PUSAKA PULAU ES : JILID-22


Akan tetapi, kedua orang pendeta Lama itu adalah murid-murid Dalai Lama yang lebih tinggi tingkatnya dibandingkan Gulam Sang. Mereka menyambut terjangan itu dengan pukulan telapak tangan secara berbareng.

“Desss...!”

Tubuh Gulam Sang terpental dan bergulingan, kemudian diam dan tidak bergerak lagi. Ternyata dia telah tewas!

“Omitohud, setiap perbuatan jahat akan berakibat mala petaka bagi dirinya sendiri!” kata pendeta Lama yang perutnya gendut. Kemudian mereka berdua menghadapi Thian It Tosu dan yang kurus berkata dengan sikap hormat.

“Apakah Toyu ketua Bu-tong-pai?”

“Benar.”

“Kalau begitu, kami mohon dengan hormat untuk bisa mengadakan upacara membakar mayat di sini. Bolehkah?”

“Tentu saja boleh.”

Thian It Tosu kini menghadapi semua orang yang berkumpul di situ.

“Kami harap agar para tamu yang tergolong sesat seperti perkumpulan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, suka meninggalkan tempat ini. Kalian semua memang diundang, akan tetapi bukan pinto yang mengundang. Hendaknya kalian maklumi, bahwa Bu-tong-pai bukan perkumpulan pemberontak terhadap pemerintah. Kami hanya menentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Yang tadinya merasa bersekutu dengan Bu-tong-pai di bawah pimpinan ketua palsu, diminta agar juga meninggalkan tempat ini!”

Mendengar ucapan ini, tiga orang datuk segera pergi tanpa banyak cakap lagi. Juga rombongan orang Pek-lian-pai serta Pat-kwa-pai, termasuk pula mereka yang tadinya disusupkan menjadi anggota Bu-tong-pai, semua pergi secepatnya dari tempat yang berbahaya bagi keselamatan mereka itu.

Kini yang masih tinggal d sana hanyalah orang-orang kang-ouw yang hidupnya sebagai pendekar dan yang selalu menentang orang-orang yang melakukan kejahatan. Tentu saja termasuk Yo Han, Tan Sian Li dan Yo Han Li yang sudah lama menjadi sahabat baik Thian It Tosu. Juga Bi-kiam Niocu masih berada di situ.

Keng Han menghampiri Bi-kiam Niocu, mengembalikan pedang yang tadi dipijamkan kepadanya, “Maaf, Niocu, pedangmu rusak dan patah ujungnya,” kata Keng Han.

“Tidak mengapa, engkau telah menyadarkan aku tentang Gulam Sang yang palsu itu,” kata wanita itu sambil menerima kembali pedangnya.

Thian It Tosu menghampiri Yo Han dan memberi hormat dengan merangkap dua tangan di depan dada yang segera dibalas oleh Yo Han.

“Terima kasih atas bantuan Yo-taihiap sekeluarga, juga terima kasih kepada Ji-wi yang muda-muda namun berilmu tinggi,” katanya dan ucapan terakhir ditujukan kepada Keng Han dan Bi-kiam Niocu.

“Ah, Totiang. Aku malah minta maaf bahwa aku sama sekali tidak tahu bahwa Totiang telah ditahan dan Thian It Tosu yang memimpin Bu-tong-pai adalah orang palsu! Pantas saja aku merasa heran sekali atas perubahan sikap Bu-tong-pai dan bersekutu dengan Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai. Kiranya bukan Totiang orangnya.”

“Totiang, saya mohon ijin hendak mencari orang yang bernama Tao Seng, yang menjadi pimpinan pemberontakan ini. Menurut perhitungan saya, dia pasti bersembunyi di dalam Bu-tong-pai bersama datuk-datuk sesat tadi. Apakah di antara murid Totiang ada yang mengetahui di mana dia bersembunyi?”

Seorang murid Bu-tong-pai cepat-cepat maju dan berkata, “Memang ada seorang yang kemarin dulu diterima oleh ketua palsu sebagai tamu dan dia disebut Ji-wangwe.”

"Ya itulah orangnya!” seru Keng Han. “Tahukah engkau di mana dia bersembunyi?”

“Tadinya mereka semua bersembunyi di dalam kamar rahasia. Akan tetapi ketika terjadi perkelahian, Ji-wangwe itu keluar dari kamar rahasia, kemudian melarikan diri melalui pintu belakang.”

“Wah, aku harus mengejarnya!” kata Keng Han dan dia sudah meloncat pergi dari situ.

Keng Han lari ke belakang gedung, melalui taman dan terus melompat pagar tembok di belakang taman. Dia mengejar dan mencari terus, akan tetapi tidak nampak jejak orang yang dicarinya itu. Tugasnya membela keluarga kaisar sudah berhasil, sekarang tinggal menemukan ayahnya dan memaksa ayah itu ikut bersamanya ke Khitan, menghadap ibunya!

Dia tiba di sebuah bukit kecil. Cepat dia mendaki bukit itu dan di puncak bukit itu dia melihat sebuah rumah menyendiri. Mungkin ayahnya itu bersembunyi di sana, pikirnya penuh harapan.

Akan tetapi ketika tiba di pekarangan rumah itu, tiba-tiba terdengar suara tawa dan tiga orang lalu meluncur keluar dari dalam rumah itu. Mereka itu ternyata adalah Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin. Swat-hai Lo-kwi telah memegang pedang, Tung-hai Lo-mo juga telah memegang dayung bajanya dan Lam-hai Koai-jin memegang ruyungnya. Jelas bahwa kedatangannya itu sudah diketahui mereka dan mereka telah siap untuk menghadapinya.

“Ha-ha-ha-ha, orang muda. Beberapa kali engkau menggagalkan usaha kami, sekarang tiba saatnya kami melakukan pembalasan dan membunuhmu di sini!” berkata Swat-hai Lo-kwi sambil tertawa.

“Lo-kwi, ingat! Ketika kita berada di Pulau Hantu itu engkau pun berniat membunuhku, akan tetapi sampai sekarang aku masih hidup! Aku tidak takut biar pun kalian bersikap curang hendak mengeroyokku. Aku hanya ingin bertanya, apakah Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji itu berada di dalam? Kalau betul, lekas suruh dia keluar dan aku akan membawanya pergi. Aku tidak ada alasan untuk bertanding dengan kalian!”

Melihat sikap pemuda itu demikian tabah menghadapi mereka bertiga, Tung-hai Lo-mo yang wataknya angkuh itu membentak, “Dia memang berada di sini. Akan tetapi kami melindunginya. Kalau engkau dapat mengalahkan kami bertiga, barulah engkau boleh menemuinya!”

