PUSAKA PULAU ES : JILID-21
Dan bagi Gulam Sang sendiri, Bi-kiam Niocu merupakan tenaga yang sangat penting. Selain gadis ini cantik jelita sehingga dia akan merasa puas dan senang kalau dapat memperisterinya, juga gadis ini memiliki ilmu yang sangat tinggi sehingga dapat menjadi pembantu yang berharga.
Berbeda dengan Liong Siok Hwa yang sekarang menjadi kekasihnya itu. Siok Hwa juga seorang gadis manis, namun masih kalah dibandingkan dengan Niocu. Dan Siok Hwa hanya memiliki ilmu silat rendah saja, tidak banyak gunanya untuk membantunya.
Juga tidak ada orang tahu bagaimana hubungannya dengan Siok Hwa yang kini berada di Bu-tong-pai. Para murid Bu-tong-pai hanya menganggap bahwa Siok Hwa adalah tamu dari ketua mereka dan sahabat dari Gulam Sang!
Saat mereka tiba di Bu-tong-pai, Gulam Sang disambut para murid dengan sikap hormat sebab orang ini merupakan tamu kehormatan ketua mereka. Pernah Thian It Tosu, tentu saja sebagai penyamaran Gulam Sang, memesan kepada para muridnya agar supaya memperlakukan Gulam Sang sebagai tamu terhormat karena Gulam Sang merupakan kenalan dekat dengan Thian It Tosu!
Bi-kiam Niocu sudah mempunyai nama besar, maka orang-orang Bu-tong-pai juga telah mendengar akan kelihaian pendekar wanita itu. Maka semua orang menghormatinya. Oleh Gulam Sang, Niocu diberi sebuah kamar yang bersih dan lengkap.
Ketika Niocu bertanya di mana adanya Thian It Tosu, Gulam Sang menjawab bahwa Thian It Tosu kini lebih sering kali mengurung diri di dalam ruangan bersemedhi dan tak mau diganggu. Pada waktunya dia akan keluar sendiri dari kamar semedhi itu. Sebelum dia keluar, tak seorang pun boleh mengganggunya.
Pada keesokan harinya, benar saja Thian It Tosu keluar dari dalam kamarnya dan murid kepala memberi laporan bahwa keadaan Bu-tong-pai baik-baik saja dan bahwa Gulam Sang telah pulang akan tetapi karena ada urusan ke dusun di kaki bukit, pagi-pagi tadi sudah berangkat meninggalkan Bu-tong-pai!
Dari kalangan Bu-tong-pai hanya Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang mengetahui bahwa Gulam Sang tidak turun gunung, melainkan menyamar sebagai Thian It Tosu yang sekarang ada di hadapan para murid itu. Selain dua orang itu, tidak ada orang lain yang tahu. Dua orang ini berada di bawah tekanan dan ancaman bahwa Thian It Tosu yang asli akan dibunuh kalau mereka membocorkan rahasia.
Orang ke tiga yang mengetahuinya adalah Liong Siok Hwa yang terpaksa mau dijadikan kekasih Gulam Sang. Ia telah ternoda, ayahnya telah tewas dan biar pun bagaimana juga, ia sudah terlanjur jatuh cinta kepada Gulam Sang.
Akan tetapi semenjak Bi-kiam Niocu datang bersama Gulam Sang dan mendapatkan sebuah kamar yang besar, hati Liong Siok Hwa menjadi tidak enak. Gadis itu terlalu cantik untuk tidak dicurigai. Apa lagi melihat sikap Gulam Sang terhadap gadis itu yang begitu manis budi dan menghormat, hati Liong Siok Hwa dipenuhi rasa cemburu yang hebat.
Dia sudah terlalu mengenal Gulam Sang sehingga ia tahu pula bahwa Gulam Sang mencinta gadis yang baru datang itu. Dan sejak kehadiran Bi-kiam Niocu di Bu-tong-pai, Gulam Sang tidak pernah berkunjung ke kamarnya di waktu malam seperti biasanya, seolah Gulam Sang telah lupa kepadanya.
Pada hari yang sudah ditentukan, berdatanganlah para tokoh kang-ouw di Bu-tong-pai. Sebuah panggung didirikan dan dikelilingi kursi-kursi untuk para tamu. Thian It Tosu sendiri sebagai tuan rumah duduk di belakang panggung, didampingi oleh Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu yang merupakan murid-murid kepala dari Bu-tong-pai.
Dua orang murid ini sama sekali tidak berani berkutik, apa lagi membongkar rahasia Gulam Sang karena orang ini telah mengancam akan membunuh guru mereka yang ditahan di ruangan tahanan bawah tanah oleh Gulam Sang dan dijaga siang malam oleh orang-orang Pek-lian-pai yang membantu Gulam Sang.
Di antara para tokoh persilatan yang berkedudukan tinggi, termasuk ketua-ketua partai dan para datuk, hadir pula di situ Pendekar Tangan Sakti Yo Han dan puterinya, Yo Han Li. Han Li telah meninggalkan kota raja bersama gurunya, Kai-ong Lu Tong Ki. Han Li mengatakan kepada Kai-ong bahwa sudah tiba saatnya ia harus pulang ke Bukit Naga, pusat Thian-li-pang.
“Engkau telah menguasai ilmu Tongkat Pemukul Iblis, maka tidak perlu lagi mengikuti aku. Pulanglah, Han Li, dan selalu bersikaplah sebagai seorang pendekar wanita yang menegakkan kebenaran dan keadilan.”
“Apakah Suhu tidak ikut bersama teecu ke Bukit Naga dan bertemu dengan ayah bundaku?”
Lu Tong Ki menggoyang-goyang tangan kirinya. “Bertemu Pendekar Tangan Sakti dan pendekar wanita Si Bangau Merah? Wah, tidak, aku malu sudah mengangkat engkau menjadi muridku.”
“Tidak apa-apa, Suhu. Aku yang menanggung kalau orang tuaku marah kepadamu.”
“Tidak, aku lebih senang merantau dan mencari makanan yang enak-enak. Selamat jalan!” kata kakek itu yang lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan muridnya itu.
Han Li merasa kehilangan. Sudah lama ia hidup di dekat kakek itu, menerima pelajaran Tongkat Pemukul Iblis dan ikut pula makan enak di dapur istana Pangeran Mahkota, bahkan sampai menjadi tamu pangeran itu selama beberapa pekan. Han Li tidak tahu betapa gurunya itu pergi dengan wajah muram dan hati yang merasa sengsara.
