PUSAKA PULAU ES : JILID-01


Nampaklah kabut menyingkir perlahan dihalau sinar matahari pagi. Sinar matahari pagi yang masih lembut akan tetapi sudah garang itu menerobos di antara kabut, sungguh merupakan keindahan yang sukar untuk dilukiskan. Keindahannya lebih terasa di dalam hati dari pada di dalam mata.

Burung-burung mulai beterbangan meninggalkan sarang, meski masih ada yang sempat berkicau di antara ranting-ranting pohon, membuat suasana makin ceria gembira dan mendorong seseorang untuk turut bernyanyi. Matahari pagi mulai muncul dan sinarnya menghidupkan segalanya, membangunkan semuanya yang tadinya terlelap tidur dalam kegelapan sang malam.

Nampak beberapa ekor kelinci dan kijang menyeberangi semak dengan hati-hati sekali. Telinga mereka membantu mata yang menoleh ke kanan kiri, lalu mereka melanjutkan jalan menuju ke semak lain. Tidak ada seorang pun manusia lain kecuali si penunggang kuda yang menghentikan kudanya di atas puncak sebuah bukit kecil itu.

Kekuasaan dan kecintaan Tuhan sungguh mengalir sepenuhnya di pagi hari itu, terasa sekali di dalam hati. Dan orang itu merasa bahwa dirinya menjadi satu dengan segala keindahan itu, menjadi bagian tak terpisahkan dari isi alam mayapada yang demikian indah. Dia merasa dirinya kecil sekali, kecil tidak ada artinya, padahal biasanya dia merupakan orang penting yang diperhatikan, dihormati dan dilayani oleh banyak orang.

Laki-laki itu masih muda. Paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Seorang pemuda yang tampan dan gagah. Rambutnya dikuncir menjadi sebuah kuncir yang gemuk dan panjang, ujungnya diikat sutera kuning. Rambut itu di atasnya disisir rapi dan mengkilap karena minyak rambut yang harum.

Dahinya lebar, dengan sepasang alis hitam tebal berbentuk golok. Sepasang matanya mencorong bagaikan mata burung Hong, hidungnya mancung dan mulutnya berbentuk indah dengan bibir mengarah senyum mengejek. Dandanannya menunjukkan bahwa dia tentu seorang bangsawan muda yang kaya-raya.

Siapakah pemuda tampan gagah yang pakaiannya perlente dan amat pesolek ini? Dia memang bukan orang sembarangan. Ia adalah seorang pangeran! Namanya Pangeran Tao Seng, putera dari Kaisar Cia Cing (1796-1820). Kenapa dan mau apakah seorang pangeran berada di antara pegunungan di tempat yang begitu jauh di utara itu, seorang diri pula?

Pangeran Tao Seng memang seorang petualang besar. Semenjak kecil dia bukan saja mempelajari ilmu kesusastraan, bahkan juga belajar ilmu silat dengan tekun sehingga setelah menjadi dewasa, dia menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Agaknya dia tertarik dengan riwayat kakeknya, Kaisar Kian Liong yang di waktu mudanya suka merantau dan memasuki dunia kang-ouw mencari pengalaman. Demikian pula dengan Tao Seng. Agaknya dia mewarisi jiwa petualang dari kakeknya ini.

Sering kali dia merantau seorang diri saja, mengandalkan ilmu silatnya untuk melindungi dirinya. Dia sudah sering menjelajahi dunia kang-ouw dan mengumbar kesenangannya, yaitu senang menggauli wanita-wanita cantik. Mudah saja baginya untuk mendapatkan wanita cantik karena wanita mana yang tidak tertarik kepadanya? Dia masih muda, tampan dan gagah, dan seorang pangeran pula!

Pada pagi hari itu dia tiba di pegunungan utara. Dia tahu bahwa dia memasuki daerah yang dikuasai orang-orang suku Khitan, akan tetapi dia tidak pernah mengenal takut. Apa lagi dia juga pandai berbahasa Khitan, bahkan ibunya masih memiliki darah Khitan. Pula, dengan ilmu silatnya yang tinggi, dia dapat menjaga diri sendiri dengan baik. Apa yang harus ditakuti? Pangeran Tao Seng sudah sering kali menghadapi bahaya, namun selalu dapat lolos dengan selamat. Dia seorang petualang besar.

Tiba-tiba dia melihat ada seorang penunggang kuda mendaki bukit itu dengan cepat. Kudanya bagus dan penunggangnya mahir sekali menunggang kuda. Duduknya tegak dan keseimbangan tubuhnya mantap. Dekat hutan di sebelah bawahnya, penunggang kuda itu turun dari atas kudanya, mengikat kudanya pada sebatang pohon, kemudian menyusup ke semak-semak dalam hutan itu.

Pangeran Tao Seng tersenyum. Dia sudah melihat bahwa penunggang kuda itu seorang gadis yang berpakaian seperti gadis Khitan dan cantik sekali, membawa busur dan anak panah. Tentu seorang gadis yang sedang memburu binatang hutan dan agaknya gadis itu melihat binatang buruan di dalam hutan itu.

Dia merasa gembira, lalu menggerakkan kudanya turun dari puncak bukit itu menuju ke hutan. Setelah tiba di dekat kuda yang ditambatkan di pohon itu, dia pun turun dari atas kudanya, menambatkan kudanya tidak jauh dari kuda gadis itu dan dia pun menyusup masuk ke dalam hutan, hendak mencari gadis pemburu tadi.

Akhirnya dia melihat gadis pemburu tadi berindap-indap di bawah sebatang pohon dan ternyata yang diincarnya adalah seekor kijang jantan muda yang sedang makan daun muda. Gadis itu sudah menarik tali busurnya dan siap melepaskan anak panah ke arah dada binatang itu. Akan tetapi perhatian Pangeran Tao Seng segera tertarik ke atas pohon, di bawah mana gadis itu berdiri.

“Awas...!” Tiba-tiba Pangeran Tao Seng berteriak nyaring.

Tepat pada saat itu, sang ular besar yang tadi bergantung di pohon itu melepaskan diri dan jatuh ke atas tubuh gadis itu yang sedang melepas anak panah. Karena kaget oleh teriakan, bidikannya terguncang dan anak panah itu luput dari sasaran. Dan selagi ia membalikkan tubuh hendak marah kepada orang yang berteriak, tiba-tiba saja ular itu menjatuhi dirinya dan membelit tubuhnya.

