PUSAKA PULAU ES : JILID-23


Gadis itu bukan lain adalah Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok. Bu Tong sampai ternganga saking kagumnya. Gadis yang cantik jelita, mukanya berseri dengan senyum tenang, kulitnya putih mulus, kedua pipinya kemerahan, sepasang mata serta bibirnya manis sekali, rambutnya agak keriting dan panjang.

“Hemmm, apakah engkau dikejar setan maka berlarian di tengah hutan seperti itu?” kata Niocu sambil tersenyum mengejek.

Akan tetapi matanya memandang penuh selidik. Seorang pemuda yang tampan dan gagah, pikirnya.

“Maafkan aku, Nona. Aku tidak sedang dikejar setan, akan tetapi bahkan lebih dari itu. Aku hendak melapor kepada suhu bahwa puteri suhu ditawan gerombolan orang-orang Hek-houw-pang!”

Bi-kiam Niocu mengerutkan alisnya. Ia memandang wajah pemuda itu penuh perhatian. “Kulihat engkau bukan orang lemah, kenapa engkau melarikan diri dan tidak menolong sumoi-mu itu?”

“Nona, tadi kami sudah dikepung oleh belasan orang yang dipimpin oleh putera ketua Hek-houw-pang. Kalau melawan kami pasti kalah. Mereka lalu menyandera sumoi dan mengatakan bahwa mereka akan membebaskan sumoi hanya kalau suhu sendiri yang datang ke sana minta maaf.”

“Hemmm, kesalahan apakah yang kalian lakukan?”

“Kami sedang berburu binatang dan memanah dua ekor kijang yang berada di seberang sungai kecil, wilayah kekuasaan mereka. Kami telah minta maaf akan tetapi mereka memaksa untuk menawan sumoi.”

“Hemmm, siapa namamu dan siapa nama sumoi-mu itu?” tanya Niocu yang semakin tertarik.

“Namaku Gan Bu Tong dan sumoi bernama Lo Siu Lan.”

“Kalian dari perkumpulan apa dan siapa suhu-mu?”

“Suhu adalah ketua dari Kwi-kiam-pang berjuluk Toat-beng Kiam-sian bernama Lo Cit,” Gan Bu Tong menjawab dengan bangga karena nama besar gurunya itu pasti dikenal semua tokoh kang-ouw.

Benar saja dugaannya. Niocu tersenyum mendengar nama ini.

“Ah, kiranya engkau murid kakek pincang itu? Gurumu pernah bersikap baik terhadap muridku, biarlah sekarang aku membantu muridnya. Cepat bawa aku ke tempat di mana sumoi-mu itu ditawan. Aku yang akan membebaskannya!”

Girang sekali hati Gan Bu Tong. Agaknya gadis itu tidak hanya membual. Gerakannya ketika meloncat di atas kepalanya menghindarkan tabrakan itu saja sudah membuktikan betapa hebat ginkang-nya. Apa lagi gadis ini sudah mengenal nama suhu-nya.

“Baik, Nona. Mari kita pergi ke sana!” kata Bu Tong.

Ia pun berlari kembali ke tempat tadi secepatnya. Akan tetapi, gadis itu seakan berjalan melangkah seenaknya biar pun kenyataannya dia tidak pernah dapat meninggalkannya. Sungguh merupakan ilmu berlari cepat yang hebat.

Akan tetapi ketika mereka tiba di seberang sungai itu, tidak nampak lagi bayangan Siu Lan.

“Tentu sumoi sudah mereka bawa ke sarang mereka!”

“Kita kejar!” kata Niocu.

Tanpa menanti jawaban ia sudah melompat ke depan berlari cepat. Bu Tong berusaha mengejarnya, akan tetapi sebentar saja dia sudah tertinggal jauh. Niocu yang berlari lebih cepat itu segera dapat mengejar orang-orang Hek-houw-pang yang menawan Siu Lan.

Gadis ini berjalan dengan sikap tenang di tengah-tengah mereka. Ia tidak merasa takut. Suheng-nya tentu akan melapor kepada ayahnya dan ayahnya tentu akan datang untuk membebaskannya.

Kini Siu Lan teringat mengapa pemuda itu seperti menaruh dendam kepada ayahnya. Setahun lebih yang lalu, ketua Hek-houw-pang pernah berkunjung ke rumah ayahnya. Dari ibunya ia kemudian mendengar bahwa ia telah dipinang oleh ketua Hek-houw-pang untuk dijodohkan dengan puteranya. Akan tetapi ia berkeras menolak karena ia belum pernah melihat putera ketua Hek-houw-pang itu.

Ayahnya lalu menolak pinangan itu dengan halus. Agaknya urusan itulah yang membuat pemuda itu hendak membalas dendam dengan menawannya supaya ayahnya datang minta maaf kepada ketua Hek-houw-pang!

Kini setelah melihat orangnya, ia harus mengakui bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah, akan tetapi matanya yang terlalu lebar itu tidak sedap dipandang, di samping ia belum mengetahui bagaimana watak pemuda itu. Kalau wataknya baik, belum tentu ia menolak pinangannya setelah melihat orangnya.

Pada waktu Siu Lan melangkah sambil melamun, tiba-tiba nampak sesosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di depan rombongan itu telah berdiri seorang wanita cantik. Wanita itu memandang dengan matanya yang bersinar tajam dan mulutnya tersenyum mengejek.

“Belasan orang laki-laki menawan seorang gadis muda, sungguh merupakan perbuatan yang tidak tahu malu!” kata wanita itu yang bukan lain adalah Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok.

Tang Hun yang tadinya berjalan dekat Siu Lan, segera melangkah maju menghadapi Niocu. Dia mengangkat kedua tangannya ke depan dada sebagai penghormatan, lalu berkata, “Kami tidak mengenal Nona, sebaliknya Nona juga tidak mengenal kami. Setiap perbuatannya tentu ada sebabnya yang kuat, maka harap Nona jangan mencela dulu dan tidak mencampuri urusan pribadi kami!” Suaranya itu sopan namun nadanya keras.

“Tidak mungkin aku tidak mencampuri. Melihat seorang wanita ditawan belasan orang, bagaimana menyuruh aku tidak campur tangan? Cepat bebaskan dia atau aku akan memberi hajaran keras kepada kalian!”

“Wanita sombong. Apa kau kira aku takut kepadamu?”

“Heh-heh-heh, bukankah engkau adalah putera Hek-houw Tang Kwi? Dari pada engkau babak-belur, lebih baik engkau suruh ayahmu datang ke sini melawanku.”