“Tung-hai Lo-mo, sudah kukatakan bahwa aku tidak butuh bertanding denganmu. Aku hanya menghendaki orang itu. Ketahuilah bahwa Pangeran Tao Seng itu adalah ayah kandungku!”

“Ha-ha-ha, jangan engkau membual!” kata Lam-hai Koai-jin. “Kalau dia memang ayah kandungmu, mengapa engkau malah menentangnya sehingga gerakannya gagal?”

“Karena dia berada di pihak yang bersalah. Dia berbuat jahat dan aku tidak ingin melihat dia berbuat jahat!” jawab Keng Han.

“Sudahlah, kawan-kawan, tak perlu berdebat dengan bocah ini. Mari kita bereskan saja dia!” Setelah berkata demikian Swat-hai Lo-kwi sudah menggerakkan pedangnya dan langsung menyerang Keng Han.

Keng Han menghindarkan diri dengan mengelak ke kiri. Akan tetapi dari sebelah kiri, dayung baja Tung-hai Lo-mo sudah menyapu ke arah pinggangnya! Keng Han meloncat tinggi ke atas sehingga dayung baja itu menyambar di bawah kakinya. Ketika dayung baja itu melayang tepat di bawahnya, Keng Han menginjak dayung itu dan meloncat ke belakang, berjungkir balik beberapa kali sebelum turun ke atas tanah.

Baru saja Keng Han hinggap di tanah, ruyung Lam-hai Koai-jin sudah menyerangnya, memukulkan ruyung yang besar dan berat ke arah kepalanya! Hebat serangan ini, tapi Keng Han tidak menjadi gentar. Kembali dia mengelak ke kanan dan sekarang kakinya menendang ke arah Swat-hai Lo-kwi. Lo-kwi mengelak dan Keng Han segera dikeroyok tiga orang datuk itu.

Keng Han telah memiliki tenaga sinkang yang dahsyat dan ilmu silatnya juga ilmu silat tinggi dan sakti dari Pulau Es. Akan tetapi kini dia menghadapi pengeroyokan tiga orang datuk besar di dunia persilatan. Apa lagi dia tak bersenjata, sedangkan tiga orang datuk yang menyerangnya itu menggunakan tiga macam senjata yang berbeda gerakannya. Tubuhnya berkelebatan di antara tiga gulungan sinar dari senjata musuh-musuhnya.

Ketiga orang datuk itu mengeroyok sambil mengeluarkan bentakan-bentakan nyaring, Namun Keng Han bukan saja mengelak, bahkan terhadap dayung baja dan ruyung itu beberapa kali ia menangkis dengan tangannya. Setiap kali ditangkis, pemegang senjata itu merasa tangannya tergetar oleh hawa yang dingin sekali kalau yang menangkis itu tangan kiri Keng Han, sedangkan kalau tangan kanan yang menangkis, lawannya akan merasakan hawa yang amat panas menyerang dirinya.

Tiba-tiba seorang muncul di depan pintu. Dia itu bukan lain adalah Tao Seng. Melihat betapa puteranya dikeroyok oleh tiga orang datuk itu, tiba-tiba Tao Seng teringat kepada Silani, isterinya yang ditinggalkan di Khitan. Maka dia pun tidak ingin melihat puteranya terbunuh.

“Sam-wi Locianpwe, jangan bunuh dia! Dia itu anakku, jangan bunuh dia!”

Swat-hai Lo-kwi menjadi jengkel mendengar ucapan Tao Seng itu. Baginya, orang itu adalah Hartawan Ji yang membiayai semua usaha pemberontakan itu. Dan kini, melihat hartawan itu malah melindungi Keng Han, dia menjadi marah.

“Kami harus membunuhnya! Dialah yang sudah menggagalkan semua usaha kita!” Dan dia pun menyerang semakin gencar terhadap Keng Han yang masih terus melakukan perlawanan dengan gigih.

Tao Seng melihat betapa Keng Han sudah terdesak amat hebat dan kalau perkelahian itu dilanjutkan, tentu akhirnya Keng Han akan tewas! Mati terbunuh di depan matanya. Anaknya!

Tiba-tiba dia menghunus pedang dan meloncat ke dalam pertandingan itu, sama sekali bukan untuk mengeroyok Keng Han, namun dia menggunakan pedangnya menyerang Swat-hai Lo-kwi!

“Heiii! Apa yang kau lakukan ini, Ji-wangwe!” bentak Swat-hai Lo-kwi sambil menangkis.

“Jangan bunuh dia! Jangan bunuh dia!” Tao Seng berteriak-teriak sambil terus untuk membantu Keng Han.

“Keparat!”

Swat-hai Lo-kwi berteriak marah sambil membalik dan menyerang Tao Seng. Baru diserang sebanyak lima jurus saja pedang di tangan Swat-hai Lo-kwi sudah menembus dada Tao Seng. Tao Seng berteriak dan roboh terguling.

“Ayahhh...!” Keng Han berseru keras melihat ayahnya roboh dengan mandi darah.

Dia lalu mengamuk. Akan tetapi dia dikeroyok tiga orang datuk yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan semua bersenjata, sedangkan dia sendiri bertangan kosong. Swat-hai Lo-kwi menusukkan pedangnya ke arah lambung Keng Han dan pada saat itu dayung baja Tung-hai Lo-mo menghantam ke arah kepalanya, sedang ruyung Lam-hai Koai-jin menghantam punggungnya!

Diserang secara serentak seperti itu, Keng Han cepat meloncat tinggi untuk menghindar dari semua serangan itu. Kedua kakinya menendang dan menangkis dayung baja dan ruyung, kemudian sambil menjejakkan kedua kakinya pada dua senjata itu, tubuhnya berjungkir balik ke belakang. Maka selamatlah dia dari ketiga serangan yang dilakukan serentak itu.

Akan tetapi jantungnya berdebar juga karena serangan berbareng itu sungguh sangat berbahaya. Kalau saja tidak melihat tiga orang datuk itu membunuh ayahnya, tentu dia sudah meninggalkan tiga orang lawannya. Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi telah membunuh ayahnya dan dia tidak dapat tinggal diam begitu saja. Dia pun meloncat ke dekat tubuh ayahnya.

“Ayah, engkau tidak apa-apa?” tanyanya khawatir.

“Keng Han, larilah selagi ada kesempatan... aku... aku tidak apa-apa...!”

Akan tetapi tiga orang datuk itu sudah mengurungnya lagi dan terpaksa dia melawan sekuat tenaga. Tanpa memegang senjata apa pun, sedangkan ketiga lawannya memiliki tiga macam senjata yang berbeda sifatnya, maka tidak heran kalau Keng Han langsung terdesak hebat.

