PUSAKA PULAU ES : JILID-20
Pangeran Tao Kuang sedang bercakap-cakap dengan Kwi Hong, Kai-ong dan Han Li di ruangan perpustakaan yang luas ketika penjaga melapor akan kedatangan tamu-tamu berkereta itu. Mendengar siapa yang datang berkunjung, Pangeran Mahkota tersenyum dan berseri wajahnya, lalu mengajak mereka semua untuk keluar menyambut.
“Ayo kalian ikutlah, akan kuperkenalkan kepada seorang pangeran adik sepupuku yang menjadi sahabat baikku! Dialah satu-satunya orang di kalangan keluarga kami yang bisa kupercaya sepenuhnya.” katanya kepada Kai-ong dan Han Li.
Ketika mereka tiba di luar, mereka semua melihat tiga orang berada di serambi depan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih yang tampan dan lembut sikapnya, seorang wanita cantik yang agung dan anggun, berusia sebaya dengan pria itu. Dan di belakang mereka berjalan seorang pemuda yang tampan dan gagah.
Begitu melihat mereka, Han Li berubah air mukanya, menjadi kikuk dan salah tingkah karena ia mengenal mereka itu sebagai suami isteri Pangeran Cia Sun dan isterinya, Sim Hui Eng dan putera mereka, Cia Kun. Suami isteri dan putera mereka itu belum lama ini telah datang ke Bukit Naga untuk meminang dirinya yang hendak dijodohkan dengan putera mereka itu!
Begitu pun Kwi Hong. Ketika ia melihat siapa yang datang, kedua pipinya lalu menjadi kemerahan karena ayah bundanya pernah bertanya kepadanya, bagaimana kalau ia dijodohkan dengan putera Cia Sun, saudara sepupu ayahnya. Sudah lebih dari tiga tahun dara ini tidak pernah bertemu dengan Cia Kun dan kini pemuda itu telah menjadi seorang dewasa yang ganteng!
Demikian pula dengan Cia Kun. Dia terheran melihat Han Li berada di situ dan dia juga terpesona melihat Kwi Hong yang kini demikian cantik jelita.
Pangeran Cia Sun beserta isterinya juga merasa heran melihat Han Li. “Ehh, bukankah engkau Yo Han Li? Bagaimana bisa berada di sini?”
Sebelum Han Li dapat menjawab, Pangeran Tao Kuang berkata sambil tertawa, “Bagus, kiranya kalian sudah saling mengenal sehingga tidak perlu kuperkenalkan lagi.”
“Akan tetapi siapa Locianpwe ini? Kami tidak mengenalnya.”
“Ah, Paman ini adalah seorang tokoh yang terkenal di dunia kang-ouw, Dinda Pangeran. Tentu engkau pernah mendengar akan julukan Kai-ong, bukan?”
“Bukankah Kai-ong Lu Tong Ki?” tanya Pangeran Cia Sun.
“Benar, dia dan muridnya, nona Han Li, menjadi tamu kehormatan kami. Paman Lu, ini adalah Pangeran Cia Sun yang dahulu sering bertualang di dunia kang-ouw.”
Pangeran Cia Sun dan pengemis tua itu saling memberi hormat.
“Nah, mari kita semua masuk ke dalam dan bicara di sana!” kata Pangeran Tao Kuang dengan ramah.
Mereka semua diajak masuk ruangan tamu yang luas dan sejuk karena di ruangan itu terdapat banyak jendela sehingga hawa dapat masuk dengan leluasa.
“Kanda Pangeran, kedatangan kami untuk menjenguk Kanda karena kami mendengar bahwa Kanda baru saja diserbu orang-orang yang hendak membunuh. Kami bersyukur sekali mendengar bahwa Kanda Pangeran terlepas dari bahaya maut.”
“Benar, Adinda Pangeran. Semua ini adalah jasanya Tao Keng Han dan nona Souw Cu In yang membongkar rencana pemberontakan dan pembunuhan itu. Karena kami telah mengetahui lebih dulu, maka kami sekeluarga dibantu Paman Lu dan muridnya Han Li yang telah bersiap-siap. Juga penjagaan oleh pasukan dilakukan dengan ketat. Dengan ayahanda Kaisar pun demikian. Bahkan sepasang pendekar itu pun menyamar sebagai pengawal pribadi Kaisar.”
“Ahh, kami merasa gembira sekali mendengar itu, Kanda. Untuk itu, biarlah kuucapkan selamat dan menyulangi Kanda dengan tiga cawan arak!”
Karena di situ memang sudah dipersiapkan dan disediakan arak, maka kedua orang pangeran, diikuti yang lain minum tiga cawan arak.
“Bagaimana pun juga, kalau tidak ada bantuan nona Yo Han Li dan gurunya, tetap saja kami terancam bahaya maut. Mereka berdua yang bisa menandingi pihak pemberontak itu.”
Cia Sun tersenyum memandang kepada Han Li. “Tentu saja. Han Li adalah puteri Si Tangan Sakti Yo Han dan isterinya Si Bangau Merah Tan Sian Li. Apa lagi sekarang menjadi murid Kai-ong! Tentu ilmu kepandaiannya menjadi luar biasa sekali!”
“Aihh, Paman Cia terlalu memujiku, membuat aku merasa malu saja.”
“Li-moi, ayahku hanya berkata sebenarnya, mengapa harus malu? Dan aku percaya bahwa Hong-moi sekarang tentu telah menjadi seorang gadis yang lihai pula. Kabarnya Hong-moi menerima pelajaran dari para ahli silat yang menjadi panglima pengawal, berganti-ganti guru sehingga tentu mempunyai banyak macam ilmu silat!” kata Cia Kun sambil memandang adik sepupunya itu dengan sinar mata penuh kagum.
Pemuda ini sudah mendengar dari ayahnya bahwa pinangan mereka atas diri Han Li ditolak secara halus oleh orang tua gadis itu, maka dia tidak mengharapkan lagi dan kini perhatiannya beralih kepada Kwi Hong yang tidak kalah cantiknya dibandingkan Han Li.
“Aih, Kun-ko, engkau pandai memuji orang. Mana aku dapat dibandingkan dengan enci Han Li? Kalau dibandingkan dengan engkau saja aku sudah kalah jauh! Selain Paman Pangeran Cia sendiri memiliki ilmu yang tinggi, Bibi yang menjadi ibumu memiliki ilmu silat yang lebih hebat pula. Engkau tentu telah mewarisi semua ilmunya!”
“Ahh, Ayah dan terutama ibu memang pandai, akan tetapi aku yang bodoh, tidak dapat maju-maju dalam pelajaran ilmu silat,” bantah Cia Kun sambil memandang kepada adik sepupunya itu dengan senyum.
“Kwi Hong, kenapa engkau tidak mengajak Han Li dan Cia Kun untuk bicara di taman? Biarkan kami yang tua-tua bicara di sini,” kata Pangeran Tao Kuang kepada puterinya.