“Nona, sebetulnya siapakah engkau dan mengapa engkau mencampuri urusan ini? Ini adalah urusan antara Kwi-kiam-pang dan Hek-houw-pang. Nona tidak berhak untuk ikut mencampuri!”

“Hemmm, bocah seperti engkau ini hendak melawanku? Ketahuilah bahwa aku yang disebut orang Bi-kiam Niocu!”

Mendengar nama ini, Tang Hun terkejut. Tentu saja dia pernah mendengar akan nama Bi-kiam Niocu yang kabarnya amat kejam terhadap pria itu. Akan tetapi dia tidak merasa takut. Malu rasanya kalau takut melawan seorang wanita.

“Bagus! Nama Bi-kiam Niocu memang sudah terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi aku Tang Hun tidak gentar menghadapimu. Engkau yang mencari perkara, bukan kami!” Pemuda itu berkata demikian sambil mencabut pedangnya.

Pada saat itu, Bu Tong sudah tiba di situ. Melihat ini, Bi-kiam Niocu berseru kepadanya. “Gan Bu Tong, engkau bantulah sumoi-mu untuk menghajar orang-orang itu, sedangkan bocah she Tang ini serahkan saja kepadaku!”

“Baik, Nona.” Bu Tong berseru girang dan berkata kepada sumoi-nya, “Sumoi, mari kita lawan mereka!”

Kalau tadi kakak beradik seperguruan itu tidak berani memberontak adalah karena di situ ada Tang Hun dan belasan orang anak buahnya. Kini, setelah Tang Hun ada yang menghadapi, mereka menjadi berani dan Siu Lan juga mencabut pedangnya. Dua orang kakak beradik seperguruan ini lalu mengamuk dan dikepung serta dikeroyok belasan orang anak buah Hek-houw-pang.

Sementara itu Tang Hun mencabut pedangnya. Dia sudah mendengar akan kelihaian Bi-kiam Niocu, maka dia mencabut pedang lebih dulu lalu menyerang lawannya yang masih bertangan kosong.

Akan tetapi dengan gerakan yang cepat Niocu sudah menghindar dari serangan itu. Dia membiarkan pemuda itu menyerangnya hingga sepuluh jurus yang selalu bisa dielakkan oleh Niocu. Setelah membiarkan lawan menyerang sampai sepuluh jurus, barulah Niocu mencabut pedangnya.

Pedang ini adalah pedang baru karena pedangnya yang lama patah ujungnya ketika ia pinjamkan kepada Keng Han untuk melawan Thian It Tosu palsu yang mempergunakan pedang Pek-coa-kiam, pedang pusaka Bu-tong-pai. Ia membeli pedang baru yang juga baik sekali, terbuat dari baja pilihan.

Begitu Niocu menggunakan pedang untuk melawan, Tang Hun segera terdesak hebat. Akan tetapi Niocu sekarang bukan seperti Niocu dahulu ketika ia masih liar membenci kaum pria. Ia tidak berniat membunuh Tang Hun, hanya membebaskan Siu Lan saja.

Apa lagi memang ilmu kepandaian Tang Hun sudah cukup tangguh sehingga biar pun terdesak dia masih dapat melakukan perlawanan! Setelah pertandingan berjalan kurang lebih tiga puluh jurus, Tang Hun main mundur terus.

Pertandingan antara lima belas anak buahnya yang mengepung Lo Siu Lan dan Gan Bu Tong juga berlangsung seru. Meski dikeroyok belasan oleh orang, namun kakak beradik seperguruan ini dapat menggerakkan pedang mereka untuk melindungi diri, bahkan sempat pula merobohkan beberapa orang dengan tendangan kaki mereka.

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.

“Tang Hun, mundurlah, biarkan aku yang menghadapi!”

Tang Hun gembira sekali mendengar suara ini karena suara itu adalah suara ayahnya! Memang yang baru datang itu adalah Hek-houw Tang Kwi sendiri, seorang kakek yang bermuka hitam dan berusia kurang lebih lima puluh tahun.

Begitu tiba di situ dia melihat puteranya didesak hebat oleh seorang wanita cantik. Dia tidak mengenal wanita itu, karena itu dia cepat menyuruh puteranya mundur dan dia menangkis pedang di tangan wanita itu yang menyambar cepat.

"Tranggggg...!”

Keduanya amat terkejut karena merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang tergetar hebat. Hek-houw Tang Kwi menjadi penasaran dan segera berseru, “Tahan senjata!”

Semua anak buahnya yang tadi mengeroyok Siu Lan dan Bu Tong juga menghentikan penyerangan mereka. Semua melompat ke belakang sehingga perkelahian itu terhenti.

“Apa artinya perkelahian ini? Heiii, bukankah engkau adalah puteri dan murid Toat-beng Kiam-sian Lo Cit? Dan engkau sendiri siapakah Nona?”

“Aku adalah Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok!” Niocu memperkenalkan diri.

“Ahhh...! Bukankah engkau murid Ang Hwa Nio-nio? Kenapa terjadi perkelahian dengan puteraku dan para anggota kami? Tang Hun, apa yang telah terjadi di sini?” Hek-houw Tang Kwi bertanya kepada puteranya.

“Begini, Ayah. Mula-mula kami melihat puteri dan murid Toat-beng Kiam-sian ini berburu binatang di dalam wilayah kita. Karena mereka memasuki wilayah kita tanpa ijin, kami lalu menahan nona Lo untuk dihadapkan kepada Ayah, dan membebaskan pemuda itu untuk melaporkan kepada ketuanya. Akan tetapi mendadak pemuda itu datang kembali bersama Bi-kiam Niocu dan hendak memaksa kami membebaskan nona Lo. Kami menolak dan terjadilah perkelahian ini.”

Hek-houw Tang Kwi mengerutkan alisnya dan berkata kepada Bi-kiam Niocu, “Bi-kiam Niocu, aku mendengar bahwa engkau seorang wanita gagah, akan tetapi mengapa engkau mencampuri urusan pribadi antara Hek-houw-pang dan Kwi-kiam-pang? Apa yang dilakukan puteraku sudah sepantasnya karena kedua orang murid Kwi-kiam-pang melanggar wilayah kekuasaan kami.”

“Hemmm, kalau puteramu itu tadi berani bertanding satu lawan satu dengan puteri ketua Kwi-kiam-pang, tentu aku tidak akan mencampurinya. Akan tetapi melihat belasan orang anak buahmu sudah menggunakan kekuatan banyak orang untuk menawannya, hal ini kuanggap tidak adil dan merupakan tindakan seorang pengecut. Karena itulah aku turun tangan membantu mereka!” Jawab Niocu sambil tersenyum mengejek.