Saking kagetnya gadis itu menjerit. Tangan kanannya sudah ikut terbelit dan tak mampu bergerak. Akan tetapi ketika ular itu mendekatkan moncongnya dan hendak menggigit, dia menahan leher ular itu dengan tangan kirinya. Ular sebesar paha seorang pria itu memperkuat libatan dan menggerak-gerakkan lehernya yang dicekik oleh tangan kiri yang kecil namun kuat itu. Sekali tangan itu terlepas, moncong yang terbuka lebar itu tentu akan menelan kepala gadis itu dengan mudah!

Akan tetapi, Pangeran Tao Seng sudah lompat mendekat dengan pedang terhunus di tangan kanan. Sekali pedangnya berkelebat cepat, kepala ular itu putus dan darahnya muncrat mengenai pipi kiri gadis itu. Belitannya mengendur sehingga gadis itu dapat melepaskan dirinya. Saking ngeri dan kagetnya, dia terhuyung dan tentu sudah jatuh terpelanting kalau saja Pangeran Tao Seng tidak cepat menyambar pinggangnya dan merangkulnya.

“Bahaya sudah lewat, jangan takut,” katanya dalam bahasa Khitan dengan suara amat lembut.

Gadis itu memandang kepadanya dengan sepasang mata seperti seekor kelinci. “Kau... kau... telah menyelamatkan nyawaku dari ancaman bahaya maut...”

Pangeran Tao Seng tersenyum, menyimpan pedangnya dengan tangan kirinya masih merangkul pinggang. Kemudian tangan kanannya mengambil sehelai sapu tangan dan berbisik, “Pipimu bernoda darah...!”

Dia lalu mengusap pipi kiri itu dengan sapu tangan dan membersihkan darah itu, dan dia terpesona! Setelah muka itu menjadi bersih dari darah, baru nampak betapa cantiknya wajah itu! Cantik segar bagaikan setangkai mawar hutan tersiram embun pagi. Kedua pipi yang segar kemerahan dan halus mulus. Sepasang mata yang lebar dengan sinar yang jernih. Hidung kecil mancung dan mulut yang setengah terbuka itu nampak indah, dengan deretan gigi mengintai dari balik bibir yang merah basah.

“Aduh, engkau cantik sekali, Nona. Bidadari dari sorgakah engkau?”

Gadis itu tiba-tiba tertawa. Lenyaplah semua rasa kaget dan ngeri tadi, dan dia merasa lucu dan senang. Pemuda yang telah menyelamatkannya dari ancaman maut itu adalah seorang pemuda yang amat ganteng dan gagah, dan bicaranya lucu, pandai berbahasa Khitan pula.

“Kalau aku seorang dewi dari sorga, tentunya engkau seorang dewa dari kahyangan,” katanya sambil melepaskan rangkulan pemuda itu.

Pangeran Tao Seng tertawa dan nampaklah deretan giginya yang bersih dan kuat. Dia nampak semakin tampan kalau tertawa dan agaknya hal ini diketahuinya benar, maka dia pun tertawa dengan bebas dan lepas.

“Ha-ha-ha-ha, engkau pandai bicara, Nona. Aku beruntung sekali hanya manusia biasa seperti engkau, manusia yang bisa jatuh cinta! Siapakah engkau, Nona? Dan mengapa berada seorang diri di hutan liar ini? Melihat pakaian dan kudamu, tentu engkau bukan gadis Khitan sembarangan, sedikitnya tentu puteri kepala suku!”

“Hemm, selain gagah perkasa ternyata engkau juga amat pandai mengenal orang. Aku Silani, puteri kepala suku Khitan di daerah ini. Dan engkau sendiri, siapakah? Engkau seperti bukan orang Khitan, akan tetapi engkau pandai bahasa kami dan pakaianmu sangatlah indahnya. Engkau seorang bangsawan, ya? Aku pernah melihat bangsawan-bangsawan yang datang berkunjung kepada ayahku. Ayahku adalah Khalaban, kepala suku yang terkenal gagah perkasa.”

“Engkau pun pandai menduga. Aku adalah seorang pangeran kerajaan Ceng, namaku Pangeran Tao Seng.”

Gadis itu nampak terkejut. “Ahhh, seorang pangeran?” Matanya bersinar-sinar. “Betapa gagahnya!”

“Ahaa, benarkah itu? Benarkah engkau menganggap aku tampan dan gagah? Aku pun melihat engkau sebagai seorang gadis yang cantik jelita dan amat gagah, Silani. Betapa akan amat mudahnya bagiku untuk jatuh cinta padamu.”

Mendengar ucapan itu, Silani tersenyum lebar. Bagi seorang gadis suku Khitan seperti dia, tidaklah aneh mendengar pernyataan cinta seorang pria secara demikian terbuka.

“Ahh, benarkah?”

“Kenapa tidak benar? Aku berani bersumpah, Silani!”

Mereka berdiri saling berhadapan dalam jarak satu meter, saling pandang, dan sinar mata mereka saling bertemu dan bertaut, penuh ketegangan dan kebahagiaan.

Betapa anehnya cinta antara pria dan wanita. Pria pada umumnya akan jatuh cinta karena kecantikan atau kepribadian si wanita. Akan tetapi wanita lain lagi. Ia dapat saja jatuh cinta karena kagum, karena iba, karena hutang budi, atau karena rayuan walau pun ketampanan wajah dan kepribadian juga memegang peran penting.

Silani merasa berhutang budi, sudah diselamatkan dari ancaman maut, ini saja sudah merupakan penolong baginya untuk jatuh hati. Apa lagi ditambah pengetahuan bahwa pria itu adalah seorang pangeran besar dari kerajaan yang besar, seorang pria yang tampan dan gagah perkasa yang dapat membunuh ular besar dengan sekali bacokan pedangnya, pria yang pandai pula merayu. Maka anehkah kalau ia seketika jatuh cinta kepada Pangeran Tao Seng?

Cinta pertama pada pandangan pertama memang berkesan dalam di hati. Tentu saja gadis Khitan yang sederhana jalan pikirannya ini sama sekali tidak tahu bahwa pria di depannya itu akan jatuh cinta kepada wanita mana pun asalkan wanita itu cantik jelita dan dapat dirayunya!

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dan Silani bagaikan sadar dari mimpi.