Selagi keadaan amat gawat bagi Keng Han itu, tiba-tiba terdengar seruan, “Keng Han, terimalah pedangmu ini!”

Ternyata yang datang adalah Cu In! Gadis itu melemparkan pedang bengkok milik Keng Han yang sudah diberikan kepadanya. Keng Han menyambut pedang bengkok itu, lalu melepaskan sabuk sutera putih dan melemparkannya ke arah Cu In.

Cu In menyambut senjatanya itu dan langsung saja ia pun menyerang kepada Tung-hai Lo-mo dengan sabuk suteranya. Di tangan Cu In sabuk sutera itu menjadi senjata yang ampuh sekali, dapat melibat senjata lawan, dapat pula menotok jalan darah dan dengan sinkang-nya dia dapat membuat sabuk itu sebagai pecut yang dapat melecut dengan ganasnya!

Bagaimana Cu In dapat datang pada saat yang sangat gawat bagi Keng Han? Ternyata berita tentang Bu-tong-pai mengundang para tokoh kang-ouw itu sampai ke kota raja dan terdengar pula oleh The Ciangkun, ayah Cu In.

Mendengar ini, Cu In menduga bahwa Keng Han tentu pergi ke sana untuk mencari ayahnya. Maka hatinya merasa tidak enak dan ia berpamit dari ayah ibunya untuk pergi melihat-lihat keadaan di Bu-tong-pai.

“Aku dapat sekalian menyelidiki apa yang dikehendaki Bu-tong-pai dengan undangan itu, Ayah,” katanya kepada ayahnya.

Ayah dan ibunya tidak melarangnya dan pergilah The Cu In ke Bu-tong-pai, membawa pedang bengkok milik Keng Han yang tidak pernah lepas dari tubuhnya. Ternyata gadis itu datang terlambat dan pertemuan itu sudah selesai dengan terbongkarnya rahasia penyamaran Gulam Sang.

Ketika mendaki bukit Bu-tong-san, ia melihat Keng Han dikeroyok oleh tiga orang datuk itu. Maka ia cepat bertukar senjata dengan Keng Han dan segera menyerang Tung-hai Lo-mo yang amat dibencinya karena datuk ini pernah menyingkap cadarnya dan melihat mukanya.

Diserang dengan hebat oleh sabuk sutera di tangan Cu In, Tung-hai Lo-mo cepat-cepat menggerakkan dayung bajanya untuk menyambutnya. Segera terjadilah perkelahian yang seru di antara mereka. Lo-mo yang bersenjata dayung baja yang berat itu segera terdesak. Senjatanya terlalu berat dan lamban, sedangkan gadis baju putih itu memiliki ginkang istimewa.

Selain gerakannya amat lincah dan cepat, juga senjata yang ringan itu bergerak dengan kecepatan kilat yang menyambar-nyambar. Meski pun hanya sabuk sutera, akan tetapi berbahaya sekali kalau serangannya mengenai tubuh lawan. Tung-hai Lo-mo terpaksa menghindarkan diri sambil mundur terus, dan didesak oleh Cu In yang penuh semangat untuk merobohkan lawan.

Sementara itu, Keng Han juga sedang mengamuk dengan pedang bengkoknya. Setelah menerima pedangnya dari Cu In, Keng Han seperti seekor harimau yang tumbuh sayap. Sepak terjangnya amat dahsyat, membuat dua orang pengeroyoknya kewalahan.

Swat-hai Lo-kwi menjadi penasaran. Pada suatu saat ia mengerahkan sinkang-nya dan memukul dengan tangan kiri terbuka ke arah dada Keng Han. Itulah pukulan jarak jauh yang mengandung hawa dingin.

Akan tetapi Keng Han tidak menyingkir. Dia pun merendahkan tubuhnya dan tangan kirinya didorongkan ke depan dengan tenaga Swat-im Sinkang yang dilatihnya di Pulau Hantu.

“Wuuuuuttt...! Desss...!”

Benturan dua tenaga sakti yang hebat itu sampai dapat dirasakan oleh Lam-hai Koai-jin. Dia merasa ada hawa yang amat dingin, hampir membuatnya menggigil kalau dia tidak cepat-cepat mengerahkan sinkang-nya untuk melindungi dirinya.

Akan tetapi Swat-hai Lo-kwi terdorong mundur. Mukanya pucat dan dia pun lalu roboh terguling. Ternyata tenaga dinginnya itu masih kalah kuat. Keng Han sendiri terhuyung sedikit dan kesempatan itu dipergunakan oleh Lam-hai Koai-jin untuk menyerangnya dengan ruyung.

Akan tetapi Keng Han sudah cepat menguasai dirinya dan segera memainkan Hong-in Bun-hoat untuk menghadapi ruyung Lam-hai Koai-jin. Lam-hai Koai-jin adalah seorang datuk dari selatan yang memiliki ilmu ruyung hebat. Akan tetapi, menghadapi Keng Han yang mencorat-coret dengan pedangnya seperti orang menuliskan huruf-huruf itu, dia merasa bingung dan sebentar saja sudah terdesak hebat.

Swat-hai Lo-kwi yang telah menderita luka dalam tubuhnya itu, bangkit dan terhuyung meninggalkan tempat itu, tidak mempedulikan lagi kepada dua orang temannya karena dia harus menyelamatkan diri setelah terluka berat itu.

Tung-hai Lo-mo juga kewalahan menghadapi sabuk sutera putih di tangan Cu In. Dia hanya dapat memutar dayungnya sambil kadang-kadang mengelak. Tapi setelah lewat lima puluh jurus, ujung sabuk itu berhasil menotok pundaknya yang sebelah kanan.

Seketika lengan kanannya terasa lumpuh dan dayung baja itu lepas dari pegangannya. Selagi dia terhuyung, ujung sabuk telah menyambar lagi dan tepat mengenai ubun-ubun kepalanya.

“Prattt…!”

Tung-hai Lo-mo berteriak keras dan dia pun roboh, tewas seketika!

Melihat dua kawannya sudah kalah, Lam-hai Koai-jin cepat meloncat jauh ke belakang. “Orang muda, aku mengaku kalah sekali ini. Di antara kita tidak terdapat permusuhan, biarlah lain kali aku mencarimu untuk membuat perhitungan.” Dia lalu meloncat jauh dan melarikan diri.

“Kau hendak lari ke mana?”

Cu In hendak mengejar, akan tetapi Keng Han berkata sambil menghampiri Cu In dan memegang lengannya. “Musuh yang sudah mengaku kalah tidak perlu dikejar!”

Mendengar kata-kata Keng Han ini, Cu In tidak jadi mengejar. Dia segera menyimpan kembali sabuk suteranya, dililitkan ke pinggangnya yang ramping.

Keng Han menghampiri ayahnya dan berlutut. Keadaan Tao Seng payah sekali. Keng Han menotok jalan darah untuk menggugah ayahnya dari keadaannya yang pingsan. Akhirnya bekas pangeran itu membuka matanya.

“Kau... Keng Han... puteraku...?”

“Ayah, aku datang hendak mengajak Ayah menemui Ibu di Khitan,” berkata Keng Han dengan nada sedih karena dia maklum bahwa ayahnya tidak mungkin dapat tertolong lagi. Pedang itu agaknya telah menembus jantungnya.

“Sudah... sudah terlambat... aku berdosa besar kepada ibumu... Keng Han, maukah... engkau memintakan maaf kepada Silani? Dan maukah engkau... memaafkan...aku...?”

Keng Han mengangguk dan mengusap air matanya dengan punggung tangannya. Biar pun ayahnya telah berbuat jahat karena menuruti ambisi yang muluk, namun pada saat terakhir ayahnya itu berusaha untuk menolongnya sampai tewas!

“Tentu saja, Ayah. Ibu pasti akan memaafkanmu...” katanya dengan terharu.

“Terima kasih... ahhh, terima kasih, Tuhan! Kini... aku dapat... mati dengan… dengan tenang...!”

Leher itu terkulai dan mata itu terpejam, tanda bahwa Tao Seng telah menghembuskan napas terakhir.

“Ayah, ohhh... Ayah...” Saking sedih dan terharunya, Keng Han menangisi kematian ayahnya.

“Keng Han, ayahmu telah tewas, tidak ada gunanya ditangisi lagi,” kata Cu In sambil memegang pundak pemuda itu dengan suara halus.

Keng Han sadar dan menghentikan tangisnya. Kemudian dia menoleh kepada Cu In. “Kalau tidak ada engkau, agaknya aku pun sudah tewas menemani ayahku. Bagaimana engkau dapat berada di sini, Cu In?”

“Kebetulan saja, Keng Han. Agaknya Thian memang sudah menentukan begitu. Kami di kota raja mendengar akan pertemuan yang diadakan Bu-tong-pai dan aku menduga bahwa engkau akan mencari ayahmu di sini. Maka aku berpamit dari ayah ibuku untuk menyusulmu ke Bu-tong-pai. Dan ketika mendaki bukit, aku melihat engkau dikeroyok tiga orang datuk itu.”

Keng Han menoleh ke arah mayat Tung-hai Lo-mo. “Engkau membunuhnya?”

Cu In mengangguk. “Aku sudah bersumpah untuk membunuhnya. Ketika dia bersama Swat-hai Lo-kwi dahulu menawanku, Tung-hai Lo-mo ini hendak memperkosaku. Akan tetapi setelah dia menyingkap cadarku, dia tidak jadi melakukannya, bahkan hendak membunuhku. Orang seperti dia itu patut dilenyapkan dari muka bumi agar jangan suka menghina orang lagi.”

“Cu In, sekarang aku hendak mengubur jenazah ayahku di tempat ini, sekalian jenazah Tung-hai Lo-mo pula.”

“Tung-hai Lo-mo? Untuk apa kita bersusah payah mengubur jenazah manusia sesat itu?”

“Jangan berpendapat seperti itu, Cu In. Boleh jadi dia jahat di waktu hidupnya. Akan tetapi dia telah tewas dan yang berada di sini bukan lagi Tung-hai Lo-mo yang jahat, melainkan sebuah jenazah yang perlu diurus dan dikuburkan.”

Cu In menggangguk. Matanya memandang kepada pemuda itu dengan penuh kagum. Baru sekarang dia bertemu dengan seorang pemuda yang bukan saja gagah perkasa dan bersikap sopan, akan tetapi juga berpemandangan luas dan berbudi luhur.

Keng Han lalu menggali dua buah lubang dan menguburkan jenazah itu di pekarangan depan rumah itu. Dia meletakkan sebuah batu besar di depan makam ayahnya, dan sebuah batu lebih kecil di depan makam Tung-hai Lo-mo. Dia lalu bersemedhi sejenak di depan makam ayahnya. Cu In juga memberi hormat kepada makam Pangeran Tao Seng itu.

“Sekarang engkau hendak ke manakah, Keng Han?”

“Aku harus kembali dulu ke Khitan, Cu In. Pertama untuk mengabarkan kepada ibuku bahwa ayah sudah meninggal dunia sebagai seorang jantan karena dia tewas dalam membelaku, dan kedua kalinya aku hendak memberi tahu tentang perjodohan kita.”

Tiba-tiba mereka mendengar suara orang yang memanggil dan melihat sesosok tubuh dengan cepatnya berlari ke arah mereka. Dari jauh saja Cu In sudah mengenal orang itu.

“Itu suci yang datang,” katanya.

Keng Han mengerutkan alisnya karena beberapa kali dia mengalami kesukaran kalau berdekatan dengan Bi-kiam Niocu. Akan tetapi sekali ini Cu In bersamanya, maka apa yang akan dapat dilakukan oleh Niocu?

Bi-kiam Niocu cepat sekali berlari dan telah tiba di tempat itu. Napasnya tidak terengah, seolah berlari secepat itu tidak melelahkan baginya.

“Aku tadi khawatir kalau engkau bertemu para datuk itu Keng Han. Dan ternyata engkau sudah berada di sini bersama Sumoi. Dan dua makam ini, makam siapakah?”

“Yang di sana itu adalah makam Pangeran Tao Seng atau Hartawan Ji, atau juga ayah kandungku. Sedangkan yang ini adalah makam Tung-hai Lo-mo!”

Bi-kiam Niocu terbelalak. “Apa yang sudah terjadi? Bagaimana mereka dapat tewas di sini dan kau kuburkan, Keng Han?”

“Aku bertemu dengan Swat-hai Lo-kwi, Tung-hai Lo-mo dan Lam-hai Koai-jin di sini dan aku dikeroyok mereka bertiga. Kemudian muncul ayahku yang membelaku, akan tetapi dia tewas oleh Swat-hai Lo-kwi. Ketika aku masih dikeroyok tiga, datang In-moi yang membantuku. In-moi berhasil menewaskan Tung-hai Lo-mo, dan aku juga telah melukai Swat-hai Lo-kwi. Kemudian Swat-hai Lo-kwi dan Lam-hai Koai-jin melarikan diri.” Keng Han menceritakan dengan singkat.

“Aihhh, mereka bertiga begitu sakti, akan tetapi engkau mampu menandingi mereka. Sungguh hebat engkau, Keng Han. Kalau aku tahu, tentu aku akan membantumu.”

“Bukankah sepatutnya engkau membantu Gulam Sang, Niocu?” Keng Han mengejek.

Wajah Bi-kiam Niocu berubah merah. “Laki-laki jahat dan palsu itu! Hampir saja ia dapat mengelabui aku. Hampir saja aku mabuk oleh puji rayuannya. Tidak, setelah engkau memberi tahu akan kepalsuannya aku sudah membencinya setengah mati. Sayang dia tewas tidak olehku, melainkan oleh Lama-Lama Jubah Merah itu? Sumoi, bagaimana engkau dapat berada di sini. Bukankah engkau ikut... ibu dan ayahmu ke kota raja?”

“Benar, Suci. Akan tetapi di sana aku mendengar akan undangan Bu-tong-pai kepada para tokoh kang-ouw. Aku menduga bahwa Keng Han tentu mencari ayahnya di sini dan aku khawatir sekali. Juga ayah menyuruhku menyelidiki apa yang terjadi di Bu-tong-pai ini. Engkau belum sempat menceritakan kepadaku, Keng Han. Sebetulnya apakah yang telah terjadi di sana?”

Keng Han lalu menceritakan pengalamannya betapa dia menyusup ke dalam bangunan induk Bu-tong-pai dan berhasil membebaskan Thian It Tosu yang disekap di penjara bawah tanah oleh Gulam Sang. Betapa selama ini yang berada di Bu-tong-pai adalah Gulam Sang yang menyamar sebagai Thian It Tosu.

“Aihhh, pantas kalau begitu mengapa Bu-tong-pai mendadak saja berubah haluan dan bersekutu dengan perkumpulan sesat seperti Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai serta dibantu pula oleh para datuk sesat,” kata The Cu In.

Keng Han menghela napas panjang. “Harus diakui bahwa Gulam Sang itu memiliki otak yang cerdik sekali dan juga mempunyai ilmu silat yang tinggi. Sayang dia pergunakan kepandaiannya untuk berbuat jahat.”

“Memang benar. Kalau saja dia itu seorang pemuda Han yang melakukan semua itu demi menghancurkan pemerintah penjajah dan membebaskan rakyat dari penjajahan, masih bagus! Akan tetapi dia melakukan semua itu demi ambisinya untuk menjadi Pangeran Mahkota seandainya berhasil dan Pangeran Tao Seng menjadi Kaisar,” kata Bi-kiam Niocu.

“Sudahlah, sekarang ia telah tewas, tak perlu lagi membicarakan tentang kejahatannya. Selanjutnya begini, In-moi. Setelah terbuka kedoknya, Gulam Sang lalu ditangkap oleh orang-orang Bu-tong-pai. Akan tetapi dasar dia cerdik sekali, orang-orang Bu-tong-pai tidak berani membunuhnya karena dialah yang menyimpan obat pemunah racun yang meracuni tubuh Thian It Tosu. Gulam Sang mau menukar obat itu dengan pembebasan dirinya. Orang-orang Bu-tong-pai yang tidak ingin melihat Thian It Tosu tewas, terpaksa menyetujui. Obat diberikan dan Gulam Sang dibebaskan. Tiba-tiba muncul dua orang pendeta Lama Jubah Merah yang diutus oleh Dalai Lama untuk menangkap Gulam Sang. Gulam Sang melawan dan tewas oleh dua orang pendeta Lama itu.”

“Lalu kenapa engkau berada di sini dan dikeroyok oleh tiga orang datuk itu?” tanya pula Cu In.

“Tiga orang datuk itu meninggalkan Bu-tong-pai setelah mereka mengetahui bahwa ketua Bu-tong-pai yang mereka bela itu adalah ketua palsu. Aku lalu mencari ayahku di dalam bangunan Bu-tong-pai, akan tetapi mendapat keterangan bahwa pangeran itu telah pergi. Cepat aku melakukan pengejaran dan tiba di tempat ini. Dan ternyata benar, ayahku berada di sini. Aku dikeroyok oleh tiga orang datuk sesat. Aku kewalahan dan terdesak. Lalu muncul Pangeran Tao Seng, ayahku itu. Dia membelaku dan melarang tiga orang datuk itu membunuhku. Akan tetapi hal itu justru membuat para datuk marah kepadanya sehingga ayahku dibunuhnya. Aku terus mengamuk sampai engkau datang membantuku, In-moi.”

“Kalian memang serasi, selalu saling bantu dan saling menolong. Mudah-mudahan saja kelak kalian menjadi suami isteri yang berbahagia. Sekarang aku hendak kembali ke Beng-san,” kata Bi-kiam Niocu sambil memandang dengan hati iri.

Sumoi-nya yang berwajah cacat dan buruk itu memperoleh calon suami yang begitu baik, tampan dan gagah, juga berbudi mulia. Sedangkan ia, yang memiliki kecantikan yang dikagumi banyak orang, selalu menemukan orang yang salah. Pertama, ia jatuh cinta kepada Keng Han yang sama sekali tidak membalas cintanya. Kedua, ia tertarik kepada Gulam Sang tetapi ternyata pemuda itu adalah seorang jahat yang berbahaya.

“Selamat jalan, Suci. Kuharap kalau engkau pergi ke kota raja, suka singgah di rumah kami,” kata Cu In dengan ramah.

Ia dahulu tidak suka kepada suci-nya ini karena terlalu kejam terhadap kaum pria. Akan tetapi sekarang ia merasa kasihan kepadanya.

“Selamat berpisah, Niocu. Semoga engkau berbahagia,” kata Keng Han yang merasa kasihan pula karena gadis itu pernah jatuh cinta kepadanya tapi tidak dapat dibalasnya.

“Hemmm...!” Bi-kiam Niocu mendengus dan sekali berkelebat ia sudah lenyap dari situ. Memang Bi-kiam Niocu memiliki ginkang yang hebat.

“Kasihan...!” Tanpa terasa Keng Han berkata lirih.

“Ehh? Kenapa kasihan, Han-ko?”

Bukan main senangnya hati Keng Han saat mendengar gadis itu menyebutnya Han-ko (kanda Han), karena biasanya gadis itu menyebut namanya begitu saja. Dia sendiri pun sudah mendahului Cu In dan menyebutnya In-moi (dinda In).

Tentu saja Keng Han tidak mau menceritakan tentang Bi-kiam Niocu yang jatuh cinta kepadanya. “Kasihan karena ia telah keliru memilih pria yang dicintanya. Gulam Sang adalah seorang yang jahat dan kejam. Bahkan dia menyuruh anak buahnya membunuh kekasihnya ketika kekasihnya itu berteriak hendak membuka rahasia penyamarannya. Suci-mu itu sudah sepantasnya mendapatkan seorang jodoh yang baik.”

“Kuharap juga begitu. Akan tetapi agaknya itu merupakan hukuman baginya karena dahulu, entah berapa banyak pria yang dibunuhnya hanya karena pria itu sudah berani mencintainya.”

“Apakah engkau dahulu juga tidak seperti suci-mu itu, In-moi? Bukankah gurumu... ehh, ibumu mengajar kalian untuk membunuh pria yang menaruh hati kepadamu?”

“Tidak, Han-ko. Untung aku memiliki wajah yang buruk dan aku selalu menyembunyikan wajahku di belakang cadar sehingga tak ada orang yang sempat jatuh cinta kepadaku.”

“Siapa bilang tidak ada yang jatuh cinta kepadamu? Buktinya aku jatuh cinta kepadamu dengan seluruh jiwa ragaku!”

Dahi gadis itu berubah merah mendengar ucapan ini. “Engkau lain lagi, Han-ko. Engkau adalah seorang pendekar yang tampan dan gagah, akan tetapi bodoh!”

“Bodoh?”

“Ya, bodoh! Kalau tidak bodoh, mana mungkin engkau jatuh cinta kepada seorang gadis yang mukanya cacat dan buruk?”

“Sudahlah, jangan bicara tentang wajah! Aku mencintaimu dengan setulus hatiku, bukan karena baik atau buruknya wajahmu. Nah, sekarang pulanglah engkau ke kota raja, ke rumah orang tuamu.”

“Dan engkau?”

“Aku? Karena ayahku telah tewas, aku akan pulang dulu ke Khitan melaporkan kepada ibu bahwa ayah telah tewas dan juga mohon doa restunya supaya aku dapat menikah denganmu.”

“Ahh, aku hendak ikut, Han-ko! Aku pun ingin berkenalan dengan ibu, calon mertuaku!” kata Cu In dengan suara bersungguh-sungguh.

“Akan tetapi, engkau belum memberi tahu kepada ayah ibumu! Tentu mereka akan khawatir sekali kalau sampai lama engkau belum juga kembali ke kota raja!”

“Ibu akan mengerti dan tidak akan mengkhawatirkan aku. Ia pun dapat memberi tahu kepada ayah bahwa sejak muda sekali aku sudah sering berkelana di dunia kang-ouw dan selalu pulang dalam keadaan selamat. Apa lagi sekarang, melakukan perjalanan bersamamu. Apa bahayanya? Kita pasti akan mampu menanggulangi berdua!”

“Bukan bahaya yang kukhawatirkan, In-moi. Akan tetapi... seperti para ibu lain di dunia ini, ibuku tentu ingin sekali melihat wajahmu...”

“Biarkan saja dia melihatnya! Bukankah engkau juga sudah melihatku dan hal itu tidak mengurangi cintamu kepadaku?”

“Ahh, itu urusan lain lagi, In-moi. Kalau ibuku melihat wajahmu lalu melarangku berjodoh denganmu, aku tidak akan dapat menyalahkannya. Hal itu wajar saja, bukan? Aku tidak termasuk hitungan karena aku mencintamu dengan hati yang tulus ikhlas. Sebaiknya engkau tidak ikut, In-moi. Aku tidak akan lama tinggal di Khitan. Setelah kita menikah baru engkau akan kupertemukan dengan ibuku dan kakekku.”

“Tidak, Han-ko. Aku tak percaya bahwa seorang ibu yang melahirkanmu akan bersikap sepicik itu. Engkau bijaksana, maka ibumu tentu lebih bijaksana lagi!”

“Ibuku adalah seorang Khitan yang tidak berpendidikan dan tentu saja pikirannya masih kolot. Aku khawatir...”

“Khawatir kalau ia menolakku? Tenangkan hatimu. Aku telah siap menghadapi apa saja. Dan andai kata ibumu menolak aku menjadi calon menantunya sekali pun, perasaanku terhadapmu tak akan berubah. Kita harus bersikap jujur terhadap ibumu, Han-ko. Kalau ia menolakku itu sudah wajar. Akan tetapi kalau ia menerimaku tanpa melihatku, bagai mana akibatnya di belakang hari kalau ia menyesal mempunyai mantu seperti aku?”

Keng Han merasa terharu sekali dan dia memegang kedua tangan gadis itu. “Alangkah gagah beraninya engkau dalam menghadapi apa pun juga, In-moi. Aku menghargai sikapmu dan marilah kita berangkat ke Khitan.”

Sepasang orang muda itu dengan bergandeng tangan melanjutkan perjalanan setelah sekali lagi memberi hormat kepada makam Pangeran Tao Seng. Mereka nampak amat gembira dan bahagia menyongsong masa depan mereka. Cinta kasih di antara mereka membuat mereka merasa kuat sekali.

Cinta kasih yang murni hanya memberi dan sama sekali tidak mementingkan diri sendiri, bersih dari nafsu menyenangkan diri sendiri. Kalau cinta itu didasari menyenangkan diri sendiri, maka cinta itu tidak akan tahan lama. Karena segala macam kesenangan di dunia ini selalu disusul kebosanan dan keinginan mencari yang lebih menyenangkan lagi. Akan tetapi kalau cinta itu didasari pementingan diri orang yang dicinta, kita selalu berusaha untuk menyenangkannya, untuk membahagiakannya karena kebahagiaan dia yang dicinta itu menimbulkan kebahagiaan bagi diri sendiri.

Cinta yang terdorong wajah tampan dan cantik, terdorong harta benda atau kedudukan, cinta seperti itu mudah luntur. Menimbulkan kebosanan dan kebencian yang berakhir dengan perpisahan atau perceraian. Cinta nafsu hanya menghendaki keuntungan bagi diri sendiri.

Seorang sahabat yang melakukan seribu satu kebaikan kepada kita akan terhapus oleh satu saja keburukan kepada kita. Cinta yang sejati tak lapuk oleh panas tak lekang oleh hujan. Seperti cinta kasih Tuhan kepada semua makhluk ciptaannya. Baik itu berupa tumbuh-tumbuhan, hewan, terutama sekali manusia. Semua mendapatkan berkahNya, semua dapat menikmati hidup.

Baru matahari saja, seolah diciptakan Tuhan untuk kehidupan semua makhluk di dunia. Tanpa sinar matahari tak akan ada yang dapat hidup. Dan diberiNya tanpa pilih kasih, kepada siapa saja, yang kaya mau pun yang miskin, yang berkedudukan tinggi mau pun yang rendah, yang hidup benar dan baik mau pun yang hidup buruk dan jahat.

Tuhan memang bukan manusia, akan tetapi kita manusia seyogianya mawas diri dan mengkaji kembali cinta kasih kita kepada kekasih, kepada teman hidup, kepada anak-anak, keluarga, tetangga dan masyarakat. Kalau kita semua hidup dengan cinta kasih kepada sesamanya tanpa nafsu mementingkan diri sendiri, adanya hanya memberi dan membantu, maka kehidupan di dunia ini akan merupakan keindahan sorgawi!

********************

Gadis dan pemuda itu duduk berhadapan di sebuah hutan. Mereka duduk di atas batu di bawah naungan pohon yang rindang dan teduh. Mereka adalah Lo Siu Lan dan Gan Bu Tong. Kita masih ingat bahwa Lo Siu Lan merupakan puteri dari ketua Kwi-kiam-pang (Perkumpulan Pedang Setan) Lo Cit yang berjuluk Toat-beng Kiam-sian (Dewa Pedang Pencabut Nyawa). Ada pun pemuda itu adalah Gan Bu Tong, suheng-nya dan murid dari Toat-beng Kiam-sian.

Mereka sedang berburu binatang. Akan tetapi hari itu agaknya mereka sedang sial. Sampai matahari naik tinggi, mereka belum mendapatkan buruan seekor pun. Karena siang itu panas sekali, mereka lalu beristirahat, duduk di bawah pohon, minum sambil bercakap-cakap.

“Sumoi,” kata Bu Tong, suaranya sedih dan penasaran. “Kita bergaul sejak kecil dan engkau tahu sendiri betapa besar kasihku kepadamu. Akan tetapi kenapa engkau tega menolakku kalau aku mengajak bicara tentang perjodohan kita?”

“Karena aku sama sekali belum memikirkan tentang perjodohan, Suheng. Sudahlah, jangan bicara tentang perjodohan, aku tidak menyukainya!” gadis itu menjawab dengan suara agak ketus.

Ia seorang gadis berusia kurang lebih sembilan belas tahun, cantik dan berkulit putih mulus. Rambutnya hitam panjang dan diikat ke belakang dengan sanggul manis di atas kepalanya. Lo Siu Lan memang seorang gadis yang sudah dewasa dan menarik hati.

“Akan tetapi ketika pemuda bernama Keng Han itu berada di sini, engkau bersikap lain! Kau tentu tahu bahwa aku mencintaimu sejak lama, Sumoi. Dan selama ini aku melihat bahwa engkau juga suka kepadaku sehingga pergaulan kita akrab sekali.”

“Tentu saja aku suka padamu, Suheng. Bukankah engkau suheng-ku? Akan tetapi rasa suka itu berbeda sekali dengan cinta. Aku menyukaimu seperti seorang adik menyukai kakaknya, bukan seperti seorang wanita mencinta pria. Mengertikah engkau, Suheng?”

Gan Bu Tong adalah seorang pemuda yang telah berusia dua puluh lima tahun, tampan dan gagah, tinggi besar dengan rambut panjang dikuncir tebal. Tentu saja dia mengerti apa yang dimaksudkan oleh sumoi-nya itu.

Dahulu pun dia mencinta sumoi-nya ini sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Akan tetapi setelah Siu Lan menjadi dewasa, nampak cantik jelita, cintanya sebagai kakak itu berubah menjadi cinta seorang pria terhadap wanita dan mengharapkan sumoi-nya itu untuk menjadi jodohnya. Dan pada hari ini, ketika berdua saja di dalam hutan itu, dia mengambil keputusan untuk minta ketegasan sumoi-nya.

Mendengar jawaban bahwa sumoi-nya tidak mencintanya, namun hanya menyukainya sebagai seorang kakak, hatinya seperti ditusuk rasanya dan habislah harapannya. Jika gadis itu menjawab belum ada rasa cinta, hal itu masih ada kemungkinan dan harapan bahwa kelak gadis itu akan tertarik dan jatuh cinta kepadanya. Akan tetapi kalau gadis itu menyukainya sebagai kakak, tidak mungkin ia dapat mencintanya sebagai kekasih.

Melihat wajah yang murung itu, wajah yang biasanya berseri itu kini nampak demikian sedih, Siu Lan merasa iba kepada suheng-nya itu.

“Suheng, harap jangan berduka. Tidak selamanya cinta berakhir dengan pernikahan, bukan? Kita bisa saling mencinta sebagai saudara, bersikap baik dan saling membantu, saling melindungi.”

“Akan tetapi, kepada Keng Han itu...”

“Terus terang saja, memang aku amat tertarik kepadanya, Suheng. Ia seorang pemuda yang bagiku amat menarik hati, apa lagi kepandaiannya pun jauh lebih tinggi dari pada kepandaian kita.”

“Akan tetapi dengan tegas dia menyatakan tidak mau kawin denganmu, Sumoi.”

Siu Lan menghela napas panjang. “Itu adalah hak dia! Memang tak mungkin dua orang menjadi suami isteri kalau cinta itu datangnya hanya sepihak.”

“Agaknya dia memiliki hubungan erat sekali dengan gadis bercadar itu!” Gan Bu Tong memanaskan hati sumoi-nya.

Siu Lan tidak marah, melainkan menghela napas lagi. “Entah bagaimana wajah gadis bercadar itu. Akan tetapi yang jelas, ia pun lihai bukan main. Agaknya nasib kita sama, Suheng. Kita berdua menjadi korban cinta yang gagal, mencinta seorang yang tidak membalas cinta kita. Agaknya memang bukan jodoh kita. Kita tidak boleh putus asa. Suheng, di dunia ini wanita bukan aku seorang, seperti juga di dunia ini pria bukan hanya Keng Han saja. Kelak kita pasti akan bertemu dengan jodoh kita masing-masing! Mari kita teruskan berburu, Suheng, sudah terlalu lama kita beristirahat. Kalau kita pulang tidak membawa hasil buruan, tentu ayah akan mentertawakan kita.”

“Baiklah, mari kita menyusup ke tengah hutan ini,” jawab Bu Tong yang mendapatkan kembali kegembiraannya.

Betapa pun juga, hatinya menjadi lega. Biar pun cintanya gagal, keadaan ini lebih baik dari pada sebelumnya, harap-harap cemas. Kini dia telah mengetahui isi hati sumoi-nya dan yakin bahwa dia tidak boleh lagi mengharapkan sumoi-nya menjadi isterinya.

Hal ini, kepastian ini, melenyapkan keraguannya dan malah melegakan hatinya. Dia merasa bebas dari ikatan batinnya sendiri yang mencinta sumoi-nya, walau pun dia merasakan kepedihan cinta yang gagal. Sebagai seorang gagah dia harus mampu menahan pukulan ini!

Kedua orang muda itu menyusup ke tengah hutan dan tak lama kemudian mereka melihat sekawanan kijang sedang minum di tepi sungai kecil. Kijang-kijang itu berada di seberang sungai dan mereka tahu bahwa wilayah kekuasaan Kwi-kiam-pang hanya sampai di sungai itu.

Akan tetapi kijang-kijang itu berada begitu dekat dan mereka tidak tahu siapa yang menguasai wilayah seberang sungai itu. Kalau mereka tidak salah ingat, kabarnya yang berkuasa di seberang itu adalah perkumpulan Hek-houw-pang (Perkumpulan Harimau Hitam).

Karena sungai itu kecil saja, dua orang muda yang sudah haus korban buruan itu tidak lagi mempedulikan bahwa kijang-kijang itu berada di seberang sungai. Mereka sudah memasang anak panah pada busur mereka dan begitu melepaskan anak panah, dua ekor kijang terjungkal dan lainnya lari dengan cepat meninggalkan tempat itu.

Bu Tong dan Siu Lan bersorak gembira, lalu mereka meloncati sungai kecil itu untuk mengambil hasil anak panah mereka. Akan tetapi baru saja mereka mencabut anak panah dari tubuh dua ekor kijang itu, muncul belasan orang yang berlompatan dari balik pohon-pohon dan semak belukar.

Melihat bahwa orang-orang itu memakai pakaian seragam bergambar harimau hitam, tahulah Bu Tong dan Siu Lan bahwa kini mereka berhadapan dengan para anggota perkumpulan Hek-houw-pang. Mereka itu dipimpin seorang pemuda yang gagah dan bermata lebar.

“Hemmm, dua orang yang lancang berani berburu binatang dalam wilayah kekuasaan kami?” bentak pemuda bermata lebar itu.

Gan Bu Tong cepat mengangkat tangan ke depan dada dan untuk memberi hormat kepada pemuda itu dan berkata, “Kami adalah dua orang murid dari Kwi-kiam-pang. Aku bernama Gan Bu Tong dan sumoi-ku ini adalah puteri ketua kami bernama Lo Siu Lan. Kami melihat buruan kami di tepi sungai kecil ini dan memanahnya. Kami sama sekali tidak bermaksud lancang memasuki wilayah orang lain!”

Mendengar perkenalan diri ini, pemuda itu nampak tertegun. Dia memandang kepada Siu Lan dengan penuh perhatian.

“Jadi kalian adalah murid-murid Kwi-kiam-pang? Kwi-kiam-pang tak pernah memandang kami sebagai sahabat. Kami dari Hek-houw-pang tidak pernah mengijinkan siapa pun juga untuk memasuki wilayah kami tanpa ijin. Kalian telah melanggar, maka terpaksa kami akan menahan kalian, dan kalau Toat-beng Kiam-sian Lo Cit sendiri yang datang minta maaf, barulah kami dapat melepaskan kalian.”

Kini Siu Lan tidak dapat menahan kesabarannya lagi. “Kalian berani berkata demikian? Siapakah engkau yang berani tidak memandang muka ayahku dan bersikap kurang ajar?!”

Pemuda bermata lebar itu tersenyum. “Perkenalkan, namaku Tang Hun dan aku adalah putera dari ketua Hek-houw-pang!”

Sekarang mengertilah dua orang muda dari Kwi-kiam-pang itu. Setahun yang lalu, ketua Hek-houw-pang pernah datang bertamu ke Kwi-kiam-pang. Ketua ini mengajukan usul untuk menjodohkan puteranya dengan Siu Lan. Akan tetapi, karena gadis itu tidak mau, Toat-beng Kiam-sian Lo Cit menolak dengan halus.

Agaknya penolakan itu menyinggung perasaan keluarga Tang sehingga kini Tang Hun hendak membalas penolakan yang dianggap menghina itu. Dia menangkap Siu Lan dan Bu Tong dan baru mau membebaskan mereka kalau ketua Kwi-kiam-pang sendiri yang datang memintakan maaf!

Bu Tong adalah seorang pemuda yang cerdik. “Sobat, kalau engkau menganggap kami bersalah, maka maafkanlah kami dan kami tidak akan mengambil kijang buruan kami ini.”

“Tidak! Siapa berani berbuat harus berani menanggung resikonya. Kami akan menahan kalian dan sebelum ketua Kwi-kiam-pang sendiri yang minta maaf, kami tidak akan membebaskan kalian!” Tang Hun berkata tegas.

“Akan tetapi bagaimana mungkin? Kalau kalian menahan kami berdua, lalu siapa yang akan memberi kabar kepada suhu? Tangkap dan tahanlah aku, akan tetapi bebaskan Sumoi agar ia dapat melaporkan kepada suhu,” kata pula Bu Tong.

Tang Hun diam sejenak, lalu sambil memandang kepada Siu Lan dia berkata, “Baiklah, aku akan menahan nona Lo di sini, dan engkau boleh pulang untuk melapor!” kata-kata itu demikian tegas dan pasti.

“Sobat, sungguh tidak enak dan tidak pantas kalau kalian menahan seorang wanita. Biar aku yang ditahan dan Sumoi...”

“Cukup! Kalian tinggal pilih. Keduanya akan kami tahan atau hanya Nona ini!”

“Suheng, biarlah engkau yang pulang melapor kepada ayah bahwa aku ditawan oleh orang-orang Hek-ouw-pang. Jangan khawatir, mereka tidak akan dapat berbuat sesuatu kepadaku!” kata Siu Lan sambil meraba gagang pedangnya.

“Akan tetapi, Sumoi...”

“Sudahlah, apakah engkau lebih suka kalau kita berdua yang menjadi tawanan? Siapa yang akan memberi tahu kepada ayah?” potong Siu Lan.

Bu Tong menghela napas panjang. “Baiklah, aku akan pulang. Akan tetapi kalau kalian berani mengganggu sehelai saja rambut Sumoi, kami akan datang menghancurkan dan membinasakan kalian semua!”

“Hemmm, engkau boleh menggertak semau hatimu, Sobat. Kami tidak bersalah. Kami menahan orang yang melanggar perbatasan wilayah kami. Kalianlah yang bersalah, bukan kami!” tangkis Tang Hun sambil tertawa, wajahnya berseri.

Terpaksa Gan Bu Tong meloncati sungai kecil itu dan langsung melakukan perjalanan pulang sebelum hari menjadi sore. Dia berlari cepat dan pada suatu tikungan yang tertutup oleh pohon-pohon besar, hampir dia bertabrakan dengan seorang yang berjalan cepat dari depan.

Tetapi, bagaikan seekor burung saja, orang itu telah melayang melewati kepalanya.....

Komentar

Postingan populer dari blog ini