“Ah, taman bunga sedang indah karena bunga-bunga sedang mekar, di mana hawanya sejuk sekali. Marilah, enci Han Li dan kanda Cia Kun, kita bermain-main dan bicara di sana!”
Karena ajakan nona rumah ini, Han Li dan Cia Kun tidak dapat menolak dan pergilah tiga orang muda itu ke taman bunga.
Setelah tiga orang muda itu pergi, bertanyalah Cia Sun kepada Pangeran Tao Kuang, “Kanda Pangeran, sebetulnya apakah yang sudah terjadi? Siapakah yang mendalangi pemberontakan itu?”
Pangeran Tao Kuang menghela napas panjang. “Sungguh memalukan bila dipikir. Yang menjadi dalangnya adalah Tao Seng dan Tao San.”
“Bukankah mereka telah dihukum buang ketika hendak membunuhmu dahulu itu, Kanda Pangeran?” tanya Cia Sun.
“Benar, akan tetapi hukuman mereka telah habis. Mereka lalu kembali ke kota raja dan menyamar sebagai orang-orang hartawan. Kita mengetahui akan hal itu, akan tetapi mendiamkan saja. Bagaimana pun juga mereka adalah saudara-saudara kita dan pada kenyataannya hukuman bagi mereka sudah habis. Akan tetapi sungguh tidak disangka sama sekali, diam-diam mereka menghimpun kekuatan, mempergunakan datuk-datuk dan tokoh-tokoh sesat untuk membunuh ayahanda Kaisar dan aku sendiri. Dan engkau tahu siapa yang membongkar rahasia mereka?”
“Kakanda tadi sudah memberi tahukan bahwa yang membongkar rahasia itu adalah seorang bernama Tao Keng Han dan nona Souw Cu In.”
“Benar dan tahukah engkau siapa Tao Keng Han itu? Dia adalah keponakan kita sendiri, yaitu putera dari kakanda Tao Seng.”
Pangeran Mahkota Tao Kuang lalu menceritakan betapa Keng Han hendak membunuh dia karena pemuda itu dihasut oleh ayahnya sendiri yang menyamar sebagai Hartawan Ji. Akan tetapi akhirnya pemuda itu dapat disadarkan akan kekeliruannya dan bahwa dia terkena hasutan.
Cia Sun mendengarkan dengan perasaan heran bercampur kagum. “Jadi pemuda itu memusuhi ayahnya sendiri dan membongkar rahasia pemberontakannya kepadamu?”
“Benar. Akan tetapi bukan berarti bahwa dia membenci ayah kandungnya. Dia berbuat demikian sebab melihat bahwa perbuatan ayahnya itu tidak benar. Sekarang dia hendak mencari ayahnya untuk dibujuk pulang ke Khitan. Ibunya adalah puteri kepala suku Khitan.”
Pangeran Cia Sun mengangguk-anggukkan kepalanya. “Benar hebat pemuda itu. Dia tentu seorang pendekar yang besar!”
“Dia memang berjiwa pendekar dan menurut keponakanmu Kwi Hong, ilmu silatnya hebat sekali sehingga dia mampu mengalahkan para datuk sesat. Karena itu maka aku minta agar dia dan nona Souw Cu In yang juga lihai sekali untuk melindungi Kaisar dan tarnyata mereka berhasil merobohkan banyak penjahat yang menyamar sebagai prajurit pengawal, akan tetapi sayang, para datuk yang memimpin penyerbuan itu dapat kabur. Rencana pemberontakan itu keji sekali. Mereka hendak membunuh ayahanda Kaisar dan aku, dan mereka mempersiapkan pasukan di luar dan di dalam kota raja, berhasil pula mempengaruhi seorang panglima. Tujuan mereka, kalau Kaisar dan aku sudah tewas, istana akan dikuasainya dan dengan dalih singgasana kosong dan dia yang berhak duduk sebagai kakakku yang tertua, Pangeran Tao Seng akan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar.”
“Keterlaluan sekali kanda Tao Seng itu. Dan sekarang, apakah dia sudah tertangkap kembali?”
“Belum. Begitu gerakan mereka gagal, dia sudah menghilang entah ke mana. Kini para penyelidik sedang mencarinya dan kalau tertangkap, sekali ini tentu dia akan dijatuhi hukuman mati.”
“Aku dapat menduga siapa datuk-datuk sesat yang dipergunakan para pemberontak itu. Mereka tentu termasuk Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Mereka adalah datuk-datuk yang tersesat, mau melakukan apa saja asalkan pahalanya besar,” kata Kai-ong Lu Tong Ki yang sejak tadi diam saja.
“Hemmm, tiga nama datuk itu sudah terkenal sekali. Kalau hanya menerima upah harta saja tentu mereka tidak mau membantu pemberontakan,” kata isteri Pangeran Cia Sun yang bernama Sim Hui Eng. Wanita ini sudah kenyang dengan pengalaman di dunia kang-ouw, maka ia mengenal pula ketiga orang datuk yang disebutkan tadi. “Kurasa mereka itu mendapatkan janji akan diberi kedudukan tinggi kalau Pangeran Tao Seng berhasil menjadi Kaisar.”
Pangeran Mahkota Tao Kuang mengangguk-angguk. “Dugaan itu memang tepat sekali. Tidak dapat disangsikan lagi, mereka tentu diberi janji yang muluk-muluk.”
“Akan tetapi masih ada satu hal lagi yang sangat mengherankan hatiku, Kanda Tao Kuang.”
“Apa yang kau herankan?”
“Hadirnya Yo Han Li di tempat ini. Kalau Locianpwe Kai-ong tidak aneh berada di sini sebagai tamu karena aku tahu bahwa Kanda Pangeran suka menghargai orang pandai. Akan tetapi Han Li, dia masih terhitung keponakanku sendiri karena ayahnya adalah kakak angkatku. Akan tetapi walau pun demikian, ayahnya itu juga ketua Thian-li-pang yang jelas-jelas merupakan perkumpulan para pejuang yang sewaktu-waktu juga dapat memberontak. Bukankah tersiar berita bahwa para penyerang yang hendak membunuh kaisar itu mengaku orang Thian-li-pang?”
Pangeran Tao Kuang tersenyum. “Berita itu bohong dan yang membongkar rahasianya adalah nona Yo Han Li. Ia tidak mengenal satu pun orang-orang itu sebagai anggota Thian-li-pang, bahkan kemudian diketahui bahwa para penyerang itu adalah orang dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Tadinya aku pun sangat curiga kepada nona Yo, akan tetapi selama ia di sini ia memperlihatkan sikap yang baik sekali, bahkan cocok dengan Kwi Hong. Oleh sebab itu, aku sepenuhnya menanggung bahwa nona Yo tidak berpihak kepada pemberontakan, bahkan ia pun ikut turun tangan melawan ketika gerombolan penjahat itu menyerbu ke istana ini.”
Pangeran Cia Sun mengangguk-angguk, dan Liang Siok Cu, selir Pangeran Tao Kuang yang mendampingi mereka bercakap-cakap, menambahkan, “Menurut penglihatanku, nona Yo sama sekali tidak jahat. Bahkan ia baik sekali, sopan dan ramah. Dengan terus terang dia pernah mengatakan kepada aku dan Kwi Hong, bahwa ayahnya memang pemimpin Thian-li-pang dan berjiwa patriot, tetapi sama sekali tidak membenci keluarga Kaisar. Yang dibencinya adalah penjajahan, dan kini mereka hanya bergerak melindungi rakyat dari penindasan pejabat-pejabat yang menyeleweng atau gangguan gerombolan perampok. Itulah sebabnya mengapa ia mau tinggal di sini menjadi tamu kami, bahkan telah ikut membantu menyelamatkan kami dari serbuan para pembunuh.”
Kembali Cia Sun mengangguk-angguk. “Aku sudah mengenal baik siapa itu Yo Han. Pendekar Tangan Sakti itu memang seorang pendekar tulen yang budiman. Dia hampir tak pernah membunuh orang. Orang-orang jahat hanya dia kalahkan dan dia taklukkan, kemudian diampuni asalkan mau mengubah jalan hidup mereka yang menyeleweng.”
Sementara itu, di taman bunga juga terjadi percakapan yang menarik hati.
“Taman begini indah, hawa pun begini sejuk, sungguh tepat sekali untuk menulis sajak, meniup suling dan menabuh yangkim. Akan tetapi, karena kita belum mempersiapkan peralatannya, bagaimana kalau kita isi dengan mempertunjukkan ilmu silat kita masing-masing?” kata Kwi Hong dengan gembira.
“Bagus!” Cia Kun memuji. “Engkau yang mengusulkan, sebaiknya engkau yang terlebih dulu mulai, Hong-moi!”
“Tidak, sebaiknya kalau enci Han Li yang mulai, mengingat bahwa ilmu silatnya yang paling tinggi di antara kita. Marilah, enci Han Li, bermainlah silat agar membuka mata kami yang bodoh!” kata pula Kwi Hong sambil menarik-narik tangan Han Li.
Han Li tersenyum. “Sudah lajim di mana-mana bahwa pria harus mengalah kepada wanita. Karena kita berdua wanita dan yang pria hanya Kun-ko, maka sepantasnyalah kalau dia mangalah dan bermain silat lebih dulu.”
Kwi Hong bertepuk tangan dan bersorak. “Setuju sekali. Nah, Kun-ko, kalau engkau menolak berarti engkau seorang laki-laki yang tidak bijaksana, tidak mau mengalah terhadap wanita!”
Menghadapi serangan Kwi Hong ini, Cia Kun menyeringai dan tidak mampu membantah lagi. “Baiklah aku akan mengalah. Aku mainkan ilmu pedang yang kupelajari dari ibuku.”
Kwi Hong bertepuk tangan. “Wah, tentu hebat sekali!”
Cia Kun lalu mengeluarkan sebatang pedang dari punggungnya dan mencabut sebuah kipas putih dari pinggangnya, kemudian dia berkata sambil tersenyum. “Ibuku biasanya memainkan pedang di tangan kanan dan sebuah kebutan di tangan kiri. Oleh karena aku tidak memainkan kebutan seperti seorang pendeta, ibu lalu mengganti kebutan itu dengan kipas. Nah, aku mulai, akan tetapi harap jangan ditertawakan!”
Cia Kun lalu melompat ke bagian yang luas dekat kolam ikan dan mulailah dia bermain pedang dan kipas. Gerakannya cepat dan indah sekali, seperti orang menari-nari dan terdengar suara berdesing dari pedangnya. Kipasnya melakukan totokan-totokan yang cepat dan kuat, kadang dikembangkan untuk menangkis serangan lawan.
Pemuda itu memainkan ilmu pedangnya yang sebanyak tiga puluh enam jurus itu, lalu berhenti. Lehernya sedikit berkeringat namun pernapasannya biasa saja, tanda bahwa dia sudah menguasai ilmu itu dengan baik dan dapat mengatur pernapasannya ketika berlatih tadi.
Kwi Hong bertepuk tangan, diikuti oleh Han Li. Dan Han Li berkata, “Sungguh kiam-hoat (ilmu pedang) yang bagus!”
“Aihh, Li-moi, jangan memuji di mulut akan tetapi menertawakan di hati!” kata Cia Sun sambil menyimpan kembali pedang dan kipasnya.
“Siapa menertawakan, Kun-ko?” Tiga tahun yang lalu, ketika engkau dan orang tuamu datang berkunjung engkau juga memperlihatkan ilmu silatmu, akan tetapi sungguh jauh bedanya dengan yang kau mainkan tadi. Dalam waktu tiga tahun saja ilmu silatmu telah maju pesat sekali.”
“Terima kasih atas pujianmu, Li-moi.”
“Haiii, kalian ini agaknya sudah lama berkenalan,” kata Kwi Hong sambil memandang wajah kakak misannya.
“Tentu saja!” jawab Cia Kun sambil tersenyum. “Bahkan Han Li ini boleh dibilang adikku sendiri. Ayahku dan ayahnya adalah saudara angkat!”
“Ah, pantas saja kalian demikian akrab. Nah, enci Han Li, sekarang tiba giliranmu untuk menunjukkan kepandaianmu!” kata Kwi Hong dengan gembira. Tadi ia merasa bangga dan kagum sekali melihat ilmu pedang yang dimainkan oleh kakak misannya.
“Ihh, apakah engkau tidak mengenal lagi sopan santun, adik Kwi Hong. Engkau adalah nona rumah dan aku hanya tamu, maka sudah selayaknya kalau nona rumah memberi contoh lebih dulu, baru aku sebagai tamu mengikutinya!”
“Wah, kiranya yang lihai bukan hanya ilmu silatmu, enci. Han Li. Engkau lihai sekali berdebat dan bicara. Baiklah, sebagai nona rumah aku harus mengalah. Akan tetapi berjanjilah bahwa kalian berdua tidak mentertawakan ilmu pedangku.“
“Mana mungkin kami menertawakanmu? Kami percaya bahwa ilmu pedangmu tentu hebat sekali. Hayolah, adik Hong, perlihatkan kehebatan pedangmu!”
“Hong-moi, aku tadi sudah mengalah bermain pedang lebih dulu, maka kini engkau tidak dapat menolak lagi,” Cia Kun juga membujuk.
“Baiklah, boleh lihat baik-baik ilmu pedangku yang jelek dan dangkal.”
Kwi Hong lalu meloncat ke tempat dekat kolam tadi sambil mencabut pedangnya. Cepat sekali gerakan mencabut pedang itu sehingga seperti bermain sulap saja, tahu-tahu pedang sudah berada di tangan kanannya. Ia memberi hormat dengan kedua tangan di dada terhadap dua orang penontonnya dan mulailah ia bermain silat pedang Ngo-heng Sin-kiam (Pedang Sakti Lima Unsur), yaitu ilmu silat yang secara kebetulan dia temukan bukunya di perpustakaan istana kaisar.
Dan kedua orang penontonnya tertegun. Hebat memang ilmu pedang itu, mengandung tenaga keras tetapi kadang lembut, kadang cepat dan kadang lambat. Dan Kwi Hong memainkannya dengan gerakan yang indah sekali.
Kini Yo Han Li yang merasa kagum. Belum pernah ia menyaksikan ilmu pedang seperti itu. Akan tetapi, kalau dibandingkan dengan ilmu pedang yang dimainkan Cia Kun tadi, jelas bahwa ilmu pedang yang dimainkan Kwi Hong ini lebih lihai. Juga Cia Kun kagum bukan main. Ilmu pedang itu tidak pernah dilihatnya, namun gerakannya demikian kuat dan cepat.
Setelah Kwi Hong menghentikan permainan pedangnya, Cia Kun dan Han Li langsung menyambutnya dengan tepuk tangan.
“Kiam-hoat itu sungguh hebat sekali!” kata Han Li.
“Wah, Hong-moi, kalau aku tahu bahwa ilmu pedangmu demikian hebat, aku tadi tidak akan berani memperlihatkan kebodohanku. Aku mengaku kalah!” kata Cia Kun sambil menghampiri adik misannya itu.
“Kalian berdua terlalu memujiku!” berkata Kwi Hong sambil menyapu dahi dan lehernya yang berkeringat itu dengan sapu tangan. “Sekarang aku minta enci Han Li yang memperlihatkan kepandaiannya.”
“Karena kalian tadi bermain pedang, biarlah aku pun menggunakan pedang,” kata Han Li sambil mencabut pedangnya. Pedang itu tipis dan tidak begitu panjang.
Setelah memberi hormat kepada dua orang penontonnya, Han Li mulai menggerakkan pedangnya. Mula-mula gerakannya lambat saja, akan tetapi makin lama semakin cepat sehingga tubuhnya lenyap tergulung sinar pedang. Pedang itu mengeluarkan angin dan kadang sinarnya membubung ke atas, lalu mencuat ke kanan kiri. Kalau sinar pedang itu mencuat ke atas, maka jatuhlah daun-daun pohon berhamburan! Sungguh ilmu silat yang luar biasa, baru sinar pedangnya saja mampu membuat daun-daun itu berjatuhan!
Cia Kun dan Kwi Hong menjadi bengong menyaksikan ilmu pedang yang dimainkan Han Li. Mereka tidak tahu bahwa itu adalah ilmu pedang Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman), sebuah ilmu pedang dari keluarga Lembah Naga. Mata mereka menjadi silau dan seolah mereka menahan napas saking kagumnya.
Baru setelah gulungan sinar itu lenyap dan nampak Han Li berdiri di situ dengan pedang bersembunyi di lengan kanarnya, mereka bertepuk tangan. Han Li menyimpan pedang dan menghampiri mereka dengan senyum simpul.
“Hebat! Hebat sekali ilmu pedangmu tadi, enci Han Li!” seru Kwi Hong.
“Memang hebat, akan tetapi ilmu pedangmu juga tidak kalah hebatnya, Hong-moi,” kata Cia Kun.
“Ahh, engkau bisa saja memuji orang, Kun-ko!”
“Aku tidak asal memuji. Memang ilmu pedangmu tadi bagus sekali. Tanyakan kepada nona Yo kalau tidak percaya!”
Yo Han Li mengangguk. “Memang hebat ilmu pedangmu tadi. Aku tidak pernah melihat ilmu pedang seperti itu. Apa namanya ilmu pedangmu itu, adik Kwi Hong?”
“Ilmu pedang itu kudapatkan secara kebetulan sekali. Pada saat aku mencari-cari buku bacaan di kamar perpustakaan istana, aku menemukan sebuah kitab lama yang sukar dibaca. Aku lalu minta tolong kepada para sastrawan di istana dan akhirnya mengetahui bahwa isinya adalah ilmu pedang yang namanya Ngo-heng Kiam-sut. Nah, aku pun lalu mempelajarinya.”
“Hebat sekali. Ilmu itu tentu peninggalan orang sakti dan engkau beruntung sekali dapat menemukannya, adik Kwi Hong.”
“Jangan terlalu memujiku, enci Han Li. Ilmu pedangmu tadilah yang sangat hebat. Apa sih namanya?”
“Itu adalah Koai-liong Kiam-sut yang kupelajari dari ibuku.”
“Dari kitab kuno dapat mempelajari ilmu pedang yang demikian kuat dan indah? Engkau sungguh seorang gadis yang cerdik dan tekun, Hong-moi. Aku sungguh merasa kagum sekali!” tiba-tiba Cia Kun berkata sambil memandang wajah gadis itu. Wajah Kwi Hong menjadi kemerahan.
“Ahh, Kun-ko. Sudahlah, jangan memuji-muji aku terlalu tinggi. Jangan-jangan kepala ini nanti membesar dan meledak karena bangga!” kata Kwi-Hong sambil tersenyum.
Cia Kun juga tertawa dan dia beradu pandang dengan Kwi Hong. Dari pandang mata ini mereka dapat mengetahui bahwa keduanya saling tertarik. Han Li melihat gelagat ini.
Tadinya Cia Kun menyatakan suka kepadanya, bahkan ayah dan ibunya sudah datang meminangnya. Akan tetapi karena ayah ibunya tidak menyetujui pinangan itu, agaknya Cia Kun tidak lagi mengharapkannya dan memindahkan perhatian kepada Kwi Hong.
Mereka memang pasangan yang sangat cocok, keduanya anak pangeran, sama-sama berdarah bangsawan. Oleh karena itu, ia pun tidak ingin hadir terus di situ yang hanya akan merupakan gangguan bagi mereka.
“Ahh, kepalaku agak pening rasanya. Maafkan aku, adik Kwi Hong, aku permisi dahulu untuk rebahan di kamarku.”
“Ahhh, tentu saja, Enci Han Li. Apakah engkau sakit? Jangan-jangan masuk angin.“ Kwi Hong mendekatinya dan meraba dahi Han Li, “Perlukah kupanggilkan tabib?”
“Ah, tidak usah, adik Kwi Hong, terima kasih. Aku hanya merasa pening dan lelah. Ingin mengaso.”
“Kalau begitu baiklah, enci Han Li, aku akan bercakap-cakap dengan Kun-ko di sini.”
Han Li lalu pergi dari situ. Setelah agak jauh dia mendengar suara Kwi Hong dan Cia Kun. Keduanya tertawa-tawa dengan gembira.
“Semoga mereka berbahagia,” katanya dalam hati sambil memasuki gedung istana itu untuk menuju ke kamar yang disediakan untuknya.
“Nah, kebetulan sekali, Hong-moi. Kini kita ditinggalkan berdua saja. Aku memang ingin menyampaikan perasaan hatiku setelah bertemu denganmu. Sudah sekian lama tidak saling bertemu dan tadi begitu melihatmu, jantungku berdebar tidak karuan. Kini engkau sudah menjadi gadis dewasa yang cantik seperti bidadari dan juga tangguh seperti seorang pendekar wanita. Aku merasa kagum sekali, Hong-moi.”
“Wah, pujianmu terlalu muluk, Kun-ko. Aku hanya seorang gadis biasa, mana mungkin disamakan dengan bidadari?” Kwi Hong lalu tertawa dan Cia Kun juga tertawa. Inilah yang didengarnya oleh Han Li sebelum ia masuk ke dalam istana.
“Sungguh, Hong-moi. Aku tidak main-main. Di dalam istana ayahku ada sebuah patung Dewi Kwan Im, dan kulihat engkau mirip patung itu, lebih elok malah.”
“Aku kau samakan dengan Kwan Im Pousat? Ngaco! Engkau terlalu memujiku, padahal engkau sendiri seorang pemuda yang gagah dan tampan sekali. Tentu banyak gadis puteri istana yang tergila-gila padamu.”
“Entahlah, aku tidak memperhatikan mereka. Tidak ada seorang pun puteri istana yang dapat menyamai engkau, Hong-moi. Karena itulah, aku akan mohon kepada ayah ibuku untuk meminangmu sebagai calon isteriku.”
“Ihh! Jangan bicara soal perjodohan, Kun-ko.” Kwi Hong membalikkan diri dan mukanya menjadi merah sekali. Cia Kun mengitarinya dan menghadapinya.
“Engkau marah, Hong-moi? Maafkan kelancanganku kalau begitu. Akan tetapi sebelum ayah bundaku melamarmu, aku ingin lebih dahulu mengetahui darimu, apakah hatimu sudah ada yang punya? Kalau engkau tidak setuju, katakan saja sekarang agar orang tuaku tidak usah melamar kalau kemudian kau akan menolaknya. Maka itu, katakanlah, bagaimana kalau ayah bundaku melamarmu?”
Kwi Hong merasa terharu sekali. Ia memang pernah jatuh cinta pada seorang pemuda, dan pemuda itu adalah Keng Han. Akan tetapi ternyata bahwa Keng Han adalah kakak sepupunya, satu marga sehingga tidak mungkin sekali mereka menjadi suami isteri.
Sekarang Cia Kun menyatakan cintanya. Ditanya seperti itu, tentu saja sukar baginya untuk menjawab. Di dalam hatinya, ia pun kagum dan suka kepada Cia Kun. Seorang pemuda bangsawan, putera pangeran yang terkenal berbudi, seorang pemuda yang juga tidak lemah, karena ibunya seorang pendekar wanita yang berilmu tinggi. Mau apa lagi?
“Hong-moi, jawablah. Jangan biarkan aku dalam keraguan yang akan menyiksa hatiku. Aku tidak akan merasa sakit hati andai kata engkau menolakku. Aku hanya ingin adanya kepastian dan jawablah selagi kita hanya berdua di sini.”
“Ahhh, Kun-ko... urusan begituan... kuserahkan saja kepada ayah dan ibuku. Mari kita kembali kepada mereka.“
Dan tanpa menanti jawaban Kwi Hong lalu berlari masuk, disusul oleh Cia Kun. Pemuda ini merasa gembira bukan main. Dia tahu bahwa kalau seorang gadis setuju dipinang, ia pasti akan mengatakan seperti yang dikatakan gadis itu, yaitu menyerahkan kepada orang tuanya. Kalau tidak setuju, pasti terus terang dikatakan tidak setuju!
Ketika Cia Kun dan Sim Hui Eng melihat putera mereka kembali dari taman bersama Kwi Hong dan wajah pemuda itu berseri serta matanya bersinar-sinar, mereka sudah dapat menduga. Apa lagi saat melihat Kwi Hong malu-malu duduk sambil menundukkan mukanya!
Mereka berpamit dan diantar oleh Pangeran Tao Kuang dan selirnya sampai ke pintu depan. Dengan hati gembira dan tidak sabar lagi, Cia Kun lalu menceritakan kepada ayah bundanya bahwa dia telah menyatakan cintanya kepada Kwi Hong dan agaknya gadis itu tidak berkeberatan. Maka dia minta kepada ayah ibunya untuk meminang gadis itu.
Cia Sun dan isterinya gembira mendengar berita ini karena mereka tentu setuju sekali kalau mempunyai menantu puteri Pangeran Mahkota. Mereka berjanji akan melakukan pinangan secepat mungkin…..
********************
Bi-kiam Niocu Siok Bi Kiok melakukan perjalanan seorang diri. Berulang kali ia menarik napas panjang karena hatinya murung dan kecewa sekali. Sampai usianya yang dua puluh dua tahun, dia belum pernah merasa jatuh cinta terhadap seorang pria. Apa lagi akibat penekanan dari subo-nya bahwa semua pria adalah jahat dan palsu, dia bahkan membenci kaum pria.
Dan karena ia seorang gadis yang berwajah cantik, maka tentu saja dalam perjalanan ia banyak digoda pria yang mengakibatkan pria-pria itu tewas terbunuh olehnya. Akan tetapi sejak ia bertemu Keng Han, entah bagaimana ia benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu.
Ilmu kepandaian dan watak serta ketampanan wajah pemuda itu membuatnya tergila-gila. Bahkan saking cintanya, ia lalu menjadikan pemuda itu sebagai muridnya dan ikut membantunya menghadap Dalai Lama.
Akhirnya ia pun minta pemuda itu agar suka menjadi suaminya, walau pun maksud ini bertentangan dengan ajaran subo-nya. Ia berani menentang maut demi cintanya kepada pemuda itu. Akan tetapi pemuda itu menolaknya.
Sakit sekali rasa hatinya. Ingin dia membunuh pemuda itu, akan tetapi kembali hatinya kecewa karena ternyata dia tidak mampu mengalahkan Keng Han, bahkan sebagian rambutnya putus di tangan pemuda itu. Rasa sakit hatinya bertambah.
Apa lagi ketika Keng Han mengakui bahwa dia mencintai Cu In yang berwajah cacat dan buruk! Dari pada memilih dirinya yang cantik jelita, pemuda itu malah memilih gadis yang cacat wajahnya! Hal ini amat menyakitkan dan mengecewakan hatinya dan kini ia pergi ke Bu-tong-pai untuk menghibur diri dan melihat apa yang terjadi di sana.
Pada suatu hari tibalah ia di kota Hue-nam. Kota ini cukup besar dan Niocu memasuki pintu gerbang kota itu. Karena hari telah senja, ia hendak melewatkan malam di kota itu. Mulailah dia mencari rumah makan yang juga merupakan penginapan. Setelah melihat rumah penginapan yang dari papan namanya diketahui bernama Losmen Hok-lai, ia lalu masuk ke rumah makan di depan penginapan itu.
Masuknya seorang wanita seperti Niocu, yang cantik jelita dan sendiri pula, tentu saja menarik perhatian banyak orang, terutama para prianya. Kebetulan dalam rumah makan itu maslh terdapat meja yang kosong dan Niocu disambut seorang pelayan serta diajak menuju ke sebuah meja kosong di sudut.
Puluhan pasang mata pria mengikutinya dan memandang dengan kagum. Akan tetapi Niocu tidak mengacuhkan. Sudah biasa baginya melihat mata pria menantapnya penuh kagum. Asal tidak ada yang berucap atau berbuat kurang ajar, ia tidak ambil peduli.
Akan tetapi hatinya tertarik sekali melihat seorang pemuda yang juga duduk seorang diri menghadapi meja. Pemuda itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, berwajah tampan dan gagah, bertubuh tinggi besar, dan wajahnya berbentuk bundar dengan mata yang lebar. Pemuda itu duduk menghadap ke arahnya, akan tetapi pemuda itu bersikap tidak acuh.
Melihat ini hati Niocu menjadi penasaran. Belum pernah dara ini melihat laki-laki yang bersikap acuh tak acuh terhadap kehadirannya. Sekali pun pemuda itu tak memandang kepadanya!
Wanita memang aneh. Diperhatikan orang tidak suka, akan tetapi tidak diacuhkan juga tidak senang dan penasaran. Dengan sengaja Niocu menaruh pedangnya di atas meja sambil agak dibanting untuk menimbulkan suara agar pria di depan itu memperhatikan dirinya.
Akan tetapi pria itu mengangkat muka dan hanya memandang kepada pedangnya di atas meja, sama sekali tidak melirik kepadanya! Padahal semua pria yang berada di rumah makan itu menoleh kepadanya.
Kepada pelayan yang mengantarnya ke meja itu ia lalu memesan masakan yang mahal, juga dengan suara tinggi agar terdengar pemuda di depannya itu. Akan tetapi kembali sang pemuda tidak mengacuhkannya, bahkan mulai makan kacang goreng yang berada di mejanya sambil sesekali minum araknya dari cawan.
Bila pemuda itu tidak mempedulikan Niocu, sebaliknya ada empat orang pemuda yang tidak menyembunyikan kekaguman mereka. Empat orang pemuda ini jelas merupakan pemuda-pemuda bangsawan atau hartawan. Pakaian mereka mewah sekali dan usia mereka rata-rata dua puluh lima tahun.
“Bukan main cantiknya nona itu! Hatiku seketika jatuh!” terdengar seorang di antara mereka berkata, suaranya cukup lantang untuk dapat terdengar oleh Niocu.
“Kasihan ia makan seorang diri, bagaimana kalau kita undang ia makan di meja kita?” kata orang kedua.
“Bagus sekali. Meja kita cukup lebar untuk ditempati lima orang. Akan tetapi bagaimana kalau ia menolak undangan kita dan marah?” kata yang ketiga.
“Hemmm, siapa yang tidak mengenalku, si penakluk wanita? Belum, pernah ada wanita yang menolak undanganku. Kalian lihat saja!” berkata orang keempat, seorang pemuda yang paling pesolek di antara mereka dan memang wajahnya tampan sekali.
Dia lalu bangkit berdiri dan menghampiri meja Niocu. Kepada gadis itu dia memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada. Niocu menghadapinya dengan dingin dan tenang, tidak membalas penghormatan itu.
“Maafkan aku, Nona. Namaku Teng Sin, dan melihat Nona duduk seorang diri, kami berempat merasa kasihan. Maka saya mengundang Nona untuk duduk makan bersama di meja kami. Kami yang akan membayar semua pesanan Nona! Marilah, Nona, kami mengundang dengan hormat!”
Niocu mengerutkan alisnya. Meski pun pemuda itu secara tidak wajar mengundangnya makan bersama, namun ucapannya sopan dan ia masih dapat menahan diri. Pemuda ini tidak kurang ajar, hanya mengundang makan dengan hormat walau pun undangan itu tidak wajar karena mereka tidak saling mengenal.
“Terima kasih. Aku ingin makan sendirian di sini, tidak ingin ditemani siapa pun juga,” jawabnya dingin.
“Aih, Nona. Mengapa Nona menolak undangan kami? Kami bermaksud baik, Nona. Aku Teng Sin selalu memandang tinggi gadis-gadis cantik dan sangat menghargai mereka. Marilah, Nona, harap jangan malu-malu.”
Kalau tadinya Niocu hanya menunduk, kini ia mengangkat muka dan matanya bersinar tajam memandang kepada pemuda itu, mula-mula ke wajah lalu pakaiannya. Pemuda yang tampan dan pesolek, model pemuda-pemuda yang suka mempermainkan wanita.
“Sudahlah, jangan ganggu aku lagi. Cepat pergilah!” kata Niocu, masih dapat menahan kesabarannya. “Pergi atau engkau akan menyesal nanti!”
Akan tetapi mana pemuda itu mau pergi? Dia telah berdiri di dekat Niocu dan melihat betapa cantiknya gadis itu.
“Nona begini cantik seperti bidadari, tentu berbudi mulia seperti bidadari pula dan tidak akan menolak maksud baik kami. Marilah, nona manis, engkau tentu akan mendapatkan kegembiraan makan semeja dengan kami. Kami adalah pemuda-pemuda hartawan dan bahkan di antara kami ada yang menjadi putera jaksa. Engkau akan terhormat kalau memenuhi undangan kami.” Pemuda itu tidak mau kalah dan terus membujuk.
“Hemmm, sudah ditolak masih terus minta-minta dan merengek. Sungguh bermuka tebal dan tidak tahu malu!”
Terdengar suara orang dan ketika semua orang menoleh, ternyata yang bicara adalah pemuda yang makan kacang goreng itu. Niocu juga memandang dan melihat pemuda itu masih makan kacang goreng, akan tetapi kini pandang matanya ditujukan kepada pemuda hartawan itu.
Pemuda hartawan itu menjadi marah sekali dan dengan langkah lebar dia menghampiri pemuda yang mengeluarkan kata-kata mengejeknya tadi.
“Siapa engkau? Berani mencampuri urusanku?” Dan tiga orang pemuda lain juga sudah bangkit berdiri siap mengeroyok pemuda bermata lebar itu.
Akan tetapi pemuda itu hanya tersenyum. Dia lalu mengambil empat biji kacang goreng, dimasukkan ke dalam mulutnya, kemudian dengan tiba-tiba dia menyemburkan empat biji kacang itu dari mulutnya dan empat orang pemuda itu mengaduh sambil meraba pipi mereka. Ternyata semburan kacang itu mengenai pipi mereka dan terasa nyeri bukan main seolah pipi mereka disambar benda keras yang membuat pipi itu lecet dan kulitnya pecah!
Empat orang pemuda itu adalah pemuda-pemuda kaya yang biasanya tidak pernah disentuh orang. Apa lagi di antara mereka terdapat putera jaksa yang membuat mereka berani melakukan apa saja. Kini, melihat ada orang berani menentang mereka bahkan melukai mereka, empat orang pemuda itu menjadi semakin marah.
“Orang lancang dan kurang ajar! Engkau pantas dihukum!” kata mereka dan empat orang itu maju hendak menghajar laki-laki itu.
Kini pria itu menenggak arak dari cawan dan kembali dia menyemburkan arak itu ke arah empat orang yang mengancamnya. Kini empat orang itu terhuyung ke belakang, muka mereka rasanya seperti ditusuk banyak jarum sehingga mata mereka juga sukar dibuka.
Barulah mereka menyadari bahwa pemuda itu seorang yang berilmu tinggi. Mereka menjadi ketakutan dan tanpa dikomando, mereka serentak mundur dan melarikan diri keluar dari rumah makan itu!
Niocu menjadi kagum. Orang itu tentu lihai sekali dan ketika laki-laki itu memandang kepadanya, ia mengangguk dan berkata, “Terima kasih atas bantuanmu.”
Pemuda itu pun mengangguk dan melanjutkan makan minum. Niocu juga makan minum seolah tidak pernah terjadi sesuatu. Pemuda itu selesai makan dan setelah membayar harga makanan, dia keluar lebih dulu. Tidak lama kemudian, Niocu juga selesai makan, membayar harga makanan ia lalu berkata kepada pelayan bahwa ia hendak bermalam di rumah penginapan Hok-lai itu.
Si pelayan segera mengantar Niocu masuk ke dalam dan mendapatkan sebuah kamar di loteng. Kamar itu menghadap ke jalan sehingga dari jendela kamarnya Niocu dapat menjenguk keluar dan melihat lalu lintas di jalan raya yang berada di luar losmen itu.
Baru saja Niocu melepaskan buntalan pakaiannya dan bersiap hendak mandi, tiba-tiba dia mendengar suara ribut-ribut di luar. Cepat ia menghampiri jendela dan menjenguk keluar.
Dan ia melihat betapa tidak begitu jauh dari losmen itu, terdapat seorang pemuda yang dikeroyok belasan orang. Ia segera mengenal pemuda itu sebagai pemuda yang tadi sudah membantunya. Cepat ia turun dari loteng dan keluar.
Pemuda itu memang benar-benar tangguh. Para pengeroyoknya adalah tukang-tukang pukul yang memegang senjata golok dan ruyung, akan tetapi pemuda itu hanya dengan kedua tangan kosong saja melawan mereka, membagi pukulan dan tendangan.
Melihat ini, Niocu tidak sabar lagi dan segera berlari ke tempat itu dan terjun ke dalam perkelahian. Belasan orang itu yang tadinya memang sudah kewalahan mengeroyok si pemuda, kini menjadi kalang kabut diterjang oleh Niocu. Niocu juga tidak menggunakan pedangnya, hanya menggunakan kedua tangan dan kaki saja, akan tetapi dalam waktu singkat ia sudah merobohkan lima orang!
Pemuda itu pun dengan cepat merobohkan beberapa orang. Para pengeroyok menjadi jeri bukan main melihat sepak terjang dua orang yang sedang mereka keroyok. Mereka segera melarikan diri sambil memapah teman-teman mereka yang sudah roboh.
Pemuda itu berhadapan dengan Niocu.
“Terima kasih atas bantuanmu!” katanya sambil mengangguk.
Niocu balas mengangguk dan keduanya lalu pergi karena di situ terdapat banyak orang yang menonton. Niocu kembali ke losmen dan segera mandi serta bertukar pakaian. Akan tetapi sejak tadi dia tidak pernah dapat melupakan pemuda yang tadi dibantunya.
Seorang pemuda yang gagah, pikirnya dan diam-diam ia merasa betapa jantungnya berdebar aneh. Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya. Bukan pemuda mata keranjang, bukan pemuda usil yang suka menggoda wanita. Akan tetapi pemuda itu sungguh gagah dan lihai.
Pada keesokan harinya, Niocu melanjutkan perjalanan menuju ke Bu-tong-pai. Ketika ia tiba di luar kota Hue-nam, ia melihat seorang pria berjalan di depannya, menuju arah yang sama. Meski ia hanya melihat dari belakang, namun hatinya berdebar karena dia mengenal orang itu sebagai pemuda yang kemarin.
Dia mempercepat langkahnya mengejar dan ternyata dugaannya benar. Ia melampaui pemuda itu, pura-pura tidak melihatnya karena rasanya tidak pantas kalau ia sebagai seorang wanita menegur lebih dulu.
“Perlahan dulu, Nona,” terdengar suara pemuda itu.
Niocu menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya. Kini dia berhadapan dengan pemuda itu.
“Ah, kiranya engkau!” katanya dengan wajar.
“Nona, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini. Kalau aku boleh bertanya, Nona hendak pergi ke manakah?”
“Aku hendak pergi ke Bu-tong-san.”
Wajah pemuda tampan itu berseri. “Ah, sungguh suatu kebetulan yang menyenangkan. Aku pun sedang menuju ke Bu-tong-pai, Nona!”
Niocu memandang dengan tajam seolah-olah hendak menjenguk isi hati pemuda itu. “Apakah engkau murid Bu-tong-pai?”
“Sama sekali bukan. Akan tetapi aku mengenal baik ketua Bu-tong-pai dan aku menjadi tamu di sana. Kalau memang engkau hendak pergi ke Bu-tong-san, apa bila Nona tidak berkeberatan, kita dapat melakukan perjalanan bersama. ”Ucapan pemuda itu wajar saja. “Akan tetapi kalau Nona keberatan, aku pun tidak akan memaksa atau kecewa.”
Niocu diam-diam merasa gembira sekali. Ia sudah tertarik kepada pemuda ini dan ingin mengenalnya lebih baik. Ternyata secara kebetulan sekali bertemu di sini dan arah perjalanan mereka ternyata sama!
Tentu saja ia tidak tahu sama sekali betapa sejak pagi sekali tadi, pemuda itu dengan sembunyi sudah mengamatinya dan tahu bahwa dia meninggalkan losmen dan pergi keluar kota. Pemuda itu selalu membayanginya dan ketika melihat ia pergi ke jurusan itu, pemuda itu dengan jalan memutar mendahuluinya!
“Aku hendak ke Bu-tong-pai dan mendengar bahwa di sana akan diadakan pertemuan orang-orang kang-ouw, aku pergi ke sana untuk meluaskan pengalaman. Engkau tentu mengetahui tentang Bu-tong-pai, apakah benar akan ada pertemuan besar di sana?”
“Benar sekali, Nona. Bahkan aku baru pulang setelah mengirim undangan-undangan dari Bu-tong-pai. Aku dimintai bantuan oleh ketua Bu-tong-pai. Dan sekarang, biarlah kami mengundang juga Nona untuk menghadiri pertemuan itu sebagai tamu agung.”
“Aihh, kebetulan sekali kalau begitu.”
“Jadi Nona tidak keberatan kalau melakukan perjalanan bersamaku ke sana?”
“Tentu saja tidak.”
“Terima kasih atas kepercayaan Nona padaku. Nona, namaku Gulam Sang. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama Nona?”
“Namaku Siang Bi Kiok, akan tetapi dunia kang-ouw lebih mengenalku sebagai Bi-kiam Niocu.”
“Ahhh! Jadi Nona yang disebut Bi-kiam Niocu? Sudah lama sekali aku mendengar dan mengagumi Bi-kiam Niocu yang kabarnya pandai sekali menggunakan pedang. Kiranya Nonalah orang itu dan sekarang bahkan aku mendapat kehormatan untuk melakukan perjalanan bersama.”
Melihat kegembiraan pemuda itu Niocu merasa senang. Semua itu begitu wajar dan pemuda ini tidak bermuka-muka.
“Melihat namamu tentu engkau seorang asing. Boleh aku mengetahui dari mana engkau berasal?”
Gulam Sang menjawab cepat. “Memang aku berasal dari Tibet, Nona. Tetapi setelah berada di sini aku tidak merasa sebagai orang asing.”
“Mari kita lanjutkan perjalanan kita sambil bercakap-cakap, saudara Gulam Sang. Ahh, aku harus menyebut apa padamu?“
“Sebut saja namaku tanpa embel-embel, dan aku akan menyebut Niocu kepadamu,” kata Gulam Sang merendah.
“Baiklah, Gulam Sang. Aku melihat betapa hebat kepandaianmu ketika menghadapi empat pemuda di rumah makan dan ketika tadi dikeroyok banyak tukang pukul. Engkau dari perguruan manakah? Dan siapakah gurumu?”
“Guruku hanya satu, yaitu Sang Dalai Lama di Tibet.”
“Aihh, tidak mengherankan kalau begitu. Dalai Lama adalah seorang yang sakti. Aku pernah menghadap dia dan menyaksikan kehebatan ilmunya. Mengapa waktu aku ke sana engkau tidak berada di sana, Gulam Sang?”
“Aku sudah lama sekali meninggalkan Tibet. Sudah lebih dari lima tahun. Tentu aku sudah pergi dari sana ketika engkau menghadap guruku. Akan tetapi, mengapa engkau pergi menghadap guruku, Niocu? Ada keperluan apakah engkau dengan guruku?”
“Ahh, aku sendiri tidak memiliki urusan apa pun dengannya. Akan tetapi aku mengantar seorang kawan bernama Si Keng Han yang mendendam kepada Dalai Lama karena Dalai Lama menyuruh para Lama untuk membunuh gurunya yang namanya Gosang Lama.”
Berdebar jantung dalam dada Gulam Sang. Tentu saja dia telah mengetahui semuanya. Gosang Lama itu adalah ayah kandungnya sendiri yang dihukum mati oleh Dalai Lama karena telah memberontak. Dan dia pun pernah bertemu dengan Keng Han beberapa kali, bahkan pernah bertanding pula melawan pemuda itu yang dia tahu amat lihai. Dan Niocu ini agaknya bersahabat baik dengan Keng Han!
Pada saat itu dia membutuhkan pembantu yang pandai dan begitu bertemu dengan Niocu hatinya tertarik, apa lagi mendengar bahwa nona ini Bi-kiam Niocu yang namanya tersohor. Timbul niat di dalam hatinya untuk memikat gadis ini supaya suka menjadi pembantunya. Setelah menggunakan siasat, akhirnya dia pun dapat berkenalan dengan gadis ini.
“Niocu, sebagai seorang yang mempunyai ilmu kepandaian amat tinggi seperti engkau ini, apakah engkau tidak mempunyai cita-cita untuk masa depan?”
Niocu menoleh sambil terus berjalan. “Cita-cita? Apakah maksudmu? Aku sudah puas dengan keadaanku yang sekarang.”
“Ahh, mana mungkin orang puas dengan keadaannya sekarang? Orang harus memiliki cita-cita untuk memperoleh kemajuan dalam hidupnya.”
Niocu menghela napas. Cita-cita apa? Dia mengharapkan menjadi jodoh Keng Han, tapi ternyata gagal dan ditolak pemuda itu! Dia pun tidak kerasan tinggal di Beng-san, di bekas rumah gurunya yang kini telah mengikuti The Ciangkun, hidup di kota raja!
“Saat ini aku belum mempunyai cita-cita, Gulam Sang. Dan bagaimana dengan engkau? Apakah engkau memiliki cita-cita yang muluk?”
“Tentu saja! Aku bercita-cita membantu gerakan Bu-tong-pai yang sedang berusaha menggulingkan pemerintah Mancu. Kalau gerakan itu berhasil, tentu aku memperoleh kedudukan yang tinggi sebagai pahalaku. Alangkah senangnya kalau aku memperoleh kedudukan tinggi. Aku akan memiliki kekuasaan, harta, juga dihormati dan dimuliakan orang! Apakah engkau tidak ingin seperti itu?”
Niocu diam saja, namun alisnya berkerut dan ia pun membayangkan, mengingat-ingat. Kemudian dia mengangguk. “Kalau bisa demikian, tentu aku akan senang sekali. Aku pun bercita-cita seperti itu, Gulam Sang. Akan tetapi bagaimana caranya?”
“Mudah saja, Niocu. Kalau engkau mau membantu aku, kelak tentu engkau juga akan memperoleh pahala yang besar. Aku yang menanggung itu. Kita bekerja sama dengan Bu-tong-pai serta dengan perkumpulan-perkumpulan lain, mengadakan pemberontakan dan menggulingkan pemerintah Mancu. Nah, mudah saja, bukan? Aku sendiri ingin sekali bekerja sama denganmu. Kawan-kawan lain tentu akan bergembira mendengar bahwa Bi-kiam Niocu mau bekerja sama dengan kami!”
Hati Bi-kiam Niocu semakin tertarik. Dara ini tidak tahu betapa diam-diam Gulam Sang sejak tadi sudah mengerahkan ilmu sihirnya sehingga dalam penglihatan Niocu, Gulam Sang kelihatan sebagai orang yang amat baik hati dan wajahnya amat menarik hatinya.
Mereka melanjutkan perjalanan. Gulam Sang cukup cerdik sehingga dia bersikap sopan sekali terhadap Niocu. Bahkan pada suatu malam yang dingin, ketika mereka terpaksa melewatkan malam di hutan, ketika melihat Niocu seperti orang yang sudah pulas, padahal dia tahu betul wanita itu belum tidur nyenyak, dia melepaskan jubahnya dan dipergunakan untuk menyelimuti Niocu!
Niocu tahu akan hal itu, dan dia diam saja karena cara Gulam Sang menyelimutinya dilakukan dengan sopan, sedikit pun tangan pemuda itu tidak menyentuh kulit tubuhnya. Gulam Sang juga berjaga semalam suntuk untuk menjaga supaya perapian yang dibuat dari api unggun itu tidak sampai padam.
Demikian pula kalau mereka membutuhkan makanan, Gulam Sang selalu mencarikan untuk mereka. Dalam perjalanan bersama ini, Niocu melihat bahwa Gulam Sang lebih memperhatikan dirinya dibanding Keng Han dahulu.
Tanpa kata ia dapat mengerti bahwa Gulam Sang jatuh cinta kepadanya.....
Komentar
Posting Komentar