“Ah, itu ayahku dan para pengawal datang ke sini!” katanya sambil melangkah beberapa tindak mundur menjauhi Pangeran Tao Seng.

Sepuluh orang penunggang kuda, dikepalai oleh seorang kepala suku Khitan yang tinggi kurus datang dan berlompatan turun dari kuda masing-masing. Kepala suku Khitan yang tinggi kurus itu adalan Khalaban, ayah Silani. Melihat puterinya bercakap-cakap dengan seorang pemuda asing dan di situ terdapat seekor bangkai ular besar, Khalaban segera lari menghampiri puterinya dan menegur.

“Silani, kenapa engkau mendahului kami masuk hutan ini? Dan ular itu, apa yang telah terjadi? Siapa pula pemuda ini?” tanyanya dengan tak sabar.

“Ayah, tadi aku mengejar seekor kijang. Akan tetapi mendadak aku diserang ular besar ini yang menjatuhkan diri dari atas pohon. Kalau tidak ada pemuda ini yang menolongku membunuh ular, tentu sekarang ini anakmu sudah berada di dalam perut ular itu!”

Khalaban yang berusia lima puluh tahun ini tentu saja terkejut bukan main mendengar kata-kata puterinya, akan tetapi juga gembira bahwa puterinya dapat diselamatkan.

“Ahhh, syukur bahwa engkau selamat, Silani. Lalu, siapakah pemuda gagah yang telah menolongmu ini?”

“Ayah tentu tIdak akan pernah dapat menduganya! Ayah, pemuda ini adalah seorang pangeran kerajaan Ceng. Namanya Pangeran Tao Seng!”

Mendengar hal ini, Khalaban lebih terkejut lagi dan cepat-cepat ia membungkuk dengan sikap hormat.

“Pangeran, sungguh kami berterima kasih sekali bahwa Paduka telah menyelamatkan puteri kami, dan maafkan, karena tidak tahu maka kami bersikap kurang hormat.”

Tao Seng tertawa. “Ha-ha-ha, Paman, kenapa menggunakan banyak peraturan? Secara kebetulan sekali aku bertemu dengan puterimu yang cantik dan gagah, dan kebetulan pula aku dapat menolongnya ketika ular itu menyerangnya. Tidak perlu berterima kasih, Paman.”

“Khalaban nama saya, Pangeran. Dan kami persilakan Paduka untuk singgah di tempat perkampungan kami agar kami dapat menjamu Paduka menjadi tamu kehormatan kami dan juga untuk menghaturkan terima kasih kami.”

“Baik, Paman. Memang aku pun ingin berkenalan lebih jauh dengan Silani.”

“Jadi engkau mau berkunjung ke kampung kami, Pangeran? Aihh, aku gembira sekali!” kata Silani dengan sikap akrab.

Melihat sikap ini, Khalaban merasa gembira sekali, akan tetapi ada seorang pemuda Khitan di antara rombongan itu yang memandang dengan alis berkerut dan mata jalang bersinar tak senang.

Pemuda ini seorang pemuda Khitan yang bertubuh tinggi besar, wajahnya tampan dan gagah serta penampilannya nampak kokoh dan kuat. Seorang jantan dan memang dia merupakan jagoan di antara para muda Khitan, mahir ilmu bela diri terutama sekali ilmu gulat.

Di antara para muda, pemuda bernama Kalucin ini memang dianggap sebagai seorang yang memiliki harapan besar untuk mempersunting Silani, puteri kepala suku dan juga menjadi kembangnya para dara di antara mereka. Kini, melihat Silani nampak akrab dengan seorang pemuda asing, pangeran pula, tentu saja timbul perasaan tidak senang dan cemburu besar di dalam hati Kalucin.

Kata orang, cemburu adalah kembangnya cinta. Hal ini memang tidak dapat disangkal selama cinta kasih itu berdasarkan nafsu. Cinta nafsu selalu membuat yang mencinta ingin memiliki, ingin menguasai yang dicintai, seperti seseorang yang menyukai sebuah benda yang amat berharga. Tidak ingin disentuh orang lain, apa lagi dimiliki orang lain.

Itulah cemburu yang mendorong agar orang yang dicinta menjadi miliknya pribadi, tanpa diganggu orang lain. Dan cinta kita pada umumnya seperti itu. Cinta kasih yang hanya berdasarkan nafsu!

Demikian pula cinta dalam hati Kalucin terhadap Silani. Dia ingin Silani menjadi miliknya sendiri. Sekarang melihat ada pria lain mendekati gadis itu, bahkan ada kecenderungan berhubungan akrab, hatinya dipenuhi perasaan cemburu yang mendalam.

Bagi Khalaban sendiri, tentu saja dia merasa girang sekali kalau puterinya bergaul akrab dengan seorang pangeran. Pangeran kerajaan Ceng yang besar dan jaya, tampan dan gagah pula. Bahkan lebih dari itu, pangeran itu telah menyelamatkan nyawa puterinya. Kalau saja puterinya dapat menjadi isteri seorang pangeran, alangkah senang hatinya!

Pangeran Tao Seng dijamu dengan hormat dalam sebuah pesta yang meriah. Tentu saja Tao Seng gembira sekali, apa lagi disuguhi tari-tarian Khitan yang menggairahkan. Ketika Silani sendiri tampil sebagai seorang primadona dalam tarian itu, kekagumannya terhadap Silani semakin bertambah.

Di tengah makan minum itu, dengan beraninya Tao Seng bertanya kepada Khalaban, “Paman, kalau boleh aku mengetahui, apakah Silani telah bersuami?”

“Ah, belum, Pangeran. Sudah banyak yang datang meminang, akan tetapi anak saya itu memang keras kepala. Ia selalu menolak sehingga kini usianya sudah sembilan belas tahun dan ia belum menikah.”

“Ahhh... apakah sudah ada calon suaminya?”

Sejenak Khalaban teringat akan Kalucin, akan tetapi segera dilupakannya pemuda itu. Kalau saja dibandingkan dengan Pangeran Tao Seng, tentu saja Kalucin kalah dalam segala-galanya. Kalucin memang seorang pemuda hebat, dan tentu dia akan memilih Kalucin di antara para pemuda Khitan. Akan tetapi dibandingkan dengan Pangeran Tao Seng, Kalucin laksana seekor burung merak dibandingkan dengan burung Hong! Kalah segala-galanya!