Manusia memang sukar membebaskan diri dari pada ikatan-ikatan antara manusia, ikatan dengan harta benda, dengan kedudukan, dengan kepandaian. Segala sesuatu yang menyenangkan segera melekat dan mengikat manusia sehingga dia merasa sedih kalau harus berpisah dengan yang menyenangkan itu.
Han Li pulang dan banyak sekali yang diceritakan kepada ayah bundanya. Juga tentang orang-orang yang hendak membunuh kaisar dan pangeran mahkota, dan orang-orang yang tertangkap hidup itu mengaku bahwa mereka itu orang dari Thian-li-pang, padahal kenyataannya mereka adalah orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
“Keparat!” Yo Han marah sekali. “Kiranya begitu permainan mereka? Mereka melakukan fitnah keji untuk memburukkan nama Thian-li-pang. Jika pemerintah mendengar ini tentu kita akan diserbu pasukan!”
“Harap jangan khawatir, Ayah. Aku sudah menjadi saksi bahwa mereka bukan orang Thian-li-pang karena tidak ada yang dapat mengenali aku dan ketika kurobek baju di dada mereka terdapat tanda-tanda Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai di dada mereka. Baik kaisar mau pun pangeran mahkota melihat sendiri sehingga kita bebas dari tuduhan yang merupakan fitnah itu.”
Han Li kemudian bercerita betapa ia bertemu dengan Kai-ong Lu Tong Ki dan menjadi muridnya mempelajari ilmu Tongkat Pemukul Iblis, dan betapa dengan gurunya itu ia menjadi tamu dari keluarga Pangeran Mahkota.
“Aku melihat sendiri bahwa Pangeran Mahkota sekeluarganya adalah orang-orang yang baik dan dapat menghargai orang-orang gagah.”
Yo Han yang marah kepada Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, ketika mendengar bahwa Thian It Tosu dari Bu-tong-pai mengadakan undangan kepada orang-orang gagah, lalu berangkat dan kini dia ditemani isterinya, Si Bangau Merah serta puterinya.
Nafsu memang menguasai manusia, tidak peduli orang itu kaya atau miskin, pintar atau bodoh. Nafsu yang semula diikut-sertakan manusia agar manusia dapat hidup bahagia, ternyata nafsu yang tadinya hanya menjadi peserta dan alat, sebaliknya malah menjadi majikan manusia. Dalam segala tindakannya, manusia selalu dikendalikan nafsu. Rasa benci, marah, dendam, iri dan sebagainya adalah akibat dari batin yang dikuasai nafsu.
Nafsu menghendaki kesenangan dan kalau kesenangan itu diganggu maka timbullah marah dan benci yang akibatnya melahirkan duka. Sejak jaman dahulu kala sampai sekarang, orang sudah menyadari akan hal ini. Sudah banyak usaha dilakukan manusia untuk mengendalikan nafsu. Melalui agama, bertapa, menyiksa diri dan sebagainya.
Akan tetapi semua itu telah gagal. Kegagalan ini terbukti dari keadaan dunia di jaman dahulu sampai saat ini. Permusuhan terjadi di mana-mana, bukan hanya permusuhan antara negara dan bangsa, bahkan permusuhan antara bangsa sendiri, antara rekan, teman dan bahkan keluarga. Padahal mereka itu semua beragama, semua maklum akan bekerjanya nafsu yang menyeret manusia pada perbuatan jahat dan permusuhan.
Kenapa demikian? Karena pengertian mereka hanya sebatas akal pikiran saja. Padahal, nafsu daya rendah telah menguasai hati dan akal pikiran kita. Dalam keadaan demikian maka hati akal pikiran ini bahkan membela perbuatan-perbuatan kita yang sesat. Kalau dua orang bermusuhan, tentu hati akal pikiran selalu membela diri sendiri sebagai pihak yang benar dan lawannya sebagai pihak yang bersalah!
Bahkan seorang pencuri pun, yang tentu tahu bahwa mencuri itu tidak baik atau jahat, dibela hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu yang lalu mengatakan bahwa manusia mencuri karena kelaparan sehingga mereka membutuhkan uang, karena ini dan itu. Pendeknya, hati akal pikiran membela perbuatan mencuri itu sebagai perbuatan yang tidak jahat.
Karena hati akal pikiran sudah bergelimang nafsu, maka pengertian tidak ada gunanya, tidak dapat mengekang dan mengendalikan nafsu yang sudah menyusup ke dalam diri kita sampai ke tulang sumsum, sampai ke pembuluh darah. Buktinya cukup banyak.
Orang-orang yang katanya berkepandaian tinggi, berilmu, para sarjana dan cerdik pandai banyak yang melakukan tindakan menyimpang dari kebenaran. Ada yang korup, ada yang menyalah gunakan kekuasaannya, dan sebagainya. Ini menunjukkan bahwa pengertian atau kepandaian hati akal pikiran tidak berdaya menghadapi nafsu yang selalu ingin mencari enak, ingin mencari senang dan kepuasan lahir mau pun batin.
Kalau sudah begitu, bagaimana agar kita dapat mengendalikan nafsu? Hanya satu yang dapat mengendalikan nafsu, yaitu Penciptanya. Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu menyingkirkan nafsu, yang mampu mengembalikan nafsu ke tempatnya semula, yaitu menjadi peserta dan pembantu manusia dalam kehidupannya, tidak menjadi majikan dari manusia. Karena itu, jalan satu-satunya bagi kita adalah menyerah kepada Tuhan! Penyerahan yang tulus ikhlas, dengan segala kerendahan hati, dengan tawakal dan kesabaran. Kalau kekuasaan Tuhan yang bekerja, tidak ada lagi hal yang tidak mungkin dilakukan. Kekuasaan Tuhan yang akan membimbing kita dan menundukkan nafsu
.Yo Han, isterinya Tan Sian Li, dan puteri mereka Yo Han Li, berangkat meninggalkan rumah dan pergi berkunjung ke Bu-tong-pai. Semua urusan perkumpulan Thian-li-pang diserahkan kepada para murid kepala untuk bekerja seperti biasa dan menjauhkan diri dari pertikaian dan permusuhan…..
********************
“Cu-wi (Saudara sekalian) yang terhormat tentu sudah mendengar akan berita yang menyedihkan itu, yaitu bahwa bengcu Bhe Seng Kok telah tewas terbunuh orang yang tidak kita ketahui siapa orangnya. Oleh karena kedudukan bengcu sekarang ini sedang lowong, maka pinto (saya) memberanikan diri untuk mengundang Cu-wi berkumpul hari ini di Bu-tong-pai agar dapat melakukan pemilihan bengcu baru!” demikian Thian It Tosu berkata kepada para tamunya.
“Kami setuju...!” Banyak seorang orang berteriak.
Mereka yang berteriak itu adalah orang-orang kang-ouw golongan sesat yang memang sudah diatur terlebih dahulu oleh Gulam Sang. Terutama sekali para tokoh Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, mereka itu tanpa kecuali segera menyambut dengan teriakan setuju.
Tiba-tiba terdengar suara yang nyaring, melebihi suara banyak orang yang menyatakan setuju. “Tunggu dulu!”
Teriakan ini membuat semua orang yang berseru setuju berhenti berteriak dan semua orang menengok ke arah pembicara. Ternyata yang berseru nyaring tadi adalah Yo Han dan pendekar ini melompat naik ke atas panggung di mana Thian It Tosu berdiri.
Melihat ini, Thian It Tosu merangkap kedua tangan di depan dada dan berkata lantang, “Siancai! Kiranya Yo-taihiap yang berseru tadi. Mengapa Taihiap berseru supaya kami menunggu dulu? Apa lagi yang harus ditunggu?”
Yo Han menjawab, suaranya lantang sehingga dapat terdengar semua orang. “Thian It Totiang, di antara kita telah terjalin persahabatan yang erat dan aku Yo Han mengakui bahwa Totiang adalah seorang ketua yang bijaksana dan para murid Bu-tong-pai adalah pendekar-pendekar yang menjadi pembela kebenaran dan keadilan. Akan tetapi akhir-akhir ini telah terjadi perubahan besar di Bu-tong-pai. Totiang tak lagi memegang teguh kependekaran Bu-tong-pai. Seperti dulu, sekarang pun aku dapat melihat orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai di sini! Mereka dan seluruh orang-orang golongan sesat tidak berhak untuk ikut melakukan pemilihan bengcu!”
“Siancai, ucapan Yo-taihiap keterlaluan. Bengcu adalah pemimpin dari dunia kang-ouw, tidak hanya milik orang-orang seperti Yo-taihiap ini. Dunia kang-ouw milik semua orang yang gagah perkasa, ahli-ahli silat di dunia tanpa membedakan golongan,” jawab Thian It Tosu.
“Tidak!” bentak Yo Han. “Semua locianpwe dan sahabat dari dunia kang-ouw pasti tidak menyetujui turutnya golongan sesat dalam pemilihan ini. Terutama sekali Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai! Aku pribadi mempunyai perhitungan dengan kedua perkumpulan sesat itu. Mereka mengirim pembunuh-pembunuh ke kota raja untuk membunuh kaisar dan pangeran mahkota. Hal itu bukan urusan kami, akan tetapi ketika di antara mereka ada yang tertangkap hidup, mereka mengaku sebagai anggota Thian-li-pang. Itu merupakan fitnah yang keji dan sekarang kita kebetulan berkumpul di sini, maka aku tantang para pimpinan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai untuk menyelesaikan urusan denganku melalui pertandingan!” Yo Han memang marah sekali karena nama Thian-li-pang difitnah oleh mereka.
Sesosok tubuh melayang ke atas panggung dan seorang tosu telah berdiri di depan Yo Han sambil tersenyum mengejek.
“Pinto Koai Tosu adalah seorang di antara pimpinan Pat-kwa-pai. Tidak kami sangkal bahwa Pat-kwa-pai mengirim orang-orangnya untuk membunuh Pangeran Mahkota Tao Kuang. Semua pejuang yang menghendaki berakhirnya penjajahan Mancu tentu akan setuju dengan usaha kami itu. Akan tetapi tahukah Cu-wi, apa yang terjadi di sana? Orang-orang kita itu sudah dihadapi oleh puteri Yo-pangcu! Puteri Yo-pangcu membela pangeran mahkota! Dan tahukah Cu-wi apa artinya itu? Artinya bahwa Thian-li-pang telah menjadi antek penjajah!”
“Tutup mulutmu yang kotor!” Yo Han berteriak lantang, memandang Koai Tosu. “Puteri kami berada di sana sebagai tamu, dan sudah wajar kalau tamu membela tuan rumah yang hendak dibunuh. Dulu sudah kukatakan bahwa Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot, akan tetapi kami ingin menumbangkan kekuasaan penjajah bukan dengan cara-cara yang curang dan keji. Justru puteri kami yang mengetahui bahwa orang-orang yang mengaku orang Thian-li-pang itu sebetulnya adalah orang-orang Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.”
“Kami mengaku sebagai orang Thian-li-pang bukan untuk melakukan fitnah, tetapi untuk menggugah semangat perjuangan Thian-li-pang yang kini agaknya menjadi lemah,” kata pula Koai Tosu penuh semangat.
“Cukup! Di sini sekali lagi kukatakan bahwa Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai tidak berhak ikut pemilihan bengcu dan aku menantang kalian untuk menyelesaikan urusan itu lewat pertandingan!” Yo Han berseru dengan tegas.
“Siancai! Agaknya Yo-pangcu menganggap diri sendiri yang paling hebat! Akan tetapi pangcu kami tidak hadir di sini sehingga tidak dapat memenuhi tantangan Yo-pangcu!”
Tiba-tiba Thian Yang Ji, tokoh Pek-lian-pai, juga meloncat dan berdiri di samping Koai Tosu. “Siancai, tantangan Yo-pangcu tidak dapat kami sambut karena ketua kami juga tidak berada di sini. Kalau Yo-pangcu merasa penasaran, boleh datang ke tempat kami agar ketua kami dapat menyambut!” kata Thian Yang Ji.
Melihat dua orang tosu ini, Yo Han sudah menjadi marah sekali.
“Kalian berdua pernah mengerahkan anak buah untuk mengeroyok kami dahulu ketika kami meninggalkan Bu-tong-pai. Kalian menggunakan banyak orang untuk mengeroyok kami. Kalau kalian memang ada kepandaian, kalian berdua boleh mewakili ketua kalian dan sekarang kalian berdua menghadapi aku!”
“Siancai! Pada waktu itu pun sudah ternyata bahwa ketua Thian-li-pang bersekutu dan menjadi antek penjajah. Ketika itu pun muncul pasukan penjajah membantu Yo-pangcu. Apakah Yo-pangcu akan menyangkal hal itu?”
“Sama sekali tidak!” jawab Yo Han. “Tetapi pasukan itu bergerak untuk menyelamatkan nona Tao Kwi Hong, puteri Pangeran Mahkota, bukan untuk membantuku!”
Melihat suasana semakin panas, Thian It Tosu maju untuk melerai. “Sudahlah, tempat ini didirikan untuk pemilihan bengcu, sama sekali bukan untuk berkelahi. Urusan pribadi boleh diselesaikan di tempat lain, bukan di Bu-tong-pai. Kalau Sam-wi (Kalian bertiga) masih menghargai Bu-tong-pai sebagai sahabat, harap pertikaian ini tidak dilanjutkan di sini.”
Yo Han menyadari kebenaran ucapan Thian It Tosu, maka dia pun memberi hormat dan berkata, “Maafkan aku, Totiang. Ucapan Totiang benar dan aku tidak akan memaksa mereka untuk bertanding di sini. Akan tetapi aku tetap tidak setuju kalau yang dipilih itu orang dari golongan sesat!”
Ketika orang-orang membicarakan ucapan Yo Han yang mereka anggap mewakili para pendekar, di sebelah dalam bangunan induk Bu-tong-pai terjadi hal yang menarik. Pada saat semua perhatian ditujukan ke dalam, sesosok bayangan yang cepat seperti seekor burung walet sudah menyelinap masuk ke dalam gedung itu tanpa diketahui seorang pun.
Bayangan ini bukan lain adalah Keng Han. Pemuda ini datang ke Bu-tong-pai bukan tertarik oleh pemilihan bengcu, melainkan dia hendak mencari ayahnya, Pangeran Tao Seng yang disangkanya bersembunyi di Bu-tong-pai.
Di ruangan tengah dia melihat seorang wanita muda sedang dipegangi dua orang pria yang tinggi besar. Wanita itu meronta dan berteriak, “Aku harus membuka kedoknya! Thian It Tosu itu palsu adanya. Dia adalah Gulam Sang!”
Akan tetapi baru saja ia mengucapkan itu, seorang di antara dua orang tinggi besar menggerakkan tangannya, dihantamkan ke tengkuk gadis itu yang lantas terkulai lemas. Tewas seketika!
Keng Han yang bersembunyi tertegun. Dia tidak mengenal siapa adanya gadis itu, juga tidak mengetahui persoalannya. Pula, untuk menolong gadis itu sudah tidak keburu lagi, maka dia diam saja.
Ucapan gadis itu yang membuat dia tertegun. Thian It Tosu adalah Gulam Sang yang menyamar! Jika begitu, di mana adanya Thian It Tosu yang sesungguhnya? Dan wanita itu sudah dibunuh karena membocorkan rahasia itu.
Dia mencari terus, tidak mempedulikan dua orang dan gadis yang dibunuh itu. Setiap kamar dijenguknya, akan tetapi dia belum juga melihat adanya ayahnya di situ. Tiba-tiba nampak seorang murid Bu-tong-pai berjalan, agaknya dia yang bertugas menjaga dalam bangunan itu.
Keng Han menanti sampai bayangan itu mendekat. Dia meloncat, dan menyergapnya dengan totokan sehingga orang itu tidak mampu bergerak atau bersuara lagi.
“Cepat katakan, di mana adanya Thian It Tosu?” katanya sambil membebaskan totokan pada leher orang itu sehingga dapat bicara.
“Suhu? Suhu jelas berada di luar, menyambut para tamu,” kata murid itu dengan heran.
“Dan di mana adanya Pangeran Tao Seng?”
“Tidak ada pangeran di sini!”
Keng Han mengingat-ingat, lalu bertanya, “Apakah di sini ada tempat tahanan rahasia?”
“Ada... ada…”
Keng Han lalu menotok lagi lehernya sehingga orang itu tidak mampu bersuara lagi, lalu melepaskan totokan sehingga kini orang itu mampu bergerak lagi. Dapat bergerak akan tetapi tidak dapat mengeluarkan suara.
“Hayo cepat antarkan aku ke tempat tahanan itu! Awas, kalau engkau meronta atau lari, aku akan membunuhmu!”
Orang itu mengangguk lalu melangkah ke belakang, tangan kirinya dipegang oleh Keng Han. Dia membawa Keng Han ke belakang bangunan dan di taman terdapat sebuah pondok.
“Di sanakah tempat tahanan itu?”
Orang itu menunjukkan ke pondok, lalu ke bawah.
Terpaksa Keng Han kembali membebaskan totokannya pada leher sehingga orang itu dapat bicara lagi. Sebetulnya dia tidak suka melakukan ini karena sekali saja orang itu berteriak, semua usahanya akan gagal! Akan tetapi orang itu sudah menjadi begitu takut sekali sehingga dia tidak berani berteriak.
“Katakan, apakah penjara itu berada di bawah pondok itu?”
“Benar, merupakan penjara rahasia.”
“Bagaimana caranya masuk?”
“Di sana ada arca yang sesudah diputar tiga kali ke kanan, akan terbuka pintu yang menuju ke lorong bawah tanah.”
“Kau tidak berbohong?”
“Tidak, akan tetapi kalau engkau hendak masuk ke sana, engkau akan menempuh bahaya besar. Tempat itu di jaga ketat oleh orang-orang Pek-lian-kauw!”
“Terima kasih! Maaf, terpaksa aku membuatmu tak berdaya sampai aku berhasil keluar lagi.” Kembali jari-jari tangannya bergerak cepat dan orang itu roboh terkulai serta tidak mampu bersuara.
Keng Han menyeret tubuh orang itu, disembunyikan di belakang semak-semak, lalu dia berindap-indap memasuki pondok. Pondok itu kosong dan setelah diperiksanya, benar saja terdapat sebuah arca singa di atas meja. Ia menghampiri arca itu dan memutarnya ke kanan tiga kali, sambil terus waspada karena dia khawatir itu merupakan jebakan. Akan tetapi tidak begitu, karena terdengar bunyi berderit dan di lantai kamar itu terbuka sebuah lubang dengan tangga yang menurun ke bawah.
Keng Han lalu menuruni tangga dengan hati-hati sekali. Ternyata anak-anak tangga itu menembus sebuah lorong yang diterangi oleh lampu-lampu dinding. Ia melangkah maju terus dengan hati-hati dan berhenti ketika mendengar suara orang bercakap-cakap. Dia pun mengintai.
Di depan terdapat lima orang penjaga yang membawa golok di tangan. Agaknya itulah orang-orang Pek-lian-kauw yang berjaga di situ. Keng Han memperhitungkan dengan teliti sebelum bergerak, kemudian secara tiba-tiba dia meloncat ke depan dan kedua tangannya yang bergerak cepat sudah merobohkan dua orang!
Tiga orang yang lain terkejut melihat munculnya seorang pemuda dan robohnya dua orang rekan mereka. Tiga orang itu lalu menyerang dengan golok mereka. Akan tetapi mereka kalah cepat. Dua orang roboh oleh kedua tangan Keng Han sedangkan yang seorang lagi roboh oleh tendangannya. Keng Han cepat menotok lima orang itu agar jangan mampu bergerak mau pun bersuara.
Dia maju terus dan akhirnya dia melihat sebuah kamar tahanan dengan pintu besi dan jendela beruji besi. Ketika dia memandang ke dalam, dia melihat seorang tosu tua sedang bersila dan bersemedhi. Dan tosu itu bukan lain adalah Thian It Tosu yang asli!
“Totiang...!” Keng Han berseru lirih.
Akan tetapi suara itu cukup untuk menggugah tosu itu dari semedhinya dan dia menoleh ke kanan, ke arah ruji jendela. Di sana dia melihat seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya.
“Siapa engkau orang muda?”
“Ssttt, Totiang, saya datang untuk membebaskan Totiang.”
Pendeta itu terkejut dan girang, lalu cepat dia meloncat dari lantai dan berdiri di balik ruji besi.
“Pintu ini terkunci kuat sekali, juga jendela ini agaknya terlalu kuat untuk dijebol,” kata kakek itu.
Keng Han teringat. “Akan saya cari kuncinya!”
Dia lalu menghampiri kelima orang itu dan memeriksa mereka satu demi satu. Akhirnya dia dapat menemukan kuncinya di dalam saku salah seorang di antara mereka. Cepat dia menggunakan kunci untuk membuka pintu besi yang tebal dan berat itu.
Melihat para penjaga menggeletak tak mampu berdaya, tahulah Thian It Tosu bahwa penolongnya seorang pemuda yang berilmu tinggi. Padahal orang-orang Pek-lian-kauw yang berjaga di situ rata-rata merupakan anggota pilihan yang sudah memiliki ilmu silat yang tangguh!
“Ke mana engkau hendak membawa pinto, orang muda? Apakah yang telah terjadi?”
Dengan singkat Keng Han menceritakan. “Gulam Sang telah menangkap Totiang dan menyekap dalam penjara itu. Dan dia sendiri menyamar sebagai Totiang. Dia membawa Bu-tong-pai bersekutu dengan orang-orang sesat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, kemudian dia membawa Bu-tong-pai untuk memberontak, mengirim orang-orang untuk mencoba membunuh Kaisar dan Pangeran Mahkota. Akan tetapi usahanya gagal dan kini dia mengundang para tokoh kang-ouw untuk mencari bengcu baru karena bengcu yang lama sudah terbunuh orang tanpa diketahui siapa yang membunuhnya. Marilah, Totiang. Kita ke sana dan membuka rahasia penyamaran Gulam Sang.”
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu Bi-kiam Niocu telah berada di depan mereka.
“Niocu, kau... di sini?” Keng Han benar-benar terkejut melihat wanita itu.
“Dan engkau pun mau apa berada di sini? Aku di sini sebagai tamunya Thian It Tosu, bukankah demikian, Totiang?”
“Siancai! Pinto tidak pernah bertemu denganmu, Nona.”
“Apa? Baru kemarin dulu Totiang menerimaku sebagai tamu dan sahabat Gulam Sang. Bagaimana baru dua hari Totiang sudah lupa lagi padaku?”
“Niocu, engkau telah ditipu orang! Ketahuilah bahwa aku baru saja membebaskan Thian It Tosu dari penjara bawah tanah.”
“Tapi...tapi Thian It Tosu kemarin dulu benar-benar menerimaku. Aku tidak berbohong, Keng Han.”
“Engkau memang tidak berbohong, melainkan telah dibohongi orang. Thian It Tosu yang kemarin dulu menerimamu itu bukan lain adalah Gulam Sang yang menyamar. Gulam Sang sudah menguasai Bu-tong-pai dengan menyamar sebagai Thian It Tosu dan dia menahan Totiang ini di bawah tanah.”
“Ihhh... rasanya tidak mungkin. Gulam Sang adalah seorang yang baik budi dan gagah perkasa.”
“Hemmm, agaknya engkau sudah melupakan sama sekali nasehat gurumu. Di dunia ini memang terdapat banyak pria yang jahat dan Gulam Sang merupakan seorang yang paling jahat di antara mereka.”
“Benarkah begitu, dapatkah aku percaya padamu, Keng Han?”
“Buktikan saja sendiri. Kami mau keluar untuk membongkar rahasia ini. Mari kau lihat dan dengar sendiri!”
Pada saat itu, Thian It Tosu penyamaran Gulam Sang sedang berdiri di atas panggung dan berkata dengan suara lantang. “Saudara sekalian, bengcu telah dibunuh orang. Untuk menjaga kesatuan dan ketertiban, kita harus memilih seorang bengcu baru. Kalau sudah mendapatkan bengcu yang baru, tentu kita dapat memulai dengan perjuangan kita.”
“Tahan dulu...!”
Terdengar teriakan sangat nyaring dan sesosok bayangan melompat ke atas panggung. Ternyata dia adalah Keng Han. Melihat pemuda ini Gulam Sang merasa terkejut sekali.
“Orang muda, telah kami katakan padamu, bahwa gurumu Gosang Lama itu seorang penjahat dan kami dari Bu-tong-pai terkenal sebagai para pendekar! Engkau muncul lagi mempunyai keperluan apakah?”
Keng Han tidak menjawab, melainkan berpaling kepada semua orang yang hadir.
“Cu-wi, apakah Cu-wi (Saudara sekalian) mengenal orang ini?” Dia menuding ke arah Thian It Tosu yang palsu.
Banyak orang tertawa menanggapi pertanyaan yang mereka anggap aneh itu.
“Heiii, orang muda! Siapa yang tidak mengenalnya? Beliau adalah Thian It Tosu ketua Bu-tong-pai. Siapa pun yang berada di sini tentu tahu akan hal itu. Mengapa engkau menanyakannya?”
“Ketahuilah, Cu-wi yang mulia. Orang ini bukan Thian It Tosu. Dia adalah Thian It Tosu palsu!”
“Orang muda, enak saja engkau bicara! Pinto adalah Thian It Tosu, mengapa engkau bilang palsu?”
“Cu-wi menghendaki bukti?” suara Keng Han nyaring sekali, mengatasi suara semua orang yang riuh rendah terheran-heran mendengar bahwa Thian It Tosu yang di atas panggung adalah palsu.
Keng Han lalu memberi isyarat dengan tangannya dan sesosok tubuh lain melayang dan berada di atas panggung. Ketika semua orang memandang mereka, mereka berseru terheran-heran karena orang itu juga Thian It Tosu! Di panggung itu berdiri dua orang Thian It Tosu yang sama, baik bentuk tubuh, wajah dan pakaiannya!
Selagi semua orang ribut bicara sendiri mengomentari pemunculan dua orang Thian It Tosu itu, Keng Han berkata dengan lantang, “Nah, kini saudara sekalian sudah melihat buktinya. Thian It Tosu yang baru muncul inilah yang asli, sedangkan Thian It Tosu yang pertama tadi adalah palsu. Dia adalah Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu!”
Tentu saja Gulam Sang menjadi marah sekali dan juga bingung. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Keng Han mampu membebaskan Thian It Tosu sehingga kedoknya terbongkar. Akan tetapi dia masih ingin mempertahankan diri dan dia segera berseru.
“Dia itu yang palsu! Lihat ini, Pek-coa-kiam ini jelas milik Thian It Tosu yang asli. Akulah yang asli dan dia itu palsu!” Setelah berkata demikian, dengan pedang Pek-coa-kiam di tangan, Gulam Sang menyerang dan menusukkan pedangnya kepada Thian It Tosu.
“Tranggg...!”
Pedangnya itu tertangkis oleh pedang di tangan Bi-kiam Niocu. Wanita ini marah sekali kepada Gulam Sang. Pemuda itu tadinya dia harapkan untuk menjadi suaminya, akan tetapi ternyata pemuda itu malah telah menipu dan membohonginya.
“Niocu, kuharap engkau jangan mencampuri urusan ini, atau bantulah aku membunuh Thian It Tosu yang palsu ini!”
“Engkaulah yang palsu, Gulam Sang!” bentak Bi-kiam Niocu.
Akan tetapi dara ini terkejut ketika pedangnya yang menangkis pedang Pek-coa-kiam itu terpental dan tangannya tergetar hebat. Pemuda Tibet itu ternyata mempunyai tenaga sinkang yang luar biasa kuatnya.
Keng Han meloncat ke depan Niocu, kemudian berkata, “Mundurlah, Niocu. Jahanam ini adalah musuh besarku, biarlah aku yang menghadapinya! Nah, Gulam Sang, sebaiknya engkau melepas kedokmu itu!”
Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu memandang Keng Han dengan mata mencorong penuh kebencian.
“Engkau pengacau sinting, biar kubunuh engkau terlebih dahulu!” Dengan bentakan ini, Gulam Sang menyerang Keng Han dengan Pedang Ular Putih.
Serangan itu hebat sekali dan Pek-coa-kiam itu menyambar ke arah leher Keng Han. Akan tetapi Keng Han yang sudah tahu betapa lihainya Gulam Sang, sudah mengelak dengan loncatan jauh ke belakang. Akan tetapi, Gulam Sang mendesak terus dengan Pek-coa-kiam yang ampuh itu sehingga Keng Han harus berloncatan dan mengelak ke sana sini dan nampak terdesak serta tidak mampu balas menyerang.
Saat itu Bi-kiam Niocu berteriak, “Keng Han, pakailah pedangku ini!” Ia melontarkan pedangnya ke arah Keng Han yang menyambutnya dengan tangan.
Kini Keng Han juga memegang sebatang pedang. Ketika Gulam Sang menyerang lagi dengan bacokan dahsyat, Keng Han malah maju dan menangkis sambil mengerahkan sinkang-nya.
“Tranggggg...!”
Sepasang pedang itu bertemu dengan hebatnya. Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu itu terdorong mundur ke belakang. Akan tetapi ketika Keng Han melihat pedangnya, ternyata pedang itu sudah buntung pada bagian ujungnya! Jelaslah bahwa Pek-coa-kiam di tangan Gulam Sang itu sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang sangat ampuh.
Namun dari pertemuan tenaga itu dapat diketahui bahwa dalam hal sinkang, ternyata Gulam Sang masih belum mampu menandingi Keng Han. Keng Han kemudian balas menyerang dengan pedang buntungnya. Dia memainkan ilmu Hongin-bun-hoat, pedang buntungnya seperti menulis dan membuat corat-coret di udara, akan tetapi semua itu sebenarnya merupakan serangan yang dahsyat bukan main.
Menghadapi ilmu pedang yang aneh ini, Gulam Sang terkejut dan kini dia yang terdesak mundur. Beberapa kali dia mencoba untuk memanfaatkan keunggulan pedangnya untuk menangkis dan membabat pedang buntung lawan, akan tetapi usahanya itu tidak pernah berhasil karena Keng Han selalu mengelak kalau diajak beradu pedang.
Di antara para penonton terdapat Yo Han, Tan Sian Li, dan juga Yo Han Li yang sejak tadi menonton pertandingan itu. Yo Han sendiri juga kaget dan tidak mengerti mengapa muncul dua orang Thian It Tosu. Dia masih ragu-ragu siapa di antara kedua orang itu yang asli dan mana pula yang palsu. Maka ketika Keng Han bertanding dengan Thian It Tosu, Yo Han, isterinya dan puterinya tidak tahu harus memihak yang mana.
Akan tetapi ketika Keng Han mulai memainkan ilmu Hong-in-bun-hoat, mereka bertiga lalu memandang heran. Pemuda itu sedemikian hebatnya memainkan Hong-in Bun-hoat yang mereka kenal. Bahkan biar pun pedangnya sudah buntung, dia sekarang mampu mendesak Thian It Tosu yang menjadi kewalahan dan main mundur terus.
Pertandingan itu memang hebat bukan main. Gulam Sang yang didesak terus itu telah mengeluarkan semua ilmunya, bahkan beberapa kali dia membentak dengan kekuatan sihirnya untuk merobohkan Keng Han. Akan tetapi, ilmu sihirnya tidak mempan terhadap Keng Han karena pemuda ini telah memiliki tenaga sakti yang hebat.
Dan setelah mereka bertanding sampai seratus jurus lebih, tahulah Yo Han, isteri dan puterinya bahwa Thian It Tosu itu jelas palsu. Hal ini mudah saja diketahui. Kalau Thian It Tosu ini asli, tentu menggunakan ilmu pedang Bu-tong-pai yang sudah mereka kenal. Akan tetapi Thian It Tosu ini sama sekali tidak mempergunakan ilmu silat Bu-tong-pai melainkan menggunakan ilmu silat yang aneh dan belum pernah mereka lihat!
Yo Han yang berpengalaman luas itu berbisik kepada isteri dan puterinya, “Ilmu silatnya tentu datang dari Barat. Dan lihat, dia menggunakan sihir dalam bentakan-bentakannya itu. Untung bagi Keng Han, dia sudah memiliki sinkang yang cukup kuat untuk menolak pengaruh sihir itu.”
Tiba-tiba Keng Han mengubah ilmu silatnya. Pedangnya masih membuat gerakan ilmu Hong-in Bun-hoat, tetapi tangan kirinya memukul dengan jurus pukulan ilmu Toat-beng Bian-kun yang kelihatan lemah lembut namun menyembunyikan kekuatan yang amat dasyat. Dan Gulam Sang benar-benar terdesak hebat.
Pada saat itu dari dalam melayang keluar tiga orang kakek yang membentak, “Bocah lancang!. Berani engkau menghina tuan rumah kami, ketua Bu-tong-pai?”
Yo Han melihat bahwa mereka itu adalah para datuk sesat yang terkenal, yaitu Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Tiga orang datuk ini memang sengaja tidak keluar dulu dan hanya mengintai dari dalam, melihat perkembangan keadaan.
Ketika melihat Keng Han datang bersama Thian It Tosu, tahulah mereka bahwa Gulam Sang terancam bahaya. Apa lagi setelah melihat betapa Gulam Sang terdesak hebat oleh Keng Han, mereka tidak dapat tinggal diam saja.
Ketiganya lalu keluar dan segera melompat ke atas panggung, meninggalkan Pangeran Tao Seng yang masih bersembunyi di dalam kamar rahasia. Karena mereka berada di kamar rahasia, maka tadi Keng Han tidak berhasil menemukan ayahnya ketika mencari di seluruh kamar tahanan dalam rumah induk Bu-tong-pai itu.
Melihat tiga orang datuk sesat itu maju, Bi-kiam Niocu yang sudah marah sekali melihat Gulam Sang menyamar sebagai Thian It Tosu juga melompat ke atas panggung.
“Main keroyokan bukan watak orang gagah!” dia berseru.
Dan ia sudah siap untuk melawan siapa saja yang hendak mengeroyok Keng Han, biar pun ia bertangan kosong karena pedangnya sudah dipinjamkan kepada Keng Han.
Han Li tadi melihat betapa gadis itu meminjamkan pedangnya kepada Keng Han, maka tanpa ragu lagi ia mencabut pedangnya dan melemparkannya kepada Bi-kiam Niocu sambil berseru, “Enci, pakailah pedangku ini!”
Niocu menyambut pedang itu dengan tangan kanannya, lalu dia menghadapi Swat-hai Lo-kwi yang juga memegang sebatang pedang.
Pada saat itu pula, dua bayangan berkelebat ke atas panggung dan mereka itu ternyata adalah Yo Han dan isterinya, si Bangau Merah Tan Sian Li! Tan Sian Li telah mencabut suling emas yang diselipkan pada pinggangnya, sedangkan Yo Han yang tidak pernah bersenjata itu hanya berdiri dengan tangan kosong.
Tan Sian Li menghadapi Tung-hai Lo-mo sambil berkata lantang, suaranya mengejek. “Main keroyokan, ya? Kami juga bisa!”
Tanpa banyak komentar lagi wanita berusia empat puluh tahun yang masih cantik itu sudah menggerakkan sulingnya untuk menyerang Tung-hai Lo-mo. Terdengarlah suara berdesing nyaring dan suling itu kini menjadi sinar keemasan yang melengking-lengking! Terpaksa Tung-hai Lo-mo menyambut dengan pedangnya, dan mereka berdua sudah bertanding dengan hebatnya.
Sekarang hanya tertinggal Lam-hai Koai-jin yang belum mendapat lawan. Maka Yo Han segera menghadapinya sambil berkata, “Lam-hai Koai-jin, engkau ingin memperlihatkan kepandaianmu? Majulah dan akulah lawanmu!”
Melihat Yo Han, Lam-hai Koai-jin sudah merasa gentar. Dia maklum betapa tinggi ilmu kepandaian Pendekar Tangan Sakti ini. Selagi dia meragu untuk menyambut tantangan Yo Han, Thian It Tosu yang sejak tadi hanya menonton saja lalu melangkah maju dan dia berseru lantang, “Cuwi harap menahan senjata dan berhenti berkelahi!”
Mendengar bentakan nyaring ini semua menahan senjata, Thian It Tosu yang palsu sudah terdesak hebat, mandi peluh dan napasnya terengah-engah. Maka seruan untuk, berhenti bertanding itu telah menyelamatkannya.
Thian It Tosu lalu menghampiri Gulam Sang dan berkata, “Gulam Sang, engkau yang menjadi gara-gara semua keributan ini. Pinto tak ingin bila Bu-tong-pai dijadikan tempat pertempuran. Harap para saudara yang membela Gulam Sang dan membelaku suka mundur semua dan biarkan kami berdua yang menyelesaikan urusan ini!”
Sikap Thian It Tosu berwibawa sekali. Tiga orang datuk itu segera mundur. Melihat ini, Bi-kiam Niocu, Yo Han dan Tan Sian Li juga mengundurkan diri. Kini yang berdiri di atas panggung hanya kedua orang yang sama itu.
Thian It Tosu berkata dengan suaranya yang lembut namun berwibawa. “Gulam Sang, untuk membuktikan siapa yang asli dan palsu di antara kita berdua, mari kita bertanding ilmu di sini, disaksikan oleh semua orang. Akan tetapi, yang namanya Thian it Tosu itu selamanya tak pernah menyerang lawan yang tidak bersenjata. Nah, beranikah engkau melawan pinto?”
“Hemmm, engkaulah yang palsu dan jangan mencoba untuk mengelabui orang lain. Aku Thian It Tosu yang asli. Tentu saja aku siap melawanmu dengan tangan kosong!”
Setelah berkata demikian, Thian It Tosu yang palsu itu lalu melontarkan pedangnya ke bawah dan pedang itu lalu menancap di atas papan, bergoyang-goyang saking kuatnya lontaran itu.
Sekarang kedua orang kakek itu saling berhadapan dan semua orang menahan napas menyaksikan peristiwa yang aneh itu. Dua orang Thian It Tosu saling berhadapan untuk saling menyerang.
Kalau tadi Yo Han, Keng Han dan dua orang wanita itu menaati permintaan Thian It Tosu adalah karena mereka menghormati Thian It Tosu sebagai tuan rumah. Mereka ini yakin dan percaya kepada Keng Han bahwa yang muncul belakangan itu adalah ketua Bu-tong-pai yang asli. Juga semua murid Bu-tong-pai yakin dan tahu mana yang asli dan mana yang palsu dengan melihat cara Thian It Tosu tadi bertanding melawan Keng Han.
Gulam Sang adalah murid Dalai Lama yang lebih banyak mempelajari kebatinan. Sebab itu pemuda ini merasa sinkang-nya lebih dapat diandalkan dibandingkan ilmu silatnya. Apa lagi dia pun tahu bahwa ketua Bu-tong-pai yang menjadi lawannya ini setiap hari telah diberi racun sehingga sekarang sudah keracunan hebat. Dalam keadaan begini tentu saja Thian It Tosu tidak akan mampu sepenuhnya mengerahkan sinkang-nya.
Selain itu, Gulam Sang juga tahu bahwa ilmu pedang Bu-tong-pai sungguh lihai dan sulit dicari tandingannya. Karena itu, setelah mengetahui bahwa pertandingannya melawan Thian It Tosu akan dilakukan dengan tangan kosong tanpa senjata, dia merasa yakin bahwa dia akan dapat memenangkan pertandingan ini.
Dia lalu menerjang ke depan dan mulai dengan serangannya. Thian It Tosu mengelak dan bersilat dengan ilmu silat Bu-tong-pai. Kini Gulam Sang tidak dapat menirukan lagi dan mengeluarkan ilmu silatnya yang dia pelajari dari Dalai Lama.
Melihat kenyataan ini, para murid Bu-tong-pai tidak ragu lagi untuk menentukan siapa di antara dua orang yang sedang bertanding itu mana yang asli mana yang palsu. Thian Yang Cu dan Bhok Im Cu, dua orang murid kepala di Bu-tong-pai yang selama itu sudah terpaksa menuruti kemauan Gulam Sang karena khawatir bahwa Gulam Sang akan membunuh guru mereka, sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka segera berloncatan ke atas panggung, diikuti oleh belasan orang murid lainnya.
“Dialah yang palsu!” bentak Thian Yang Cu kepada Gulam Sang sehingga para murid itu mengepungnya.
Melihat ini, Gulam Sang menjadi gentar dan Thian It Tosu memanfaatkannya dengan sebuah tendangan yang mengenai dadanya. Gulam Sang roboh dan para murid sudah mengayun pedang untuk membunuhnya.
Akan tetapi Thian It Tosu berseru nyaring, “Jangan bunuh!”
Gulam Sang tidak dibunuh, akan tetapi ia ditangkap dan banyak senjata menodongnya. Thian Yang Cu lalu menjambak rambutnya dan sekali tarik dengan kuat, terlepaslah kedok yang dipakai oleh Gulam Sang.
Thian Yang Cu mengangkat kedok itu ke atas dan berseru kepada semua tamu. “Lihat, dia menggunakan kedok menyamar sebagai guru dan ketua kami. Dia adalah Gulam Sang!”
Bukan hanya pendekar yang terheran-heran, bahkan tiga datuk yang tadi membelanya terkejut dan merasa heran. Mereka sama sekali tidak pernah menduga bahwa Thian It Tosu yang selama ini mereka anggap asli itu ternyata palsu.
“Kalau begitu, semua janji itu pun palsu.”
“Bunuh saja keparat itu!” demikian banyak orang berteriak-teriak karena marah.
Akan tetapi Thian Yang Cu melarang para murid membunuhnya.
“Gulam Sang, permainanmu sudah berakhir. Semestinya engkau dibunuh oleh banyak senjata murid Bu-tong-pai. Akan tetapi kami akan membebaskan engkau kalau engkau suka memberi obat penawar racun dari tubuh ketua kami.”
Gulam Sang menyeringai. “Bagus jika kalian mengetahui dan ingat akan keadaan Thian It Tosu!” katanya.
Karena dia sudah ditodong dan tak mungkin melawan lagi, dia merogoh saku dalam di bajunya dan mengeluarkan sebuah bungkusan kertas. Kemudian dia berkata kepada Thian It Tosu, “Tubuhmu sudah penuh dengan racun yang berada di dalam makanan dan minumanmu selama ini. Telanlah obat ini dan engkau akan sembuh kembali.”
Thian It Tosu menerima bungkusan itu dan seorang murid mengambilkan air teh. Thian It Tosu membuka bungkusan itu dan menuangkan isinya ke dalam mulut, kemudian air teh itu diminumnya. Setelah obat itu memasuki perutnya, dari dalam perut itu keluarlah bunyi dan dia merasa betapa rasa nyeri di dada dan perut menghilang.
Tadi pun dalam keadaan keracunan dia melawan Gulam Sang. Bila dilanjutkan agaknya dia akan kalah karena setiap kali mengerahkan tenaga sinkang dadanya terasa nyeri. Kini dia mencoba untuk mengerahkan sinkang-nya. Tidak terjadi sesuatu. Itu merupakan bukti bahwa obat itu memang manjur.
“Lepaskan dia!” kata Thian It Tosu kepada para muridnya dan dia sendiri lalu mencabut Pek-coa-kiam yang tadi oleh Gulam Sang ditancapkan ke atas papan.
Meski pun agak enggan, para murid menarik senjata mereka yang ditodongkan kepada Gulam Sang.
Gulam Sang tertawa menyeringai, lalu menoleh kepada Bi-kiam Niocu sambil berkata, “Niocu, maukah engkau pergi dengan aku?”
“Jahanam busuk! Membunuhmu aku mau, tapi kalau disuruh pergi bersamamu, jangan harap!”
Gulam Sang maklum bahwa dia telah kalah segala-galanya, maka dia sudah melangkah untuk meninggalkan panggung.
“Tahan dulu!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Semua orang menoleh dan Gulam Sang juga memandang. Ketika melihat bahwa yang datang itu adalah dua orang pendeta Lama berjubah merah, wajahnya menjadi pucat sekali.
"Omitohud...! Dicari ke mana-mana ternyata berada di sini. Gulam Sang, atas perintah Yang Mulia Dalai Lama, kami harus menangkapmu. Menyerahlah engkau supaya kami tidak harus menggunakan kekerasan!”
Gulam Sang maklum bahwa kalau dia menyerah, tidak urung dia akan dibunuh. Dia dan ayahnya, Gosang Lama, sudah menyebabkan pemberontakan di Tibet. Ayahnya juga sudah terbunuh, dan selama ini dia masih dapat meloloskan diri karena bersembunyi di Bu-tong-pai. Ternyata pada saat kejatuhannya, dua orang Lama Jubah Merah muncul.
Maka, Gulam Sang menjadi nekat.....
Komentar
Posting Komentar