“Tang Hun, benarkah engkau menggunakan anak buah untuk menangkap mereka?”

“Tidak, Ayah. Di antara kami dan mereka tadinya tak ada perkelahian. Kita menangkap mereka dan mereka merasa bersalah, maka nona Lo tidak keberatan kami tawan dan suheng-nya itu pun pergi untuk melapor kepada gurunya. Setelah Bi-kiam Niocu campur tangan barulah terjadi pertempuran.”

“Beranikah engkau melawan nona Lo, satu lawan satu?”

Wajah pemuda itu berubah kemerahan ketika dia memandang kepada Siu Lan. “Aku... aku tidak ingin memusuhinya, Ayah.”

Bi-kiam Niocu tertawa mengejek.

“Orang muda, katakan saja kalau engkau tidak berani. Hei, adik Lo, beranikah engkau melawan putera Hek-houw Tang Kwi ini?”

Siu Lan menegakkan tubuhnya dan menjawab, “Mengapa tidak berani? Asal jangan main keroyokan!”

“Nah, kau dengar itu, Tang Hun? Untuk menyelesaikan urusan ini, sambutlah tantangan nona Lo. Siapa pun di antara kalian yang kalah harus minta maaf dan urusan ini habis sampai di sini saja. Bagaimana pendapatmu, Bi-kiam Niocu? Atau, apakah engkau ingin kita bertanding terus mati-matian hanya untuk urusan sekecil ini?”

Niocu merasa tidak enak. Sebetulnya, sebagai orang luar ia memang tidak tersangkut urusan itu sama sekali. Kalau ia membantu, sebetulnya yang ia bantu adalah Gan Bu Tong karena ia tertarik dan suka kepada pemuda itu.

“Bertanding satu lawan satu itu baru adil dan aku tidak akan mencampuri, hanya akan menonton agar jangan ada yang main curang.”

“Nah, Tang Hun, engkau sudah mendengar sendiri. Bersiaplah untuk bertanding dengan nona Lo Siu Lan!” kata Hek-houw Tang Kwi.

“Akan tetapi, Ayah. Aku tidak ingin melukainya...,” kata pemuda itu ragu.

Melihat sikap dan mendengar ucapan Tang Hun, Siu Lan merasa jantungnya berdebar. Tadi ketika ia ditangkap, pemuda itu bersikap sopan padanya, seolah ia bukan seorang tawanan melainkan seorang tamu. Dan sekarang, pemuda itu mengatakan tidak ingin memusuhinya dan juga tidak ingin melukainya! Hal ini hanya mempunyai satu arti, ialah bahwa pemuda itu suka padanya!

Hek-houw Tang Kwi menjadi marah kepada puteranya. “Engkau tidak berani? Kalau begitu engkau harus minta maaf kepadanya!”

“Minta maaf? Aku tidak bersalah, melainkan mereka yang bersalah. Kenapa aku harus minta maaf? Dan aku tidak ingin berkelahi melawan nona Lo, sama sekali bukan karena takut melainkan...”

“Sudahlah jangan banyak bicara lagi. Layanilah nona Lo yang menantangmu!” berkata demikian Hek-houw Tang Kwi kemudian mendorong punggung puteranya supaya maju menghadapi Siu Lan.

Dengan terpaksa sekali dan sikap apa boleh buat Tang Hun maju menghadapi Siu Lan. Dia menyimpan pedangnya dan berkata dengan lembut. “Nona Lo, terpaksa aku harus melawanmu. Akan tetapi kita tidak bermusuhan, maka kita bertanding dengan tangan kosong saja.”

“Tidak bersenjata boleh, bersenjata juga boleh!” berkata Siu Lan yang juga menyimpan pedangnya. Kalau lawan tidak bersenjata tentu ia malu kalau harus melawan dengan pedangnya.

Mereka sudah memasang kuda-kuda masing-masing, akan tetapi Tang Hun belum juga mau menyerang.

“Hayo mulai!” kata Siu Lan. “Aku sudah siap!”

“Engkau adalah tamu, maka engkaulah yang harus memulai lebih dulu, Nona,” kata Tang Hun.

“Baik, bersiaplah dan sambut seranganku ini!” Siu Lan mulai memukul akan tetapi dapat dielakkan Tang Hun dengan baik.

Dua orang itu segera terlibat dalam perkelahian yang seru. Akan tetapi Bi-kiam Niocu dan Hek-houw Tang Kwi keduanya dapat mengikuti gerakan mereka dengan baik dan mereka mendapat kenyataan bahwa dua orang itu tidak berkelahi dengan sungguh-sungguh. Hek-houw Tang Kwi tahu benar bahwa puteranya tidak mengerahkan tenaga sepenuhnya dan Bi-kiam Niocu juga melihat dengan jelas betapa Siu Lan juga tidak menyerang dengan sepenuh hatinya.

Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ sudah berdiri seorang kakek yang kaki kirinya timpang dan membawa tongkat.

"Apa yang terjadi di sini?" tanyanya. Ketika melihat puterinya berkelahi melawan Tang Hun, dia lalu menghampiri Hek-houw Tang Kwi dan bertanya, "Ehh, Hek-houw, kenapa engkau membiarkan anak kita saling serang seperti itu?"

"Ssstt, lihatlah baik-baik, Kiam-sian. Bukankah kedua anak kita itu serasi dan cocok sekali? Mereka saling serang? Hemmm, kurasa tidak. Mereka hanya latihan saja dan saling mengalah!"

Dan kenyataannya memang demikianlah. Kedua orang muda itu sama sekali tidak menyerang dengan sungguh-sungguh, dan tidak ingin melukai lawan. Siu Lan melihat datangnya ayahnya, maka ia meloncat jauh ke belakang dan mendekati ayahnya.

"Ayah, mereka hendak menawanku!" katanya dengan manja.

"Apa?! Siapa yang hendak menawan anakku?" bentak Toat-beng Kiam-sian dan kini barulah dia melihat adanya Bi-kiam Niocu di situ.

"Eh, engkau juga berada di sini, Bi-kiam Niocu? Apakah engkau yang hendak menawan anakku?" Berkata demikian Lo Cit melangkah maju menghampiri Bi-kiam Niocu yang hanya memandang kepadanya dengan senyum mengejek.

"Suhu, tidak sama sekali, Suhu!" Gan Bu Tong meloncat mendekati suhu-nya. "Nona ini sama sekali tidak mengganggu kami berdua, ia malah datang untuk menolong sumoi yang tadinya ditawan oleh orang-orang Hek-houw-pang!"

"Hemmm, apa yang terjadi di sini? Mengapa anakku dapat ditawan oleh orang-orang Hek-houw-pang?"

Hek-houw Tang Kwi dengan sikap tenang berkata kepada Lo Cit. "Kiam-sian, engkau dengarlah baik-baik keterangan dari anakku. Tang Hun, lekas ceritakan semua kepada pamanmu Lo ini apa yang telah terjadi sebenarnya."

Tang Hun maju memberi hormat kepada Lo Cit lalu berkata, "Sebetulnya begini, Paman. Kami tadi mendapatkan puteri dan murid Paman sudah melanggar wilayah kami dan membunuh dua ekor kijang. Karena mereka memasuki wilayah kami tanpa ijin, terpaksa saya menahan nona Lo untuk kami hadapkan kepada Ayah. Ia kami tahan sebagai seorang tamu, bukan sebagai tawanan. Akan tetapi tiba-tiba murid Paman ini datang bersama Bi-kiam Niocu dan menyerang kami. Untung ada Ayah, kalau tidak mungkin kita semua akan dibunuhnya!"

"Siu Lan, benarkah apa yang dikatakan Tang Hun itu?"

Dengan kedua pipi berubah kemerahan, Siu Lan menjawab, "Benar, Ayah. Akan tetapi kami hanya melanggar perbatasan sungai itu untuk mengejar kijang."

"Kalau begitu, engkau dan Bu Tong berada di pihak yang salah. Hayo kalian berdua minta maaf kepada pamanmu Tang Kwi!" bentak Lo Cit.

Siu Lan dan Bu Tong terpaksa memberi hormat kepada Hek-houw Tang Kwi sambil berkata, "Harap paman Tang sudi memaafkan kelancangan kami!"

"Ha-ha-ha-ha, semua ini hanya merupakan salah paham saja. Di antara orang sendiri mengapa harus minta maaf? Akan tetapi, Kiam-sian, bukankah engkau sudah melihat sendiri alangkah serasi dan cocok adanya putera-puteri kita? Maka kesempatan ini akan kugunakan untuk mengulang pinanganku tempo hari. Bagaimana bila kita menjodohkan mereka?"

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit tersenyum, kemudian bertanya kepada puterinya, "Siu Lan, engkau telah mendengar sendiri usul pamanmu Tang. Nah, bagaimana jawabanmu?"

Dengan muka kemerahan Siu Lan bersembunyi di belakang tubuh ayahnya, kemudian berkata, "Ahh, urusan itu bagaimana baiknya terserah kepada Ayah saja!"

Jawaban ini saja sudah jelas bagi semua orang. Kalau seorang anak tidak setuju, tentu ia akan marah-marah atau menangis. Tapi kalau ia setuju, tentu ia akan menyerahkan keputusannya kepada orang tuanya dan tersipu malu.

Melihat keadaan puterinya, Lo Cit menjadi girang sekali. Ketika pertama kali Tang Kwi meminang puterinya, sebetulnya dia sudah setuju sekali. Dia merasa suka kepada Tang Hun yang gagah dan tampan. Akan tetapi puterinya itu yang menolak.

Kini dia tahu mengapa dulu puterinya menolak. Karena belum pernah melihat Tang Hun. Setelah kini berhadapan, bahkan saling serang dalam pertandingan tadi, ia setuju akan pinangan itu.

"Ha-ha-ha, bagus sekali. Marilah singgah di rumah kami di mana kami dapat menjamu kalian sebagai tamu agung dan kita dapat bercakap-cakap mengenal persoalan ini. Kami juga mengundang Niocu untuk ikut datang sebagai tamu kehormatan."

Bi-kiam Niocu mengerling kepada Gan Bu Tong. Ia melihat betapa pemuda itu juga memandang kepadanya penuh kagum, maka ia pun mengangguk. "Baiklah, aku tanpa sengaja telah terlibat dalam urusan kalian, tidak apa menjadi saksi dari hubungan antara kalian yang menjadi baik."

Mereka semua lalu menuju ke perkampungan Hek-houw-pang. Dan dalam perjalanan ini dengan sengaja Niocu mendekati Gan Bu Tong dan mengajaknya bercakap-cakap. Dia bertanya-tanya tentang keadaan pemuda itu dan hatinya girang mendengar bahwa pemuda itu sudah yatim piatu dan belum bertunangan apa lagi menikah. Dan pemuda itu pun jelas kelihatan amat kagum kepadanya. Juga usia Gan Bu Tong sudah dua puluh lima tahun, berarti dua tahun lebih tua dari pada usianya.

Sebaliknya sikap yang amat ramah dan bersahabat dari Niocu membuat dia akrab sekali dengan gadis itu. Tadinya Bu Tong memang agak sungkan terhadap Niocu yang dianggapnya mempunyai tingkat yang lebih tinggi dari pada dia, juga namanya sudah terkenal sekali di dunia kangouw sebagai tokoh yang ditakuti. Akan tetapi setelah bercakap-cakap dengan dia, dia mendapat kenyataan bahwa Niocu amat manis budi dan bijaksana sehingga dia merasa cocok dan tidak menjadi rendah diri.

Demikian pula dengan Lo Siu Lan. Ia berterima kasih sekali kepada Niocu yang telah membantu untuk membebaskannya. Maka setelah mereka semua dijamu sebagai tamu kehormatan oleh Hek-houw Tang Kwi yang membicarakan dengan Lo Cit mengenai perjodohan antara anak mereka, Lo Siu Lan minta dengan sangat agar Niocu suka singgah di rumahnya. Permintaan ini diterima dengan senang hati oleh Niocu.

Setelah tinggal beberapa hari di rumah kediaman keluarga Lo, yaitu di perkampungan Kwi-kiam-pang, hubungan antara Niocu dan Bu Tong menjadi makin akrab. Pada suatu sore Niocu dan Bu Tong berjalan-jalan di luar perkampungan di Kwi-kiam-pang. Niocu yang mengajaknya dan Bu Tong dengan girang menyambut ajakan itu.

"Tong-ko, aku heran sekali melihatmu," kata Niocu sambil melangkah perlahan.

"Kenapa heran, Niocu?"

"Engkau murid seorang ketua perkumpulan yang terkenal. Engkau juga mempunyai ilmu kepandaian yang cukup tinggi dan hidupmu sudah sebatang kara karena tidak memiliki orang tua atau keluarga lain. Akan tetapi kenapa sampai usia dua puluh lima engkau belum juga menikah?"

Gan Bu Tong tersenyum malu-malu mendengar ini. "Ahh, Niocu. Orang seperti aku ini siapa yang suka menjadi isteriku? Pula, aku mengganggap suhu sebagai orang tuaku dan Lan-sumoi sebagai adik sendiri."

"Tidak keliru engkau memilih keluarga gurumu sebagai keluarga sendiri. Tetapi apakah engkau tidak ingin membentuk keluarga sendiri, berumah tangga dan mempunyai anak-anak?"

Bu Tong teringat kepada Siu Lan. Dia pernah jatuh cinta kepada sumoi-nya itu dan ingin memperisterinya, akan tetapi ternyata Siu Lan tak mencintainya, melainkan hanya suka sebagai seorang kakak. Bahkan Siu Lan agaknya kini tertarik kepada Tang Hun dan perjodohan mereka telah dibicarakan oleh orang tua masing-masing.

Habislah sudah harapannya untuk memperisteri Siu Lan. Sejak pertama kali bertemu dengan Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok, dia memang sudah tertarik dan kagum sekali. Apa lagi setelah pergaulan mereka akrab, dia semakin tertarik. Akan tetapi sedikit pun dia tidak mempunyai pikiran untuk jatuh cinta kepada tokoh yang terkenal ini. Dia tidak berani. Siu Lan saja menolaknya, apa lagi seorang tokoh besar seperti Bi-kiam Niocu!

Setelah menghela napas panjang beberapa kali, dia pun menjawab. "Tentu saja kadang timbul keinginanku untuk berumah tangga, Niocu. Akan tetapi seperti kukatakan tadi, siapa orangnya mau mendampingi aku sebagai isteriku? Aku seorang pemuda yang yatim piatu, tidak mempunyai apa-apa." Kemudian dia teringat bahwa gadis ini bertanya terlalu mendalam, maka timbul keberaniannya untuk bertanya. "Akan tetapi engkau sendiri, Niocu. Kulihat usiamu pasti lebih tua dari sumoi, mengapa engkau juga beIum berumah tangga?"

Bi-kiam Niocu tersenyum dan Bu Tong memandang dengan hati terpesona. Bukan main manisnya wanita ini kalau tersenyum!

"Tentu saja aku jauh lebih tua dari Siu Lan. Usiaku sudah dua puluh tiga tahun. Terus terang saja, entah berapa banyak pria yang meminangku, akan tetapi semuanya itu kutolak. Aku belum menemukan seorang yang cocok untuk menjadi pilihanku. Karena itulah sampai kini aku belum juga menikah."

"Niocu, seorang gadis seperti engkau ini, cantik jelita, berilmu tinggi dan berbudi mulia, bijaksana, tentu saja berhak memilih seorang calon suami yang sebaik-baiknya."

"Ahh, jangan terlalu memuji padaku, Tong-ko. Dengarkanlah pendapat dunia kang-ouw tentang diriku dan engkau akan tahu bahwa aku tidak patut dipuji seperti itu. Aku pernah terkutuk, pernah bersumpah bahwa aku akan membunuh pria yang berani mencintaku! Entah sudah berapa orang yang kubunuh karena itu. Akan tetapi aku sekarang telah terbebas dari kutukan itu, bahkan aku mendambakan cinta kasih yang tulus ikhlas dari seorang pria. Aku tidak memilih yang muluk-muluk, melainkan yang berhati bersih, jujur dan mencintaku tanpa pamrih."

"Niocu...!"

"Ada apakah, Tong-ko?"

"Kalau sekarang ada seorang pria yang jatuh cinta kepadamu, seorang pria yang tidak berharga, miskin dan papa, yang tidak mampu menjanjikan apa pun kepadamu, apakah engkau dapat menerima cintanya?"

"Aku tidak membutuhkan pria yang kaya raya atau pun pandai dan berkedudukan. Aku membutuhkan pria yang jujur dan baik."

"Niocu, aku... aku seorang tak berharga, yatim piatu tidak mempunyai apa-apa..." Dia berhenti bicara.

“Ya...? Mengapa?"

"Aku yang hina ini telah berani bermimpi tentang bintang yang tidak terjangkau oleh tangan..."

"Tidak oleh tangan, melainkan harus dijangkau oleh hati yang penuh cinta kasih."

"Aku... maafkan aku, Niocu. Aku seperti dalam mimpi. Aku berani jatuh cinta padamu..."

Kedua pipi Bi-kiam Niocu menjadi merah padam, jantungnya berdebar karena girang. "Cintamu tidak sia-sia, Tong-ko!"

Bu Tong terbelalak memandang wajah yang cantik itu. "Maksudmu, engkau tidak marah padaku?"

Niocu menggeleng kepalanya. "Tidak, aku malah merasa girang dan berbahagia sekali karena pria dalam angan-anganku tadi sepertimu inilah, Tong-ko. Engkau jujur, engkau sederhana, engkau rendah hati."

Keduanya sudah berhenti melangkah sejak tadi dan berdiri saling berhadapan. Dua pasang mata saling bertemu bertaut dan dua pasang mata itu menjadi basah karena haru.

Bu Tong melangkah maju dan memegang kedua tangan Niocu. "Benarkah semua ini? Bukan mimpi kosong belaka? Niocu, benarkah engkau bisa menerima cintaku? Maukah engkau menjadi isteriku?"

"Kita berdua sama-sama yatim piatu, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini. Tentu saja aku mau menjadi isterimu, Tong-ko."

Bukan main girangnya hati Bu Tong di saat itu. Dengan kedua lengannya yang tegap itu dia memeluk Niocu sedemikian kuatnya, seolah dia ingin membenamkan kepala yang tersayang itu ke dalam dadanya.

Setelah merasa yakin bahwa dalam hidupnya ada Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok, Gan Bu Tong menjadi pemberani. Dengan terus terang dia mengajak kekasihnya menghadap gurunya.

"Suhu, teecu mohon doa restu dan persetujuan Suhu, karena teecu dan Niocu sudah mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri!" Pengakuan ini dia katakan di depan Toat-beng Kiam-sian, isterinya dan juga di depan Lo Siu Lan.

Mendengar ini, Lo Siu Lan langsung berteriak girang. Dia segera menghampiri Niocu dan merangkulnya. "Ah, selamat kuucapkan kepada kalian! Enci Bi Kiok, hatiku merasa gembira bukan main mendengar berita yang membahagiakan ini!"

Toat-beng Kiam-sian Lo Cit juga merasa heran dan gembira sekali. Dia menganggap bahwa muridnya itu berperuntungan baik sekali, dapat menjadi pilihan Bi-kiam Niocu untuk menjadi jodohnya.

"Tentu saja kami merasa berbahagia sekali, Bu Tong. Semoga kalian menjadi suami isteri yang berbahagia. Dan karena engkau tidak memiliki keluarga yang bisa menjadi wali, biarlah kami yang akan menikahkan kalian, berbareng dengan pernikahan Siu Lan dengan Tang Hun!" kata Toat-beng Kiam-sian Lo Cit.

Demikianlah, semenjak hari itu Niocu tinggal di Kwi-san untuk menunggu hari baik itu. Perjodohan antara mereka akan dibarengkan dengan perjodohan antara Siu Lan dan Tang Hun…..

********************

Di kota raja juga terjadi hal yang berbahagia. Setelah bertemu dengan Tao Kwi Hong, Cia Kun tergila-gila kepada saudara misan itu. Sebaliknya Kwi Hong juga tertarik sekali kepada putera Pangeran Cia Sun itu. Hubungan mereka menjadi semakin akrab dan akhirnya Cia Kun minta kepada ayah bundanya untuk melamarkan Tao Kwi Hong.

Pinangan itu diterima baik oleh Pangeran Tao Kuang, karena selain puterinya setuju, juga dia melihat bahwa Pangeran Cia Sun adalah seorang pangeran yang baik. Sebagai seorang pangeran namanya cukup bersih dan terhormat.

Lalu bagaimana dengan Keng Han? Pemuda ini melakukan perjalanan ke Barat Laut. Pada suatu hari sampailah dia di perkampungan Khitan. Ternyata kakeknya, Khalaban, telah meninggal dunia dan yang ditunjuk sebagai penggantinya adalah Kalucin.

Silani, ibu Keng Han, dan juga Kalucin yang dipanggilnya paman, menyambut mereka dengan gembira. Bahkan Kalucin lalu mengadakan sebuah pesta untuk menyambut pulangnya pemuda itu. Seluruh perkampungan itu bergembira ria.

Sejak ditinggalkan oleh puteranya, siang malam Silani menanti kembalinya Keng Han dengan penuh harapan. Bahkan Kalucin sudah beberapa kali mengajukan pinangan kepadanya. Namun Silani selalu menolaknya, dan mengatakan bahwa dia masih isteri Pangeran Tao Seng yang belum diketahui bagaimana nasibnya itu.

Sampai berusia empat puluh lima tahun Kalucin masih belum beristeri. Dia benar-benar mencinta Silani dan tidak dapat menikah dengan wanita lain sebelum Silani bertemu kembali dengan suaminya.

Biar pun pulangnya Keng Han amat membahagiakan mereka semua, namun diam-diam Silani kecewa karena suaminya tidak datang bersama puteranya.

Setelah memperoleh kesempatan untuk bicara berdua saja dengan puteranya, Silani tidak dapat lagi menahan keinginan hatinya dan ia bertanya, "Bagaimana, Keng Han, apakah engkau sudah bertemu dengan ayahmu? Kenapa dia tidak ikut datang bersama denganmu? Apakah dia menyuruh memboyongku ke sana?"

Dihujani pertanyaan itu, Keng Han merasa kasihan sekali kepada ibunya. "Maafkan aku, Ibu. Aku datang tidak membawa berita yang baik. Ayah... ayah... sudah meninggal dunia."

Silani terbelalak, mulutnya terbuka lalu perlahan-lahan air matanya berjatuhan ke atas pipinya yang menjadi pucat, lalu ia menutupi mukanya dan menangis. Keng Han maju dan merangkulnya dan wanita itu menangis di dada puteranya. Keng Han mengelus pundak ibunya dan menghiburnya.

Setelah tangisnya mereda, dengan muka pucat sekali Silani bertanya apa yang telah terjadi dengan suaminya.

"Ayah memang seorang pangeran, Ibu. Akan tetapi ia bukan Pangeran Mahkota seperti yang diakuinya. Ketika dia meninggalkan ibu dan pulang ke kota raja, dia melakukan perbuatan yang buruk, yaitu dia hendak membunuh Pangeran Mahkota yang menjadi saudaranya sendiri. Dia ingin menjadi Pangeran Mahkota. Akan tetapi usahanya gagal, bahkan dia ditangkap dan dihukum buang selama dua puluh tahun."

"Ahh, pantas dia tidak memberi kabar sama sekali. Kiranya dia dihukum..."

"Pada waktu tiba di kota raja, aku mendapatkan ayah telah menyamar sebagai seorang hartawan she Ji dan kembali dia mendirikan komplotan untuk membunuh Kaisar dan Putera Mahkota karena dia ingin menjadi kaisar. Dan kembali usahanya gagal, bahkan ayah terbunuh dalam usahanya itu. Aku dikeroyok oleh tiga orang datuk sakti dan ayah hendak menolong dan membelaku, dan dalam usahanya inilah dia terbunuh. Aku sudah menguburkan jenazahnya di suatu tempat. Sebelum dia tewas dia berpesan kepadaku untuk memintakan ampun darimu, Ibu!"

"Ahhhhh...!" Kembali ibunya menangis.

Setelah tangisnya reda Silani bertanya kepada puteranya. "Akan tetapi kenapa engkau begitu lama pergi? Sampai hampir enam tahun engkau pergi, membuat hati kami semua selalu mengkhawatirkan keselamatanmu."

Mendengar pertanyaan ibunya ini, Keng Han lalu menceritakan semua pengalamannya dengan panjang lebar, betapa selama lima tahun dia hidup terasing di Pulau Hantu dan mempelajari ilmu silat yang dia temukan di sana. Kemudian dia menceritakan semua yang telah dialaminya.

Ibunya memandang kepadanya dengan kagum.

"Demikian banyak dan hebatnya pengalamanmu, anakku. Akan tetapi engkau pulang bersama gadis yang berkerudung itu. Siapakah dia, Keng Han?"

"Ia seorang sahabat baik bernama The Cu In, Ibu. Puteri seorang panglima tinggi di kota raja."

"Hemmm, sahabat baik? Sampai di mana kebaikan itu?"

"Dia sudah sering kali menolongku dari kesulitan dan bahaya, Ibu. Kalau tidak ada dia yang menolong, mungkin sekali aku tidak dapat pulang hari ini."

"Akan tetapi mengapa dia ikut ke sini?"

"Dia ikut agar dapat berkenalan dengan Ibu. Terus terang saja, Ibu, dia bukan sahabat biasa. Kami berdua sudah mengambil keputusan untuk menjadi suami isteri dan aku mengajaknya supaya Ibu dapat mengenal calon mantunya." Wajah Keng Han berubah kemerahan ketika membuat pengakuan itu.

"Calon menantuku? Ahhh, aku girang sekali. Akan tetapi mengapa dia selalu menutupi mukanya dengan cadar? Suruhlah dia membuka cadarnya agar semua orang melihat betapa cantiknya calon menantuku!"

Jantung Keng Han berdebar tegang mendengar ucapan ibunya itu. Akan tetapi dia lalu teringat bahwa Cu In hanya mau memperlihatkan mukanya kepada ibunya saja, tidak kepada orang lain.

"Ibu, Cu In sudah bersumpah bahwa dia baru akan membuka cadarnya pada hari pernikahannya."

"Hemmm, sumpah yang aneh sekali. Bagaimana aku dapat menyetujui pilihanmu itu sebelum aku melihat wajah calon menantuku? Dia harus membuka cadarnya agar aku dapat melihat mukanya, Keng Han," kata Silani dengan tegas.

"Akan tetapi Ibu harus berjanji dulu padaku bahwa betapa pun jelek wajah Cu In, aku telah mencintanya dan ingin dia menjadi isteriku, Ibu."

Ibunya memandang wajah puteranya penuh selidik. "Cinta benarkah engkau padanya, anakku?"

"Aku mencintanya dengan seluruh jiwa ragaku. Bagiku, wajah tidak banyak artinya. Aku mencinta pribadinya, pembawaannya, sikap dan budinya, Ibu. Aku sudah sering kali bertemu wanita yang wajahnya cantik, akan tetapi aku tidak tertarik kepada mereka."

"Hemmm, dan bagaimana dengan gadis itu? Apakah dia juga mencintamu sebesar cintamu kepadanya?"

"Menurut pengakuannya begitu, Ibu. Dan juga sudah terbukti dari sepak terjangnya saat menolongku. Aku percaya sepenuhnya kepadanya!"

"Hemmm, cinta memang dapat memabukkan manusia, anakku. Baiklah, aku tidak akan terpengaruh oleh baik buruknya muka calon mantuku. Aku sudah merasa puas asal diperbolehkan melihatnya sendiri dengan mataku.”

"Kalau begitu, biar kupanggil dia menghadap Ibu," kata Keng Han yang segera keluar dari kamar ibunya dan mencari Cu In di dalam kamar yang disediakan untuk gadis itu.

Dia mengetuk pintu. Cu In membukanya dari dalam. "Cu In, apa yang kukhawatirkan telah terjadi," katanya dengan gelisah.

"Apakah itu, Han-ko?"

"Ibu ingin bicara denganmu, ingin bertemu dan ingin melihat wajahmu, In-moi!"

Tadinya Keng Han menduga bahwa kekasihnya tentu akan menjadi gugup dan gelisah pula. Akan tetapi dia kecelik. Cu In sama sekali tak nampak gugup atau gelisah, bahkan sepasang matanya berseri-seri.

"Kalau memang itu yang ibumu kehendaki, aku harus menghadapnya sekarang juga, Han-ko," katanya sambil bangkit berdiri.

Keng Han memegang pundaknya. "Tetapi kau... kau harus siap kalau ibuku terkejut, bahkan menolakmu. Jangan sampai perasaanmu tertusuk, In-moi."

"Aku tahu, Han-ko. Dan kurasa ibumu tidak akan begitu. Aku percaya sepenuhnya bahwa dia adalah seorang ibu bijaksana. Nah, biar aku menghadapnya, akan tetapi engkau tidak perlu ikut, Han-ko. Aku ingin berdua saja dengan ibumu."

Keng Han maklum. Gadis kekasihnya ini tidak ingin melihat perasaannya terpukul. Maka dia mengangguk dan menunjukkan di mana kamar ibunya. Akan tetapi dia tidak pergi meninggalkan begitu saja. Dia tetap melihat dari situ, siap untuk menghibur kekasihnya kalau nanti keluar sambil menangis.

Dengan langkah yang tegap Cu In menghampiri kamar Silani dan mengetuk pintunya.

"Siapa?" terdengar wanita itu bertanya dari dalam.

"Saya, Bibi. Saya Cu In, ingin menghadap dan bicara dengan Bibi."

"Ahhh, engkau Cu In, pintunya tidak terkunci, buka saja dan masuklah."

Cu In mendorong pintu kamar dan masuk. Jantung Keng Han berdebar tegang melihat gadis itu memasuki kamar ibunya. Dia memandang pintu kamar itu penuh perhatian, seolah pandang matanya ingin menembus pintu dan melihat apa yang terjadi di dalam.

Dia mengira bahwa tidak lama kemudian akan mendengar teriakan ibunya, lalu disusul keluarnya Cu In sambil menangis. Akan tetapi hal seperti yang dia khawatirkan itu tidak terjadi. Setelah menanti sampai lama sekali, akhirnya daun pintu terbuka dan Keng Han sudah siap menyambut dan menghibur kekasihnya yang keluar sambil menangis.

Akan tetapi kembali Keng Han kecelik. Gadis itu keluar tidak menangis, bahkan kedua matanya bersinar-sinar, diikuti ibunya yang juga tersenyum-senyum.

Keng Han menyongsong mereka dan bertanya kepada ibunya. "Ibu, apakah Ibu sudah melihat wajah Cu In? Bagaimana pendapat Ibu?”

"Keng Han, manusia tidak dapat dinilai dari cantik tidaknya wajahnya, melainkan dari budi pekertinya. Aku mendapatkan bahwa calon isterimu ini seorang yang bijaksana. Engkau memang pandai dan cocok sekali memilihnya sebagai isterimu."

"Akan tetapi, wajahnya...?" Saking herannya Keng Han bertanya.

"Jangan mempersoalkan tentang wajah. Melihat ia seorang gadis yang bijaksana sudah cukup bagiku!"

"Terima kasih, Ibu!" Keng Han girang bukan main, "Akan tetapi aku belum meminang dia dengan resmi kepada ayah bundanya, Ibu."

"Kenapa begitu?"

"Karena aku ingin memberi tahu dulu kepada Ibu dan minta persetujuan Ibu."

"Aku menyetujui sepenuhnya dan cepat-cepat engkau melamarnya, Keng Han. Karena ibumu berada di tempat jauh, biar engkau saja melamar sendiri. Kalau sudah menikah aku harap kalian suka menjenguk ibumu."

"Tentu saja, Ibu!"

Demikianlah, setelah tinggal di rumah ibunya sampai dua pekan, Keng Han dan Cu In kembali melakukan perjalanan ke timur, menuju ke kota raja.

Hati Keng Han gembira bukan main. Satu-satunya persoalan yang selama ini sangat mengganggu pikirannya adalah bagaimana jika ibunya melihat wajah Cu In yang cacat. Dia khawatir kalau-kalau ibunya akan menolaknya. Akan tetapi ternyata tidak. Ibunya menerima kenyataan itu dengan hati terbuka, dengan bijaksana.

Akan tetapi baru saja dia kematian ayahnya. Untuk memenuhi kewajibannya sebagai seorang putera, ketika mereka diterima oleh Panglima The dan membicarakan tentang perjodohannya dengan Cu In, dia mengatakan bahwa untuk melaksanakan pernikahan dia harus menunggu setahun setelah kematian ayahnya.

Mendengar ini, Panglima The bahkan mengagumi calon menantunya dan menyatakan setuju. Demikian pula Ang Hwa Nio-nio, sepenuhnya menyetujui. Cu In sendiri tentu saja merasa senang melihat calon suaminya membuktikan bahwa dirinya seorang anak yang berbakti.

Beberapa bulan kemudian, Keng Han dan Cu In menerima undangan dari Toat-beng Kiam-sian Lo Cit yang menikahkan Lo Siu Lan dengan Tang Hun, dan Gan Bu Tong dengan Bi-kiam Niocu Siang Bi Kiok. Perayaan mempelai kembar itu sangat meriah. Mereka juga menghadiri pernikahan yang dirayakan secara besar-besaran antara Cia Kun dan Tao Kwi Hong sebagai mempelai bangsawan.

Setelah lewat setahun meninggalnya Pangeran Tao Seng, maka pernikahan antara Cu In dan Keng Han dapat dilaksanakan. Semua tamu merasa heran karena mempelai wanita tetap memakai cadar.

Setelah sepasang mempelai berada berdua saja di dalam kamar, Keng Han hendak membuka cadar isterinya. "Jangan dulu, Han-ko!"

"Ehhh? Kenapa, In-moi? Bukankah engkau berjanji akan membuka cadar setelah kita menikah?"

"Nanti dulu, berjanjilah dulu bahwa engkau akan tetap mencintaku, bagaimana pun juga rupaku!"

"Ha-ha-ha, In-moi. Aku sudah pernah melihat wajahmu. Apakah ada perubahan yang kau lihat dalam sikapku kepadamu? Aku tetap mencintamu, bagaimana pun juga bentuk wajahmu."

"Benarkah? Engkau berani bersumpah?"

"Aku bersumpah, disaksikan Tuhan, Langit dan Bumi, bahwa aku akan tetap mencinta dirimu seutuhnya, bagaimana pun juga bentuk wajahmu!" kata Keng Han dengan suara tegas.

Terdengar gadis itu terisak. "Dan aku... aku pun hanya isterimu yang buruk dan bodoh, aku... aku selamanya mencintamu! Nah, sekarang bukalah cadarku, perlahan-lahan saja, Han-ko!"

Meski pun dia sudah tahu bahwa dari atas hidung ke bawah, wajah isterinya ini cacat menghitam, akan tetapi kedua tangannya gemetar juga ketika dia membuka cadar, disingkapkan ke atas. Setelah cadar dibuka, Keng Han meloncat ke belakang seperti diserang ular.

"Kau... kau... kau bukan Cu In!" Keng Han menatap wajah yang cantik jelita itu. "Siapa engkau...?"

Wanita itu menutupkan kembali cadarnya. "Aku adalah The Cu In, Han-ko. Engkau ini mengapakah?"

"Tapi, tetapi... wajahmu itu...!" Kembali dia menyingkap cadar itu, bahkan merenggut lepas dari kepala Cu In. "Engkau... benarkah engkau Cu In isteriku?"

Cu In bangkit berdiri dan tersenyum manis sekali. "Aku memang Cu In, isterimu. Dan mulai malam ini aku meninggalkan cadarku, juga menghapus penyamaranku."

"Jadi selama ini engkau menyamar? Mengapa engkau tega membohongi aku dengan menyamar sebagai gadis yang cacat mukanya?"

"Aku memang sengaja hendak menguji cintamu, Han-ko. Akan tetapi ternyata engkau tetap mencintaku dengan wajahku yang buruk. Aku... aku bersyukur dan berterima kasih sekali, suamiku..."

Keng Han melangkah maju dan merangkul Cu In yang menyembunyikan mukanya di dada suaminya sambil menangis.

"Akan tetapi mengapa? Mengapa engkau selama ini menyamar sebagai dara yang cacat mukanya dan mengenakan cadar?"

"Semua ini gara-gara sikap ibuku. Ibuku selalu menceritakan bahwa semua laki-laki itu jahat, bagaikan kumbang yang sesudah puas menghisap madunya kembang kemudian meninggalkannya begitu saja. Aku lalu menyamar sebagai seorang gadis yang buruk muka karena cacar, lalu memakai cadar supaya jangan ada laki-laki mencintaku. Tidak tahunya muncullah engkau, laki-laki bodoh yang jatuh cinta kepadaku! Tidak ada yang mengetahui rahasiaku ini kecuali ibuku. Suci-ku sendiri pun tidak pernah tahu. Yang mengetahui hanya ibuku dan ibumu."

"Ibuku...?"

"Ya, ibumu. Lupakah engkau betapa ibumu ingin melihat mukaku? Nah, ketika itulah aku melepas penyamaranku sehingga ibumu dapat melihat wajah asliku. Akan tetapi aku berpesan agar beliau tidak membuka rahasiaku, juga tidak kepadamu."

"Ihh, engkau nakal, In-moi!" kata Keng Han sambil menciumnya. "Kenapa engkau terus menyembunyikan dariku pada hal engkau tahu bahwa bagaimana pun rupamu aku tetap mencintamu?"

"Aku ingin menguji cintamu sampai penghabisan, sampai kita menikah. Apakah engkau tidak senang melihat aku tidak cacat?"

"Tidak senang? Tentu saja aku bahagia sekali karena kalau begini aku tidak perlu menghajar orang!"

"Menghajar orang?"

"Ya, kalau engkau sudah membuka cadarmu dan ada orang yang mengejekmu, pasti kuhajar orang itu. Akan tetapi sekarang tidak akan, tidak ada yang mengejekmu, yang ada hanya memujimu."

Keng Han lalu merenggangkan dirinya dan memegang wajah itu pada kedua pipinya untuk dipandang dengan penuh perhatian. Hatinya menjadi sebesar gunung karena wajah isterinya benar-benar cantik seperti bidadari.

"Kenapa engkau...?"

"Mengagumi wajahmu yang begitu cantik bagaikan seorang dewi turun dari kahyangan saja."

"Ihhh, engkau membuat aku malu!"

"Biar, inilah sebagai hukumanmu menggodaku semenjak dahulu!" kata Keng Han sambil mendekatkan mukanya dan mencium isterinya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini