulai terbujuk. Dia menyatakan kesanggupannya untuk bekerja sama dengan Lo-mo membantu gerakan Pangeran Tao San dan Pangeran Tao Seng.
Seperti kita ketahui, kedua orang pangeran ini dihukum buang selama dua puluh tahun dan sekarang mereka telah bebas. Mereka kembali ke kota raja dan nampaknya mereka telah bertobat. Akan tetapi, ternyata diam-diam mereka kini sedang menyusun kekuatan untuk memberontak.....
********************
Komentar
Posting Komentar