“Belum, Pangeran. Silani belum memiliki calon suami. Mengapa Paduka menanyakan hal itu?” Dia memancing.

“Ehemmm... jika sekiranya Paman setuju, aku suka sekali kepada Silani dan aku ingin mengawini dia.”

“Tentu saja kami setuju sekali, tentu saja kalau Silani juga mau. Dan saya kira ia juga setuju, lihat saja sikapnya terhadap Paduka.”

Mereka memandang ke arah Silani yang masih menari dan benar saja, pandang mata Silani ditujukan kepada Tao Seng dan gadis itu tersenyum-senyum kepadanya, senyum yang manis sekali!

“Akan tetapi, Paman. Karena aku adalah seorang pangeran putera mahkota yang kelak akan menggantikan ayah menjadi kaisar, aku tidak boleh menikah begitu saja. Oleh karena itu, aku ingin menikah dengan Silani di sini. Apakah Paman setuju?”

Mendengar bahwa pangeran ini adalah seorang pangeran mahkota yang nantinya akan menjadi kaisar, Khalaban nyaris berjingkrak menari saking girangnya. Puterinya menjadi permaisuri kaisar dan dia menjadi ayah mertua kaisar!

“Setuju, Pangeran. Kami setuju sekali. Dan pernikahan itu dilangsungkan lebih cepat lebih baik. Oya, sekarang ini semua rakyat saya sedang berkumpul, sebaiknya kalau saya menggunakan kesempatan ini untuk mengumumkan pertunangan itu!”

Tao Seng tersenyum. “Paman lupa untuk bertanya dulu kepada Silani, apakah ia setuju ataukah tidak?”

“Baik, akan saya tanyakan sekarang juga, Pangeran!”

Khalaban lalu menggapai ke arah puterinya yang sedang menari. Silani menghentikan tariannya dan menghampiri ayahnya.

“Silani, dengar baik-baik. Pangeran Tao Seng ini seorang putera mahkota calon kaisar, dan beliau ini meminang engkau untuk menjadi isterinya. Bersediakah engkau menikah dengannya?”

Wajah gadis itu berubah kemerahan dan mulutnya tersenyum malu-malu. “Aihh, Ayah...! Bagaimana Ayah sajalah, aku hanya menurut saja!” katanya sambil berlari dan duduk di belakang ayahnya.

Khalaban tertawa bergelak, kemudian memberi isyarat dengan tangan agar para penari menghentikan tarian mereka dan juga musik dihentikan. Dan setelah suasana menjadi tenang, Khalaban lalu berdiri dan mengangkat kedua tangan ke atas sebagai isyarat bahwa dia hendak mengumumkan sesuatu dan supaya semua orang mendengarkan dengan tenang.

“Saudaraku semua, aku hendak menyampaikan sebuah pengumuman penting sekali. Pada malam hari ini, Pangeran Mahkota Tao Seng dari kerajaan Ceng telah meminang puteriku Silani dan kami pun sudah menerima pinangan itu. Mulai saat ini mereka telah bertunangan, sedangkan pesta pernikahan akan dilaksanakan secepat mungkin dalam beberapa hari ini!”

Rakyat Khitan yang berkumpul dalam pesta itu serentak bersorak dan bertepuk tangan menyambut pengumuman itu. Akan tetapi tiba-tiba seorang pemuda berdiri dan berseru dengan suara mengguntur. “Kami protes...!”

Melihat bahwa pemuda itu adalah Kalucin, Khalaban mengerutkan alis. Dengan marah dia membentak, “Kalucin apa maksudmu dengan protes itu?” katanya mengancam.

“Maaf, paman Khalaban. Sudah menjadi adat kebiasaan bangsa kita semenjak turun menurun bahwa seorang calon suami harus mampu melindungi calon isterinya, maka setiap calon suami harus menunjukkan kegagahannya. Apa lagi sekarang yang dipinang adalah puteri paman Khalaban sendiri sebagai ketua suku kita. Jika Pangeran Tao Seng meminang Silani, dia harus membuktikan bahwa dia cukup berharga untuk menjadi pelindung Silani dan mampu mengalahkan aku dalam kegagahan! Pangeran Tao Seng, aku menantangmu untuk mengadu kekuatan dan kepandaian membela diri!”

“Kalucin! Berani engkau bersikap seperti ini?!” bentak Khalaban.

Akan tetapi Tao Seng segera bangkit sambil tersenyum, lalu berkata kepada Khalaban. “Paman, ucapannya tadi memang benar sekali. Baiklah, aku akan melayaninya, harap Paman menjadi saksi saja.”

Lalu Tao Seng melangkah lebar menuju ke tengah ruangan di mana tadi dipergunakan untuk menari. Di situ memang dibangun sebuah panggung yang agak tinggi sehingga tadi semua orang dapat melihat para penari. Tao Seng menggapai kepada Kalucin.

“Namamu Kalucin? Ke sinilah, aku memenuhi tantanganmu!”

Semua orang terheran-heran dan menjadi tegang. Mereka semua mengenal Kalucin sebagai seorang pemuda yang amat kuat dan pandai berkelahi, terutama sekali pandai dalam ilmu gulat. Kalau hanya dikeroyok tiga empat orang saja, sukarlah mengalahkan pemuda ini. Dan pangeran yang kelihatan halus itu kini menerima tantangan Kalucin!

Kalucin sendiri merasa kagum saat pangeran itu menerima tantangannya. Sikap ini saja sudah mendatangkan kekaguman dan membuat dia menghormatinya. Dia melompat ke atas panggung dan melangkah menghampiri. Setelah berhadapan Kalucin lalu memberi hormat.

“Maafkan sikap saya ini, Pangeran. Oleh karena ini merupakan tradisi lama kami, maka saya berani menantang Paduka.”

“Sudahlah, Kalucin. Katakan saja bagaimana kita hendak mengadu kepandaian, dengan senjata atau dengan tangan kosong?”

“Ini hanya sekedar mengadu ilmu untuk menentukan siapa yang lebih kuat, bukan saling membunuh, Pangeran. Maka cukup dengan tangan kosong saja. Dan siapa pun yang terbanting roboh, dia dinyatakan kalah. Bagaimana, apakah Paduka setuju?”

“Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa orang Khitan ahli gulat, maka engkau mengajak aku untuk saling banting. Bagaimana kalau engkau roboh bukan karena terbanting namun terkena pukulan atau tendangan? Apakah itu juga dianggap kalah?” Tao Seng bertanya sambil terus tersenyum.

“Tentu saja. Roboh terbanting atau karena terkena tendangan dan pukulan sama saja, tetap dianggap kalah!” jawab Kalucin tegas

“Baik kalau begitu, nah, aku sudah siap. Engkau boleh mulai.”

Menghadapi pangeran yang sikapnya begini tabah, sudah ada rasa hormat dan suka di hati Kalucin. Sikap orang ini begitu gagah. Kalau tenaganya kuat dan pandai berkelahi, memang dia pantas untuk menjadi suami Silani, pikirnya.

“Pangeran, Paduka adalah seorang tamu, sebaiknya kalau Paduka menyerang terlebih dahulu,” kata Kalucin dengan sikap merendah.

Tao Seng juga suka kepada pemuda ini. Tahulah dia bahwa pemuda ini mencinta Silani maka berani bersikap seperti itu. Akan tetapi pada dasarnya, dia seorang pemuda yang gagah perkasa dan baik budi.

“Baiklah, aku akan menyerangmu. Lihat tendangan!”

Tao Seng melakukan tendangan dengan kaki kiri. Akan tetapi dengan sigapnya Kalucin mengelak ke kanan, kemudian tangannya meluncur cepat hendak menangkap kaki yang menendang itu. Sekali saja kaki itu tertangkap tentu dengan mudah Pangeran Tao Seng akan dapat dijatuhkan.

Akan tetapi Tao Seng adalah seorang ahli silat yang lihai. Dia maklum akan maksud lawan, maka dia sudah cepat-cepat menarik kembali kakinya dan kini tangannya yang mengirim tamparan bertubi-tubi ke arah tubuh lawan.

Dan Kalucin segera terdesak hebat. Pemuda ini harus menangkis dan mengelak ke sana sini kalau tidak mau terkena tamparan kedua tangan pangeran itu. Dia membalas dengan usaha menangkap tangan itu, dan kalau ada kesempatan, dia menubruk untuk menyergap tubuh sang pangeran, akan tetapi gerakan Tao Seng terlalu lincah baginya. Sebaliknya, beberapa kali tamparan pangeran itu mengenai sasaran. Akan tetapi tubuh Kalucin memang kuat bukan main dan kebal sehingga tamparan-tamparan itu seperti tidak terasa olehnya.

Pertandingan itu sudah berjalan hampir seperempat jam. Sekarang Pangeran Tao Seng menganggap sudah cukup lama untuk memberi muka kepada lawannya. Dia tidak ingin cepat menjatuhkan lawan. Dia ingin mengawini Silani, akan tetapi tak ingin bermusuhan dengan Kalucin. Setelah menganggap cukup, dia membiarkan tangan kirinya ditangkap Kalucin!

Kalucin girang sekali dan semua orang memandang tegang karena maklum bahwa jika Kalucin sudah dapat menangkap tangan lawan, maka di saat lain tentu lawan itu akan terbanting keras ke atas lantai! Kalucin sudah membalik dan memutar tubuhnya untuk membuat tangan Tao Seng terpuntir dan dibanting.

Namun tiba-tiba jari tangan Tao Seng bergerak menyentuh pundaknya dengan totokan dan seketika juga Kalucin tidak mampu menggerakkan kedua tangannya lagi. Dan pada saat itu, Tao Seng memutar tubuhnya dan kakinya menyabet kedua kaki Kalucin. Tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kalucin lalu ambruk dan jatuh ke atas lantai dalam keadaan telentang!

Tao Seng membangunkan Kalucin sambil membebaskan totokannya. Setelah kembali berdiri, Kalucin segera membungkuk dalam-dalam untuk memberi hormat dan mengakui kekalahannya di bawah sorak sorai dan tepuk tangan para penonton.

Yang agak menyakitkan hati Kalucin adalah melihat betapa Silani juga bertepuk tangan penuh semangat. Tahulah dia bahwa Silani sudah jatuh cinta kepada Tao Seng dan hal ini mengobati hatinya. Jika Silani sudah jatuh cinta kepada pangeran itu, mau apa lagi? Juga pangeran itu ternyata gagah perkasa dan dia harus mengakui kekalahannya. Ahh, bukan hanya Silani perempuan di dunia ini, dia menghibur hatinya.

Menerima kenyataan dan menerima keadaan adalah suatu sikap yang amat bijaksana. Orang akan dapat melalui keadaan yang bagaimana hebat dan sengsara sekali pun kalau memiliki sikap seperti itu. Menerima kenyataan yang ada dan menerima keadaan tanpa tenggelam ke dalam duka. Bukan berarti lalu berhenti dan jatuh, melainkan tetap berusaha hanya tidak tenggelam ke dalam duka dan putus harapan.

Kalau orang bersikap menerima kenyataan, maka akan timbul saja harapan-harapan baru dan dapat memetik hikmah dari setiap keadaan yang betapa buruk pun! Menerima kenyataan ini berarti iman yang sepenuhnya kepada Tuhan. Maklum bahwa segala sesuatu ditentukan oleh Tuhan, karena itu tidak ada yang perlu dan patut dikeluhkan lagi. Melainkan menengadah, menerima kenyataan dan menyerah kepada kekuasaan Tuhan dengan penuh keikhlasan. Beginilah sikap seorang bijaksana dan sikap seperti ini akan membebaskan kita dari belenggu duka

.

Beberapa hari kemudian, dilangsungkanlah pernikahan antara Pangeran Tao Seng dan Silani. Pernikahan dilangsungkan dengan meriah sekali. Seluruh rakyat suku Khitan di daerah itu ikut berpesta gembira. Pesta diadakan selama sehari semalam. Akan tetapi yang paling merasa berberbahagia adalah sepasang mempelai. Tidak ada kebahagiaan melebihi dua orang yang paling mencinta dipertemukan dalam sebuah pernikahan.

Pangeran Tao Seng adalah seorang pemuda yang amat berpengalaman dalam merayu wanita. Maka setelah Silani menjadi isterinya, wanita ini pun seperti mabuk kebahagiaan pengantin baru. Mereka seolah tak terpisahkan walau sesaat pun. Ke mana pun mereka berdua dan selalu berkasih-kasihan.

Silani bukan hanya berbahagia karena mempunyai suami yang tampan gagah dan amat mencintanya, akan tetapi juga berbahagia karena dia membayangkan betapa kelak dia menjadi seorang permaisuri kaisar. Benarkah pengakuan Tao Seng bahwa dia adalah seorang putera mahkota yang kelak menggantikan kaisar?

Sebetulnya tidaklah demikian. Hanya karena pandainya Tao Seng bicara saja maka dia dapat mengelabui Silani dan ayahnya, Khalaban. Dia memang benar putera dari Kaisar Cia Cing yang baru saja menggantikan Kaisar Kian Liong, tapi sama sekali bukan putera mahkota. Bahkan Kaisar Cia Cing belum mengangkat putera mahkota karena baru saja dia menjadi kaisar.

Juga andaikan kelak Kaisar Cia Cing mengangkat seorang di antara puteranya menjadi pangeran mahkota, tentu bukan Tao Seng yang diangkatnya karena Tao Seng hanyalah putera seorang selir dan berketurunan Khitan pula. Tao Seng mengaku demikian hanya demi gengsi saja, agar diterima lamarannya menjadi suami Silani. Padahal, andai kata dia tidak berbohong sekali pun tentu dia akan diterima pula karena mempunyai mantu pangeran saja sudah merupakan kehormatan besar bagi Khalaban.

Selama tiga bulan pengantin baru itu setiap hari hanya berkasih-kasihan. Kadang kala mereka ditemani oleh Kalucin yang dianggap sebagai sahabat baik oleh Pangeran Tao Seng. Kadang mereka berburu bertiga saja. Dan Kalucin kini sudah tidak iri lagi. Dia menganggap Silani sebagai adiknya sendiri dan dia ikut merasa gembira betapa Silani hidup berbahagia bersama Pangeran Tao Seng.

Setelah tinggal di situ selama tiga bulan, pada suatu hari Tao Seng berpamit dari mertua dan isterinya untuk kembali ke selatan. Silani menangis hendak ikut suami tercinta.

“Jangan sekarang, isteriku. Pertama, engkau tentu belum dapat diterima dengan resmi dan tidak diperbolehkan memasuki istana. Dan kedua, engkau sedang mengandung, tak baik melakukan perjalanan jauh dan sukar. Kelak, apa bila aku sudah melapor kepada ayahanda kaisar dan sudah mendapat perkenan beliau, engkau tentu akan kujemput ke istana. Juga menanti sampai anakmu terlahir.”

Oleh karena alasan yang dikemukakan Pangeran Tao Seng masuk akal, akhirnya Silani dapat menerimanya. Juga ayahnya membujuk agar menaati pesan suaminya.

“Kalucin, selama aku pergi, harap kau jaga baik-baik isteriku yang kau anggap sebagai adikmu sendiri.”

“Jangan khawatir, Paduka,” jawab Kalucin dengan tulus.

“Akan tetapi, Pangeran suamiku. Sebelum engkau pergi, aku ingin terlebih dulu engkau memenuhi janjimu untuk mengajak aku pesiar ke lautan. Aku ingin sekali pergi melihat lautan seperti yang kau janjikan, naik perahu layar mengarungi samudera luas!” Silani merengek dan karena memang dia sudah berjanji di waktu berpengantinan, Pangeran Tao Seng akhirnya tidak dapat menolak permintaan itu.

Mereka bertiga, Pangeran Tao Seng, Silani dan ditemani Kalucin segera berangkat ke pesisir utara. Mereka melakukan perjalanan santai saja, menggunakan kereta supaya dapat cepat dan tidak terlalu mengganggu kesehatan Silani yang sedang mengandung dua bulan.

Setelah tiba di pantai lautan, Tao Seng menyewa sebuah perahu layar dan dengan pertolongan seorang nelayan mereka pun pergi berlayar. Bukan main girangnya hati Silani. Selamanya belum pernah ia melihat lautan dan kini ia dapat berlayar mengarungi samudera yang amat luas itu.

Mereka telah cukup jauh meninggalkan pantai. Selagi Tao Seng hendak memerintahkan tukang perahu untuk kembali ke daratan, tiba-tiba air bergelombang dengan hebatnya. Tukang perahu merasa heran dan terkejut bukan main. Tiada badai, angin pun biasa saja, bagaimana mendadak timbul gelombang demikian hebatnya?

Untuk menjaga agar supaya perahu tidak terbalik, tukang perahu menggulung layar dan mengemudikan perahu sedapat mungkin. Kemudian terdengar suara menggelegar dan mereka semua melihat air laut mengeluarkan busa yang mengepulkan uap dan asap panas.

Air bergelombang lebih hebat dan tiba-tiba, di depan mata mereka, kurang lebih satu mil jauhnya, muncul sebuah benda hitam yang amat besar. Makin lama semakin besar dan ternyata itu adalah sebuah pulau! Sebuah pulau yang lahir begitu saja dari permukaan laut. Mungkin terjadi di letusan gunung berapi di bawah laut, mungkin di dasar laut itu timbul perubahan yang luar biasa dari letusan gunung yang akhirnya melahirkan sebuah pulau!

Gelombang lautan sedemikian hebatnya mengguncang perahu. Tukang perahu segera memperingatkan tiga orang penumpangnya agar mengikat pinggang mereka pada tiang layar agar tidak terlontar keluar.

Tao Seng mengikat pinggang isterinya dan Kalucin pada tiang perahu sedangkan dia lalu mengikat pinggangnya sendiri pula. Demikian pula tukang perahu yang masih tetap memegang kemudi. Perahu terguncang ke kanan kiri, kadang-kadang dilambungkan ke atas. Seandainya mereka tidak mengikat pinggang mereka dengan tiang, tentu mereka sudah terlempar keluar dari perahu.

Mereka merasa tersiksa. Silani muntah-muntah, bahkan Kalucin juga muntah-muntah. Pangeran Tao Seng hampir putus asa, merasa bahwa kematian sudah di depan mata. Suara menggelegar bagaikan letusan masih terdengar berulang-ulang. Banyak perahu nelayan yang berkeadaan sama dengan mereka, bahkan ada yang sudah terguling dan penumpangnya entah bernasib bagaimana.

Akhirnya gelombang yang amat ganas itu mereda dan letusan pun tidak terdengar lagi. Gelombang tidak sehebat tadi, tinggal sisanya saja. Dan pulau itu baru lahir itu nampak lengkap sudah. Sebuah pulau yang kehitaman.

Tukang perahu melepas ikatan dari pinggangnya, demikian pula Tao Seng dan Kalucin. Tao Seng melepaskan pula ikatan di pinggang Silani yang segera merangkulnya sambil menangis. Tao Seng memeluk dan menghiburnya.

“Ya Tuhan, pulau itu...!” Tukang perahu tiba-tiba berseru.

Tao Seng menoleh. Ia melihat pulau itu biasa saja. Akan tetapi tukang perahu terbelalak memandang pulau itu. Mulutnya berkemak kemik tanpa suara seperti orang berdoa.

“Paman, kenapakah dengan pulau itu?”

“Itu... seperti Pulau Es.... yang dahulu dikabarkan tenggelam. Bentuknya sama benar, hanya ini tidak ditimbuni es!”

Tao Seng sudah pernah mendengar akan dongeng mengenai Pulau Es, bahkan sudah mendengar pula akan Keluarga Pulau Es yang terdiri dari orang-orang yang sakti. Akan tetapi dia tidak mempedulikannya lagi, melainkan menyuruh tukang perahu agar cepat mengembangkan layar dan kembali ke pantai.

Baru setelah perahu meluncur dengan lajunya ke pantai dan laut tidak bergelombang lagi, Pangeran Tao Seng bertanya lebih lanjut tentang pulau itu kepada tukang perahu, didengarkan pula oleh Silani dan Kalucin.

“Kalau melihat bentuknya, tidak salah lagi. Pulau yang baru muncul itu agaknya Pulau Es yang dulu dikabarkan lenyap ditelan air. Di daerah ini terdapat tiga pulau yang amat ditakuti para nelayan. Pertama Pulau Neraka yang sekarang masih ada, Pulau Nelayan yang juga masih ada. Kedua pulau itu kosong akan tetapi amat gawat karena selain sukar didekati, terdapat banyak batu karang yang tajam, juga kabarnya dihuni binatang-binatang buas, dan ada kabar desas-desus mengatakan bahwa kedua pulau itu bahkan dihuni oleh makhluk-makhluk halus seperti jin dan iblis. Tadinya Pulau Es lenyap, dan sekarang muncul lagi, entah pertanda apa itu. Pulau Es juga ditakuti nelayan, karena merupakan pulau larangan. Sudahlah, tak baik membicarakan pulau-pulau itu.” Tukang perahu mengakhiri ceritanya dan perahu pun sudah tiba di pantai.

Pangeran Tao Seng, Silani dan Kalucin segera pulang kembali ke perkampungan Khitan yang bercampur pula dengan bangsa Mongol. Setelah memenuhi permintaan isterinya untuk bertamasya ke laut, akhirnya Pangeran Tao Seng meninggalkan isterinya, diantar sampai ke luar perkampungan oleh Silani sambil menangis.

Setelah pangeran yang menunggang kuda itu lenyap dari pandangannya dan derap kaki kuda sudah tidak terdengar lagi, barulah Silani pulang sambil menangis dan mendekap sebatang pedang bengkok yang berbalut emas. Pedang bengkok ini adalah pemberian suaminya, sebatang pedang kesukaan Tao Seng yang mendapatkannya dari barang rampasan bangsa Kazak pada waktu pasukan kerajaan menundukkan suku Kazak yang membuat kerusuhan di Barat Laut.

Malam itu, suaminya menyerahkan pedang bengkok bersarung emas dihias permata itu sambil berkata kepadanya.

“Isteriku, pedang ini kutinggalkan bukan hanya sebagai kenang-kenangan, melainkan juga sebagai tanda bahwa yang membawa pedang ini adalah keluargaku. Kelak, kalau anak kita lahir pria, aku minta agar engkau beri nama Keng Han, Tao Keng Han. Akan tetapi kalau terlahir wanita, boleh engkau pilihkan nama yang baik untuknya. Dan kalau engkau atau anak kita datang ke kota raja memperlihatkan pedang ini, pasti orang akan membawa pembawa pedang ini datang kepadaku.”

Demikianlah pesan suaminya, maka Silani tidak pernah memisahkan pedang itu dari sisinya. Pedang itu baginya seolah menjadi pengganti diri suaminya. Dengan adanya pedang itu, hatinya agak terhibur, seolah-olah pedang itu merupakan kunci pintu yang akan membuka perpisahan antara ia dan suaminya, yang akan mempertemukan ia dan suaminya…..

********************

Kembalinya Pangeran Tao Seng disambut dengan sangat gembira oleh keluarga istana. Pangeran itu sudah merantau selama setahun, maka ketika dia kembali dalam keadaan sehat, bahkan nampak lebih dewasa dalam penampilan, keluarganya, terutama ibunya tentu saja menjadi gembira dan bangga sekali.

Dan Pangeran Tao Seng sendiri merasa semakin yakin bahwa dia tentu akan diangkat menjadi putera mahkota oleh Ayahnya, Kaisar Cia Cing. Meski dia seorang putera selir, akan tetapi di antara putera kaisar dialah yang merupakan putera sulung, sedangkan yang lebih tua darinya semua adalah puteri. Dan dia pun mendengar dari ibunya bahwa ayahnya memang sudah mengambil keputusan untuk mengangkat seorang putera mahkota dalam waktu dekat ini.

Kerajaan Ceng-tiauw kini mengalami penurunan. Banyak pemberontak yang tadinya sudah ditundukkan oleh Kaisar Kian Liong, sekarang mulai bangkit lagi. Kerajaan Ceng tidaklah begitu jaya seperti di jaman kakeknya, yaitu Kaisar Kang Hsi (1663-1722).

Walau pun selama pemerintahannya, Kaisar Kiang Liong (1736-1796) selalu sibuk untuk memadamkan pemberontakan, namun dia sudah berhasil dengan baik dan kekuasaan kerajaan Ceng bersinar sampai jauh ke barat dan utara. Tetapi semenjak pemerintahan dipegang oleh Kaisar Cia Cing, pemberontakan banyak bermunculan, terutama sekali pemberontakan di dalam negeri.

Para pemberontak yang paling gigih antara lain ialah Pek-lian-pai (Partai Teratai Putih), Pat-kwa-pai (Partai Segi Delapan) dan masih banyak lagi. Thian-li-pang yang terkenal pula sebagai partai atau perkumpulan para pendekar perkasa mulai bergerak karena para pendekar ini pun merasa tidak senang dengan pemerintahan Ceng yang mereka anggap sebagai pemerintahan bangsa Mancu yang menjajah negeri dan bangsanya.

Dalam keadaan seperti itu, Kaisar Cia Cing lalu mulai memilih seorang putera mahkota dengan maksud agar jangan terjadi perebutan di dalam istana antara keluarga sendiri. Dan dia memilih pangeran urutan ke tiga, yaitu putera permaisuri. Pangeran Tao Kuang, sebagai putera mahkota.

Begitu hal ini diumumkan, para pangeran lain segera menerimanya, kecuali dua orang pangeran. Yang pertama adalah Pangeran Tao Seng sebagai putera pertama dan yang kedua adalah Pangeran Tao San sebagai putera ke dua. Kedua pangeran ini kemudian mengadakan pertemuan dan mereka memaki-maki ayah mereka sendiri yang dikatakan tidak adil dan pilih kasih.

“Si Tao Kuang itu bisa apakah? Mentang-mentang dia putera permaisuri, dia diangkat menjadi putera mahkota. Akan tetapi ibunya juga seorang wanita biasa, dari rakyat jelata, hanya putera seorang panglima saja. Dia lebih muda dariku, sepatutnya sebagai putera sulung akulah yang diangkat menjadi putera mahkota!” Tao Seng memaki-maki dengan marah ketika dia bersama Tao San mengadakan pertemuan di kamar rahasia.

“Benar tidak adil! Dia melangkahi engkau dan juga aku, Toako!” kata Tao San dengan nada suara penasaran. “Bagaimana pun kita harus bertindak untuk menentang ketidak adilan ini!”

“San-te, apa yang mampu kita lakukan untuk menentang keputusan ayahanda Kaisar? Menentang kehendak beliau sama saja dengan pemberontakan yang akan membuat kita celaka. Satu-satunya jalan hanyalah menyingkirkan Tao Kuang dari muka bumi, akan tetapi hal ini jangan sampai ada yang menduga bahwa kita yang melakukannya.”

“Pikiran yang bagus!” kata Tao San girang. “Apa rencanamu, Toako?”

Pada saat itu muncul seorang thaikam (lelaki kebiri) utusan kaisar yang mempersilakan mereka berdua menghadap kaisar yang memanggil semua puteranya. Ketika dua orang pangeran itu mendengar perintah ini, tentu saja mereka terkejut sekali.

Mereka baru saja membicarakan tentang rencana mereka menyingkirkan Pangeran Tao Kuang dan tahu-tahu kaisar memanggil mereka. Akan tetapi dengan wajah tenang saja mereka mengikuti thaikam itu pergi ke dalam dan menghadap kaisar. Ternyata para pangeran lain juga sudah berkumpul di situ, termasuk Pangeran Tao Kuang.

“Aku mengumpulkan kalian semua untuk memberi penjelasan mengenai diangkatnya Pangeran Tao Kuang menjadi putera mahkota,” Kaisar mulai berkata.

Semua pangeran mendengarkan sambil menundukkan muka dengan sikap hormat dan taat. Mereka itu seolah mengenakan sebuah topeng menutupi muka masing-masing, topeng ketaatan yang menyembunyikan apa sebenarnya yang menjadi isi hati mereka. Terutama sekali Tao Seng dan Tao San yang saling lirik.

“Aku mengangkat Tao Kuang dengan perhitungan masak. Kulihat para pangeran lain tidak memiliki kebijaksanaan dan bakat untuk kelak menjadi kaisar. Pangeran Tao Seng biar pun sulung, akan tetapi dia suka bertualang dan mengejar kesenangan, maka tidak dapat diharapkan dia menjadi kaisar yang baik. Juga Pangeran Tao San agak pemalas, padahal mengurus negara dibutuhkan orang yang amat rajin. Sebaliknya Pangeran Tao Kuang rajin dan sejak kecil dia suka memperhatikan urusan pemerintahan, maka dialah yang cocok untuk kelak menggantikan aku menjadi kaisar. Nah, kalian semua sudah mengerti?”

Seperti sekelompok burung para, pangeran itu mengangguk dan menyatakan mengerti.

“Dan kuharap tidak akan ada yang merasa iri hati. Kelak kalian masing-masing akan mendapatkan kedudukan yang sesuai dengan kemampuan kalian.”

Pertemuan itu dibubarkan. Tao Seng bersama Tao San dengan sengaja mendampingi Pangeran Tao Kuang ketika keluar dari ruangan itu.

“Ehh, Kuang-te, kami harap setelah menjadi putera mahkota engkau tidak mengubah sikapmu terhadap kami,” kata Tao Seng sambil tersenyum.

“Benar! Jangan-jangan Kuang-te akan memandang remeh kepada kami!” kata Tao San.

“Aihh, mengapa kalian dapat berkata demikian?” kata Pangeran Tao Kuang. “Kita tetap bersaudara dan selamanya aku tidak akan mengubah sikap. Bagiku sama saja menjadi putera mahkota atau tidak. Semua ini hanya mentaati kehendak ayahanda Kaisar.”

“Bagus, kami pun hanya bercanda. Ehh, Kuang-te, kami bermaksud untuk pergi berburu ke hutan buatan di luar kota raja. Engkau tentu suka ikut dengan kami seperti biasa, bukan?”

“Tentu saja!” kata Pangeran Tao Kuang gembira. Dia memang suka sekali pergi berburu binatang-binatang di hutan buatan di mana memang dilepas banyak binatang buruan. “Kapan kita berangkat?”

“Aku belum membuat persiapan. Nanti tiga hari lagi kita berangkat. Menurut hitungan, tiga hari lagi cuacanya baik, tidak turun hujan yang akan mengganggu kita,” kata Tao Seng.

Mereka berpisah dan Tao Seng mengajak Tao San berbicara di kamar rahasia. Mereka mengatur siasat untuk menyingkirkan Pangeran Tao Kuang atau membunuhnya dalam perburuan itu. Akan diusahakan supaya pembunuhan itu terjadi secara wajar, dilakukan oleh para pemberontak yang sengaja menyerang mereka di dalam hutan itu.

Mereka akan mempersiapkan satu regu pasukan, tidak terlalu banyak, cukup dua belas orang saja dari pasukan pengawal kepercayaan mereka.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini